08 Desember 2009

» Home » Solo Pos » Tirto Adhi Soerjo & jurnalisme advokasi

Tirto Adhi Soerjo & jurnalisme advokasi

Pada 7 Desember 1918 atau 91 tahun lalu, Raden Mas Tirto Adhi Soerjo (TAS) dimakamkan di daerah Mangga Dua, Jakarta. Tidak ada pidato sambutan dalam pemakaman itu. Tak ada pewartaan atas jasa-jasa dan amalan dalam hidupnya yang hanya berlangsung pendek.



Itulah sepenggal tulisan pengantar dalam buku Sang Pemula karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer.
Belum banyak khalayak umum mengenal sosok TAS meski pada 2006, lelaki kelahiran Blora ini mendapatkan gelar sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres No 85/TK/2006 dan dikukuhkan sebagai Bapak Pers Nasional.
Melalui buku Sang Pemula dan Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca), Pramoedya mulai menguak sosok TAS. Melalui buku-buku itulah, Pramoedya membuka sejarah tentang TAS yang sebelumnya belum banyak dikupas.
Lalu siapakah sebenarnya TAS? Lahir dengan nama Djokomono, Tirto sejak umur 14-15 tahun telah mengirimkan berbagai tulisan ke sejumlah surat kabar terbitan Betawi. Dia kemudian menempuh pendidikan di Stovia di Jakarta. Kariernya sebagai seorang jurnalis dimulai dengan membantu menulis di Chabar Hindia Olanda, kemudian berlanjut menjadi pembantu di Pembrita Betawi dan menjadi pembantu tetap Pewarta Priangan yang hanya berumur pendek. Beberapa tulisannya juga sempat dimuat di antaranya di Poetri Hindia, Soeloeh Keadilan hingga Soeara Spoor & Tram.
Tidak hanya aktif di dunia jurnalistik, TAS juga ikut mendidik masyarakat dengan pergerakan. Usaha gigihnya melahirkan organisasi yang bernama Sarikat Priyayi (SP) tahun 1904. SP menjadi salah satu pergerakan pribumi yang bercorak modern. Kemudian sejarah mencatat pada Januari 1907,Medan Prijaji yang dibidani TAS berdiri. Surat kabar ini disebut sebagai surat kabar pertama di Indonesia karena semuanya dikelola oleh pribumi dengan uang dan perusahaan sendiri.
Sebagai seorang jurnalis di zaman penjajahan Belanda, tulisan TAS sering membuat Belanda kebakaran jenggot. Bahkan, Mas Marco Kartodikromo yang juga mantan muridnya, menyebut TAS sebagai induk jurnalis yang memiliki tulisan sangat tajam hingga membuat Belanda muntah darah. Tulisannya yang sangat tajam dan kritik kerasnya membuatnya ditangkap dan disingkirkan dari Jawa, dibuang ke Pulau Bacan, dekat Halmahera, Maluku Utara. Setelah beberapa kali mengalami pembuangan, TAS kembali lagi ke Jakarta hingga akhirnya meninggal di usia yang sangat muda, 38 tahun.

Jurnalisme Indonesia
Dalam konteks kekinian, apa yang telah dilakukan TAS semasa hidupnya bisa menjadi teladan bagi insan media dan para jurnalis. Semangat TAS yang berkobar-kobar untuk mengungkapkan fakta dan membela kebenaran harus tetap menjadi pegangan media massa.
Kondisi bangsa dan jurnalisme semasa TAS hidup dan saat ini memang sudah sangat jauh berbeda. Di bawah ancaman pembuangan dari pemerintah Hindia Belanda, TAS tetap berdiri di depan untuk membela kaum pribumi yang teraniaya. Pascareformasi, jurnalisme Indonesia seperti sedang mengalami bulan madu, di mana media massa memiliki kebebasan untuk membeberkan fakta dan kebenaran jika dibandingkan zaman penjajahan hingga Orde Baru.
Dengan perbedaan kondisi itu, seharusnya pers saat ini bisa berbuat lebih dari apa yang dilakukan TAS kala itu. Sebagai pilar keempat demokrasi, pers memiliki fungsi utama informasi, edukasi, koreksi, rekreasi dan mediasi. Dengan fungsi itu, pers diharapkan menjadi watch dog (anjing penjaga) yang akan mengawal kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun, sesungguhnya pers juga memiliki peran penting lainnya yaitu peran advokasi. Jurnalisme yang dikembangkan disebut jurnalisme advokasi. Sebenarnya jurnalisme advokasi sudah dilakukan oleh TAS melalui Medan Prijaji-nya. Koran itu memosisikan diri sebagai media advokasi pembela kepentingan rakyat sehingga pers juga berfungsi sebagai media pembela kepentingan rakyat yang tertindas. Dalam fungsi ini, media bisa menjadi penyambung aspirasi masyarakat terutama hal-hal yang menyangkut kepentingan publik.
Fungsi-fungsi itulah yang sudah seharusnya menjadi panduan bagi insan pers dalam menjalankan tugasnya karena publik menaruh harapan besar terhadap pers. Publik tidak hanya mengharapkan pers melahirkan berita-berita yang bombastis atau menjadi ajang rekreasi semata. Namun, publik juga mengharapkan pers bisa menelurkan karya jurnalistik yang berkualitas.
Harapan publik kepada pers sangat terlihat ketika proses hukum pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto berlangsung ataupun kasus Bank Century. Pers tidak hanya diharapkan menjadi jembatan informasi bagi masyarakat, namun media juga diharapkan membeberkan kebenaran.
Pers diharapkan bisa mengungkapkan kejahatan publik, seperti pernah dilakukan TAS ketika membongkar skandal Donner. Skandal ini adalah skandal yang melibatkan Residen Madiun JJ Donner. Kala itu, Donner bersama Patih dan Jaksa Kepala, Mangoen Atmojo dan Adipoetro, melakukan persekongkolan untuk menjatuhkan Bupati Madiun Brotodiningrat. Tulisan tentang skandal Donner pulalah yang akhirnya membuat nama TAS dikenal karena berani membongkar skandal yang melibatkan pejabat kolonial.
Memang kebebasan pers sempat terusik dengan adanya pemanggilan jajaran media massa ketika kasus proses hukum pimpinan KPK nonaktif Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto berlangsung dan munculnya wacana pembatasan siaran langsung dalam proses persidangan. Namun, hal itu seharusnya menjadi titik tolak bagi pers melayani masyarakat dengan menghasilkan karya jurnalistik yang baik.
Ketika pers sudah menjalankan fungsinya dan bekerja sesuai kaidah yang ada, akan lahir pers yang berkualitas dan diharapkan akan tercipta masyarakat yang lebih berkualitas serta kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Seperti kata TAS, di zaman Multatuli, pers belum begitu banyak dan belum begitu berani melakukan kewajiban sebagai pengawal pikiran masyarakat, tapi kini pers sudah mendapat kemajuan dan masyarakat sudah mengerti manfaatnya. -

Oleh : Danang Nur Ihsan, Wartawan SOLOPOS
Opini SoloPos 7 Desember 2009