08 Desember 2009

» Home » Media Indonesia » Pengembangan DME untuk Kurangi Ketergantungan Elpiji

Pengembangan DME untuk Kurangi Ketergantungan Elpiji

Keberhasilan konversi minyak tanah ke elpiji 3 kg memecahkan rekor dunia. Menurut World LP Gas Association, konversi di Indonesia ini merupakan yang terbesar di dunia. Mereka merekomendasikan agar pengalaman Indonesia ini bisa menjadi role model bagi negara lain yang akan melakukan konversi elpiji ke nonelpiji. Atas keberhasilan ini, Pertamina juga mendapat penghargaan Dharma Karya Energi dan Sumber Daya Mineral Madya dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Keberhasilan konversi Mitan ke elpiji juga mendapat apresiasi dalam KTT-G-20 pada Oktober 2009, selain tentu juga Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang mampu menjangkau jutaan rakyat miskin Indonesia secara tepat sasaran. Sebagaimana Konversi minyak tanah ke LPG, BLT juga merupakan yang terbesar di dunia.


Apresiasi semacam itu tentu saja menjadi motivasi kepada stakeholder yang terlibat dalam program konversi minyak tanah ke elpiji 3 kg, untuk menuntaskan pekerjaan besar ini hingga 2010. Sebelum program ini digulirkan, minyak tanah yang digunakan sebagian besar rumah tangga Indonesia sebesar 9,9 juta kilo liter dengan besaran subsidi dari pemerintah sebesar Rp37 triliun per tahun. Sementara itu, elipiji hanya digunakan 10% rumah tangga dan harga per tabung jauh lebih mahal daripada harga subsidi eceran minyak tanah.
Untuk mengurangi beban subsidi BBM yang cukup besar tersebut, konversi minyak tanah ke elipiji 3 kg itu merupakan salah satu solusi karena berdasarkan kesetaraan nilai kalori, 1 liter minyak tanah setara 0,4 kg elpiji. Penghematan subsidi dari konversi ini bisa mencapai Rp20 triliun/tahun. Bila dikurangi dengan biaya konversi sebesar Rp9,3 miliar, penghematan bersih sebesar Rp10,7 miliar.

DME sebagai energi alternatif
Namun, perubahan tersebut telah memicu konsumsi elpiji yang terus meningkat. Untuk 2009, Pertamina memprediksikan total penggunaan elpiji akan menembus angka 3 juta metrik ton. Sebanyak 1,7 juta metrik ton untuk elpiji PSO (bersubsidi) dan 1,3 juta ton elpiji nonsubsidi. Jumlah tersebut akan terus meningkat. Bila konversi minyak tanah selesai pada 2011, kebutuhan elpiji domestik akan tembus 6-7 juta metrik ton, dan untuk memenuhi konsumsi elpiji harus mengimpor 3-4 metrik ton.
Tentu impor sebesar 3-4 metrik ton bisa menjadi beban amat berat bagi Indonesia karena itu bisa menguras devisa nasional. Oleh karena itu, saya mengusulkan perlunya bahan alternatif yang bahan produksinya cukup banyak dari dalam negeri. Energi alternatif itu adalah dimethly ether, yang biasa disebut dengan DME, sebuah produk baru yang kini mulai dikembangkan Pertamina. DME merupakan senyawa kimia berbentuk gas pada suhu ruangan dan dapat dicairkan sebagaimana elpiji. DME memiliki karakteristik sebagaimana elpiji, antara lain hemat energi, ramah lingkungan, dan bisa digunakan untuk keperluan rumah tangga.
Mulai dari tabung, kompor gas, dan perlengkapan sarana elpiji bisa langsung digunakan DME. Dengan demikian, ibu-ibu rumah tangga tidak perlu repot-repot lagi bila menggunakan DME. Mereka tinggal pakai peralatan elpiji, dapur pun bisa ngebul.
Uniknya lagi, DME juga bisa dicampur dengan elpiji sebagai blended mixed, dengan berbagai varian komposisinya. Dari hasil uji pasar (market trial) yang dilakukan Pertamina dalam tiga bulan terakhir, DME bila dicampur elpiji dengan komposisi tertentu justru menghasilkan api yang jauh lebih baik bila dibandingkan dengan elpiji.

Lebih hemat
Uji coba terhadap 139 masyarakat di sekitar Cakung, Cilincing, dan Koja, Jakarta Utara, untuk penggunaan campuran DME dan elpiji dengan komposisi 50:50, ternyata memberikan bahan bakar yang terbaik bagi mereka untuk memasak bila dibandingkan dengan elpiji.
Uji coba di Jakarta itu dilakukan setelah peluncuran produk DME Juni 2009. Uji pasar dilakukan untuk komposisi DME dengan elpiji sebesar 20, 50, dan 100. Masyarakat secara sukarela mencoba setiap campuran tersebut. Ternyata ibu-ibu di tiga wilayah di Jakarta itu lebih menyukai komposisi campuran DME-elpiji 50:50. Campuran itu diakui 92% peserta menghasilkan kualitas api setara dengan elipiji, bahkan lebih hemat bila dibandingkan dengan elpiji.
Pengembangan DME oleh Pertamina, yang dari hasil uji coba banyak diminati oleh ibu rumah tangga, merupakan sebuah terobosan untuk mengatasi lingkaran subsidi elpiji yang bisa membelit keuangan negara. Pemikiran itu dilandasi suatu asumsi, bila DME bisa menjadi blending elpiji hingga 20%, setidaknya akan mengurangi impor sebesar 700 ribu ton elpiji. Bila ditingkatkan menjadi 50%, akan mengurangi volume impor sebesar 1,77 ton elpiji. Dari gambaran angka-angka tersebut, pengembangan DME akan bisa mengurangi ketergantungan impor elpiji hingga 40%. Sebuah jumlah yang sangat signifikan untuk menghemat devisa negara.
Indonesia tentu tidak ingin ketinggalan dengan negara lain yang sudah lebih dulu merasakan manfaat menggunakan DME. Beberapa negara sudah menggunakan DME, antara lain China, Swedia, Australia, Jepang, Iran, dan Mesir. Umumnya penelitian dan aplikasi penggunaan DME di dunia saat ini baru pada tahap komposisi campuran maksimum 20%. Namun, dari komposisi tersebut, penghematannya dirasakan cukup signifikan
Kini Pertamina seakan tertantang untuk ikut memelopori pengembangan DME. Karena dari sisi supply, DME dapat diproduksi dengan memanfaatkan melimpahnya cadangan batu bara muda/lignite coal sebagai bahan baku, yang diproses dengan teknologi gasifikasi memproduksi metanol dan selanjutnya metanol dikeluarkan airnya untuk menghasilkan DME. Cadangan batu bara muda di Indonesia diperkirakan belum habis 100 tahun sehingga pengembangan DME memiliki prospek yang cukup cerah.
Dengan berbekal hasil uji coba yang sangat positif tersebut, tidak ada alasan bagi Pertamina untuk berpacu dalam waktu dalam pengembangan DME. Selain hemat, DME ramah lingkungan sehingga bisa memberikan kontribusi dalam usaha penurunan emisi pemanasan global. Tidak salah bila pengembangan DME oleh Pertamina ini untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar lokal yang bervisi global.

Oleh A Faisal, Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina
Opini Media Indonesia 9 Desember 2009