08 Desember 2009

» Home » Suara Merdeka » Memprofankan Citra MAJT

Memprofankan Citra MAJT

KEHADIRAN Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) di Jalan Gajah Raya makin mendongkrak nama Kota Semarang karena terbukti menjadikannya sebagai ikon kota wisata religi yang dapat menyedot ribuan peziarah (sebutan wisatawan religi) mengunjungi tempat-tempat bernuansa agamis itu.

Bisa disaksikan setiap hari bus-bus wisata membawa peziarah dari luar kota masuk ke MAJT. Ini menguatkan pamor masjid yang berarsitektur ala Masjid Nabawi Madinah itu, terutama adanya payung raksasa elektroniknya.


Kota Semarang juga memiliki aset wisata religi lain yang tak kalah menariknya, seperti Gereja Imanuel (Gereja Blenduk),

Kelenteng Sam Poo Kong, Vihara Buddhagaya atau lebih tenar dengan sebutan Vihara Watugong, Vihara Mahavira, serta Masjid Menara di daerah Layur. Semuanya itu butuh perhatian serius baik dari pengelola maupun pemkot agar keutuhan dan kesucian tempat sakral itu terjaga.

Seyogianya sebagai tempat ibadah, segala kebersihan dan ketertiban harus senantiasa dijaga demi terciptanya suasana agamis yang kental dengan kondusivitas lingkungannya. Namun sayangnya, aspek tersebut kurang diindahkan oleh beberapa gelintir orang ataupun pihak pengelola.

Akibatnya fungsi masjid sebagai tempat yang memiliki religiositas tinggi terkontaminasi.

Yang dimaksud tercemari adalah ulang segelintir kawula muda yang menjadikan MAJT sebagai tempat jujugan pacaran pada malam hari, terutama malam Minggu.

Kenampakan ini jelas kurang layak dipandang. Banyak muda mudi yang asyik berduaan, baik di pojok pelataran depan masjid, atau di seputar belakang masjid, memanfaatkan temaramnya lampu penerangan di beberapa titik.

Pemandangan ini semakin mengesankan tidak seimbangnya keimanan dan moral generasi muda kita. Semestinya masjid sebagai tempat mendekatkan diri kepada Sang Khaliq, bukan sebagai tempat ”pdkt” (pendekatan) kepada si pacar.

Kondisi seperti ini sering dikeluhkan masyarakat dan mereka  menyampaikan unek-uneknya berharap cepat ditangani.   Salah satu keluhan tersebut dituangkan dalam kolom ”Piye Jal’’  Suara Merdeka, Rabu, 25 November lalu. Pengirim dengan nomor ponsel 0898545XXX menuliskan: ’’Tolong fungsi MAJT mbok ya dibenahi, mosok masjid untuk pacaran terus”.

Dari SMS yang dikirimkan tersebut, jelas betapa anggota masyarakat sebenarnya risih akan perbuatan tak pantas ini area masjid yang memiliki menara teropong ini. Yang membuat kita prihatin, ketika malam Minggu tiba, seiring dengan larutnya mala, jumlah pasangan yang cenderung lupa diri itu bertambah.

Kendati mereka sekadar ngobrol, duduk merapat berduaan, saling berpegangan tangan, toh tetap saja pemandangan seperti ini tak pantas. Di manakah pemahaman mereka akan hal yang profan dan sakral? Di manakah rasa malu mereka yang semestinya ikut memelihara kesucian tempat ibadah.
Pasar Tiban Belum lagi masalah pedagang kaki lima (PKL) yang tetap bertahan di area larangan. Padahal sudah jelas terpasang papan bertuliskan ìDilarang Berjualan di Sepanjang Depan Masjid Agung Jawa Tengah” . Jika keadaan ini tidak cepat ditangani, nantinya bisa melahirkan masalah baru.

Terbukti, tiap Minggu pagi kompleks masjid, utamanya di sepanjang Jalan Gajah Raya depan masjid dalam radius kurang lebih 300 meter memanjang dari selatan ke utara berubah menjadi pasar tiban. Ketidaktertiban seperti ini  menimbulkan kesan semrawut.

Pedagang resmi di gerai dalam area MAJT juga belum sepenuhnya memperhatikan dagangannya. Mereka hanya menawarkan barang standar, tidak memiliki kekhasan. Misalnya perlengkapan ibadah, serta suvenir yang  juga banyak dijumpai di toko lain, bahkan di pasar tradisional.

Akan lebih bagus jika mereka menjual barang yang khas Semarang. Siasati dengan menjalin kerja sama dengan pihak-pihak yang mampu menghasilkan ataupun menciptakan barang dan suvenir khas Kota Lumpia.

Kelemahan dalam menjual Semarang selama ini memang terkendala faktor minimnya barang yang berbau semarangan, karena seperti yang lazim kita ketahui mampir ke Semarang paling identik dengan wingko babat, bandeng presto, dan lumpia.

Seharusnya aset ini mampu dioptimalkan oleh para kreator cinderamata untuk menciptakan miniatur bangunan yang memang hanya ada di Semarang. Ataupun kaus all about Semarang yang hingga kini masih dapat dihitung dengan jari keberadaan outlet-nya.

Jika pedagang di MAJT menjajakan dagangan yang memiliki nilai keunikan, kekhususan tersendiri, niscaya akan diserbu  pembeli dan dijadikan tempat jujugan sehingga konsep sebagai wisata religi akan benar-benar hidup.

Pengelola perlu memperhatikan aspek perawatan bangunan. Jangan sampai timbul kesan usang. Ketika penulis berkunjung ke masjid kebanggaan masyarakat Jateng itu, melihat ada dinding retak, ubin pecah, lepasnya salah satu engsel pintu perpustakaan, dan pintu toilet serta cat yang pudar di langit-langit karena ada rembesan air.

Jika pengelola mengabaikan keadaan ini dikhawatirkan bisa memudarkan citra bangunan ibadah itu. Padahal masjid tersebut sudah jadi ikon Jateng, apalagi punya fasilitas publik seperti hall mewah yang bisa disewa untuk wisuda, pernikahan, dijadikan tempat pemberangkatan calon haji, bahkan diresmikan oleh Presiden SBY. (10)

— Tafrida Tsurayya, warga Semarang
Wacana Suara Merdeka 9 November 2009