08 Desember 2009

» Home » Media Indonesia » Pisau Demokrasi

Pisau Demokrasi

Sang dedengkot demokrasi, Plato dan Aristoteles, mungkin akan terkejut tatkala menyaksikan potret demokrasi di Tanah Air belakangan ini. Pasalnya, itu terjadi berangkat dari ketidakmampuan elite politik bangsa dalam membungkus pengenalan demokrasi secara bertanggung jawab. Ternyata penegasan demokrasi sebagai salah satu yang terbaik dari sistem pemerintahan lainnya dilunturi kultur ekslusivisme kekuasaan yang superior memainkan demokrasi di kotak bebas tafsir.


Konsekuensi akhir-akhir ini, konstelasi hukum nasional kian pucat tafsir dimonopoli para kaum idilis yang demikian ngotot melumat nilai-nilai kejujuran dan akuntabilitas demi kepentingan diri dan kroninya (Salmi, Violence and Democratic Society, 2005). Afirmasi hukum sebagai penyangga vitalitas demokrasi seakan terjun bebas ke dalam lembah impunitas pembelaan diri seraya mengundang simpati klise sekaligus demi mencari selamat dari penghakiman sejati rakyat. Apologi itu sesungguhnya kristalisasi dari impotensi kinerja politik kenegaraan secara keseluruhan yang kehilangan energi dan tujuan. Selain sebagai sinyal awal dari masivitas korupsi yang mengakomodasi keserakahan para maniak kekuasaan negeri ini pada klimaks patologis yang membahayakan (Arghiros, 2001), seperti power tend to corrupt-nya Lord Acton.
Meski demokrasi mondial sejatinya untuk 'menyembah' kepentingan rakyat (Wolin, 2008), dalam demokrasi kita, rakyat seakan dipaksa sistem untuk menyembah penguasa dalam kepasifan. Pemilu 2009 selain menenggerkan Indonesia di tampuk penghelat prosesual demokrasi dunia, ia sekaligus menyodorkan suatu ironi politik penuh distortif. Di atas sokongan legitimasi politik SBY-Boediono yang kuat (menang dengan 60% di satu putaran dengan menghisap 70% dukungan di DPR) terbangun rekaman representasi politik yang rapuh. Kasus Bibit-Chandra dan Century membuat kita harus mempertanyakan kembali autentisitas kelembagaan demokrasi hingga di tahun ke-11 reformasi. Persis di sini esensi rakyat dalam implementasi demokrasi diuji.
Tegasnya, apakah dengan pengukuhan pemilu langsung rakyat sudah menikmati berkah politik atau justru hanya menjadi penyembah ritualitas demokrasi yang didesain tidak bagi pemenuhan tujuan pemenangan hak dan kedaulatan rakyat. Elegi nenek tua Mina, dan tiga buah kakao di pengadilan Purwokerto atau peristiwa di Deli Serdang, Sumut, yakni maling pencuri ban mobil diikat layaknya binatang dan babak belur dipukuli hingga nyaris tewas oleh massa (20/11/2009) adalah representasi rakyat korban penyembahan politik yang dipaksakan. Ibarat rakyat digiring dengan tangan terikat ke dalam terowongan gelap guna menunggu takdir apa yang digariskan penguasa kepadanya. Rakyat tidak berdaya.

Kalau mau jujur, ketahanan politik rakyat mengikuti ritme demokrasi day-to-day politic (pemilihan presiden, pemilihan gubernur, wali kota/bupati) sudah hampir menipis. Di tengah menggegasnya irama demokrasi yang serba superfisial (lebih menonjolkan prestise, formalitas, dan pementasan kulit luar) kutub kemiskinan malah terus terpelihara, ketidakadilan kian meruyak, menghantui orang-orang seperti Pak Tanjung (yang dituduh mencuri listrik di apartemennya). Demokrasi masih gagal mengatasi kembang-kempisnya hidup rakyat. Dengan kata lain, demokrasi yang terpraktikkan selama ini hanya merupakan wujud ekskursionalitas politik yang menjual mimpi dan hobi-hobi petualangan atas nama kebebasan berpolitik di atas 'kebodohan rakyat'. Padahal itu sebuah langkah mundur yang menurut Sheldon S Wolin (2008) dalam bukunya, Democracy Incorporated: Managed Democracy and the Spectre of Inverted Totalitarianisme, bisa menjerumuskan bangsa ini ke dalam liang lahat totalitarianisme baru.
S Rengasamy (2008) dalam buku Understanding Social Action pernah mengingatkan jika gerakan sosial–politik rakyat lekas berubah menjadi fundamentalisme liar sekadar untuk melawan berbagai intrik dan propaganda penguasa, nilai-nilai demokrasi tidak akan pernah lagi dapat terkawal hingga menimbulkan kaos sosial yang parah. Ini adalah kritik kesadaran bagaimana mekanisme politik kita selama ini diperjuangkan dalam genggaman visi dan kepatutan moral yang rapuh (Budi Hardiman: 2009). Gerakan massa akhir-akhir ini yang memilih turun ke jalan sebagai wujud pengungkapan street of democracy, sebagaimana keprihatinan Giorgio Agamben (2005) dalam State of Exception mestinya harus dipandang sebagai aksi sadar penolakan dan ketidakpercayaan publik terhadap performa buruk institusi formal kekuasaan. Oleh karena itu, tidak harus dilihat sebagai gerakan konspiratif murni yang bisa membahayakan kewibawaan negara.

