07 Februari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Kasus Century dan Globalisasi Keuangan

Kasus Century dan Globalisasi Keuangan

Oleh Indah Fitriani

Kasus penggelontoran dana kepada Bank Century beberapa tahun lalu menjadi masalah pada hari ini.  Panitia Khusus (Pansus) sudah dibentuk di parlemen untuk mengetahui apakah terjadi kesalahan dalam pemberian bantuan terhadap bank berkenaan atau tidak.

Satu alasan yang disodorkan pemerintah mengapa mereka memberi bantuan adalah akan terjadinya dampak sistemik dalam sistem perekonomian Indonesia apabila Bank Century tidak dibantu—suatu keadaan yang mungkin akan mengundang krisis ekonomi seperti pada 1997/1998.  Pertanyaannya, apakah benar demikian?  


Untuk menjawab pertanyaan tersebut tidaklah mudah.  Hal ini perlu ditelisik secara mendalam. Oleh karena itu, tidak heran apabila Pansus Bank Century mengundang banyak pihak untuk menjawabnya.  

Bagaimanapun, dalam ruang yang sempit ini penulis coba menerangkannya (mungkin juga menjawabnya) dalam perspektif yang berbeda dengan jalan yang ditempuh oleh Pansus Century. Hal ini menjadi penting karena polemik dan kontroversinya yang sukar dipahami.

Masalah keuangan yang berdampak sistemik pada suatu negara merupakan akibat dari diimplementasikannya paham neoliberal, khususnya globalisasi keuangan di suatu negara. Globalisasi keuangan adalah sebagian dari proses perubahan sistem keuangan modern internasional, yang bermula dari sistem gold standard kemudian beranjak menuju sistem Bretton-Woods, khususnya sejak persidangan Bretton yang melahirkan lembaga International Monetary Funds (IMF).  

Dalam hal pembayaran internasional yang berkait erat dengan globalisasi keuangan, IMF-lah yang telah mengubah sistem fixed exchange rate menjadi sistem managed floating exchange rate. Sebuah sistem tukar mengambang yang tidak lagi dilandaskan pada gold standard. Tidak hanya itu, IMF juga mengubah sistem menjadi free floating exchange rate. 

Globalisasi keuangan dan perubahan sistem pembayaran internasional inilah yang telah membuka peluang bagi tidak stabilnya (suatu) sistem perekonomian di suatu negara. Apalagi kedua mekanisme tersebut ”berhasil” menghilangkan comparative advantage yang dimiliki tiap-tiap negara.  Ini karena dibelenggunya comparative advantage oleh competitive advantage yang dimiliki oleh negara-negara maju (Stiglitz 2002).

Akibatnya, ekonomi dunia semakin sensitif terhadap fenomena yang tidak berkait langsung dengan dirinya. Kasus terjungkalnya kinerja ekonomi beberapa negara Amerika Latin pada 1980-an dan awal 1990-an serta pengalaman buruk 1997-1998 di Asia, termasuk Indonesia, menunjukkan fenomena ini (lihat Gambar 1 untuk kasus Asia).  

Di balik krisis keuangan yang menimpa negara-negara Amerika Latin dan Asia, pada tahun-tahun berkenaan, tidak menutup kemungkinan telah digunakan (jika tidak ingin mengatakan dimanfaatkan) oleh IMF untuk memperluas pelaksanaan Washington Consensus. Ini adalah suatu kebijakan ekonomi yang terdiri atas kebijakan fiskal yang ketat, swastanisasi, serta liberalisasi pasar—yang intinya liberalisasi keuangan dunia. 

Proses liberalisasi keuangan yang dilakukan IMF sejak 1980-an itu mendapat dukungan dari World Bank di bawah kepemimpinan Willian Clausen dan Ann Krueger yang dikenal sebagai pakar ekonomi internasional. Clausen dan Krueger berpendapat, perdagangan internasional—melalui globalisasi dan liberalisasi keuangan—merupakan penyelesaian terbaik bagi masalah yang dihadapi oleh (rata-rata) negara berkembang.  

Pandangan ini sejalan dan sejurus dengan anjuran mantan Presiden AS Ronald Reagan dan mantan Perdana Menteri Inggris Margareth Thatcher, yang sangat aktif menyuarakan ideologi pasar bebas (neoliberal) pada 1980-an.

Kepesatan perkembangan globalisasi telah menyebabkan pasar keuangan menjadi semakin liberal. Hal ini kemudian menyebabkan arus modal dalam bentuk investasi portofolio ke negara berkembang semakin (lama semakin) besar (lihat Gambar 2).

Sebelum terjadinya proses globalisasi dan liberalisasi keuangan, sebagian besar arus modal internasional mengalir ke negara berkembang, khususnya ke sektor perindustrian dan pembangunan infrastruktur sektor pertanian.  Akan tetapi, kini arus modal itu telah merambah ke semua sektor.

Dampaknya, setelah globalisasi dan liberalisasi (pasar) keuangan yang berhasil ditanamkan IMF, World Bank, dan negara-negara maju—sebagian besar arus modal berbentuk investasi portofolio dan bank lending—(sepertinya) perekonomian di negara berkembang semakin mudah untuk dipermainkan dan ditundukkan. Akibatnya, krisis-krisis ekonomi berkala dapat dengan mudah diciptakan dalam sistem ekonomi di negara berkembang (termasuk Indonesia).

Oleh karena itu, jangan-jangan, kasus Bank Century tidak seperti apa yang diduga oleh beberapa anggota parlemen kita (dana yang diberikan pemerintah dimanfaatkan partai politik tertentu untuk kepentingan kampanyenya menjelang Pemilihan Umum 2009, walau terbuka kemungkinan untuk itu).  Namun,  kasus tersebut memang merupakan akibat dari globalisasi dan liberalisasi keuangan (baca: neoliberal) yang sedang kita jalankan.***

Penulis, dosen FPEB Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
Opini Pikiran Rakyat 8 Februari 2010