Ada dua alasan di sini. Pertama, kalau memang benar negara ini memiliki basis legitimasi kepemimpinan yang kooperatif terhadap iklim demokrasi, mestinya ekspresi dan pendapat rakyat patut dilembagakan sebagai bagian dari opini dan kebijakan pemerintah. Bukankah semuanya juga berawal dari karut marut konstelasi hukum dan politik kita. Jika rakyat marah ketika dia ditipu, saat hak-haknya diinjak, hanya sebuah kebodohan yang ditampilkan manakala pemerintah masih juga berjibaku dengan apologi, argumen, dan tesis-tesis yang amat reaktif dan lemah terhadap saluran alternatif pilihan rakyat. Kedua, hal yang ditakutkan seperti pemberontakan atau pun revolusi justru menjadi kenyataan ketika ruang-ruang tafsir kebijakan pemerintah selalu ditutup rapat bagi masuknya alternatif pemikiran populis.
Maka kegegabahan politik yang sensitif-reaksioner tak perlu ada kalau elite bangsa ini memiliki simpul kepedulian yang kuat terhadap eksistensi rakyat. Mestinya pemerintah bersyukur saat jalan panjang pergulatan demokrasi menemukan transformasi kreatifnya meskipun ia lahir dari suatu kredo yang menegaskan watak asli pemerintah itu sendiri. Shihao Chong (2009) dalam tulisannya Social Media and Social Movements in Contentious Politics: Understanding New Movements in Iran and Egypt, bahkan melansir bagaimana sebuah kekuatan dan eleganitas kekuasaan dapat dikonstruksi dalam komunikasi dengan menggunakan opini-opini maya sebagai media interaksi deliberatif yang membangun nilai-nilai kepercayaan, keterbukaan, dan peradaban suatu masyarakat.

Harus diakui demokrasi politik dan hukum tak bisa berkembang hanya dengan mengetahui ce qui est, sesuatu yang (sudah) ada, tanpa bersedia mengeksplorasikan esensi keadilan, solidaritas, dan kesetiakawanan sosial dalam setiap deretan bahasa dan pasang-surut pergulatan hidup rakyat. Orasi-orasi janji elite politik selama ini yang notabene miskin inspiratif dan spirit justru hanya akan menajamkan ketidakpastian bangsa ini berhadapan dengan berbagai kecurigaan, pembenaran diri, dan promiskuitas politik dalam komunitas kekuasaan kita. Bahkan Dorothea Rosa Herliany dalam puisi Film Bisu-nya (Mudji Sutrisno, 2009) mengingatkan, kata-kata tak akan pernah jadi pisau di negeri para orator.
Itu sebabnya pemulihan demokrasi wajib bagi pembersihan politik bangsa ini demi mencapai kenegaraan yang memadai (adequate stateness). Betapa nampak hukum telah kehilangan palu sebagaimana kekuasaan telah kehilangan konstituen dan reformasi nyaris kehilangan momentumnya. Ini setidaknya mengiriskan kesadaran etis dan moral bagi pemimpin di negeri ini untuk selalu berupaya menyelamatkan hak dan kepentingan rakyat yang telah sekian lama dirampok para koruptor-koruptor politik.

Oleh Umbu TW Pariangu, Dosen Fisip Universitas Nusa Cendana, Kupang; mahasiswa pascasarjana Fisipol UGM

Opini Media Indonesia 9 Desember 2009