14 Desember 2009

» Home » Republika » Syariat Islam Memberantas Terorisme

Syariat Islam Memberantas Terorisme

Oleh Irfan S Awwas
(Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin)

Retorika agitatif yang mendiskreditkan ajaran Islam sebagai pemicu terorisme mulai memasuki wilayah sensitif dalam ranah keberagamaan dan secara politis berbahaya karena dapat memicu konflik SARA (suku, agama, ras). Diyakini bahwa tidak cukup mengatasi bahaya teror hanya dengan menghukum para teroris, tapi juga membasmi isme atau ideologi pemicu terorisme.

Ideologi terorisme, dalam pandangan para agitator sekuler, identik dengan radikalisme agama. Artinya, radikalisme dalam bentuk tindakan (bom) disebut teror. Sebaliknya, teror dalam wujud isme atau ideologi adalah radikalisme. Terorisme yang berkembang di Indonesia, secara simplistik, dianggap buah dari pemahaman radikalisme Islam. Dari simplikasi tersebut, kemudian muncul kategorisasi Islam moderat versus Islam radikal, sikap eksklusif vs inklusif, ideologi nasional versus transnasional.

Serangan opini pun gencar dilakukan. Tidak saja dilancarkan oleh kaum sekuler, tapi juga melibatkan kelompok oportunis, Muslim ambivalen, dan tentu saja atas nama demokrasi menggunakan kekuasaan negara. Kelompok ini selalu meneriakkan ketakutan, perasaan terancam sebagai cermin dari sikap paranoid terhadap kebangkitan Islam. Usulan formalisasi syariat Islam di lembaga negara pun dibelokkan menjadi pemaksaan kehendak dan merongrong kekuasaan negara sehingga menciptakan kegelisahan dan saling curiga di kalangan masyarakat.

Stigmatisasi Islam radikal juga mendapat penguatan dari aparat intelijen, termasuk tokoh-tokoh Islam ambivalen yang ikut memperkeruh situasi. Pernyataan mantan kepala BIN, Hendrapriyono, dan mantan kadensus, Suryadarma Salim, yang menuding kelompok Islam garis keras yang dikenal sebagai Darul Islam, Ikhwanul Muslimin, dan Wahabi adalah biang kerok ideologi terorisme di Indonesia. Bahkan, seorang staf ahli kapolri, Anton Tabah, menuduh ayat Alquran (surat Almaidah ayat 54, 55, dan 57) sebagai sumber terorisme. Tudingan ini jelas merupakan penistaan terhadap agama dan fitnah besar terhadap umat Islam.

Senada dengan itu adalah serangan agitatif dari aktivis JIL. Slogan Islam Isy Kariman aw Mut Syahidan (Hidup Mulia atau Mati Syahid), oleh aktivis Islam liberal, secara negatif dicemooh sebagai 'teologi maut' yang dapat membangkitkan militansi dan pemicu terorisme.

Padahal, dalam khazanah Islam, ungkapan itu sangat kontekstual dan heroik karena disampaikan oleh ibunda Asma binti Abu Bakar kepada putranya Abdullah bin Zubair agar tetap semangat berperang membela kebenaran sampai titik darah penghabisan melawan kekuasaan tirani yang saat itu pimpinan Yazid bin Muawiyah. Slogan ini juga digunakan umat Islam ketika mengenyahkan penjajah kolonial dari negeri ini.

BN Antiterorisme
Imajinasi terorisme selama ini datang dari Barat. Namun, momentum terorisme yang dipropagandakan oleh rezim AS pimpinan George Walker Bush kini dialihkan ke Indonesia. Buktinya, dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid dua (2009-2014), pemerintahan SBY justru menyiapkan rekayasa konstitusional dengan membentuk Badan Nasional Antiterorisme.

Padahal, akibat kegagalan rezim Bush membuktikan tuduhannya sekalipun dengan mengejar Al Qaida dan Taliban hingga ke Irak, Afghanistan, Pakistan, dan Indonesia, membuat kelompok HAM internasional mengecam rezim Bush sebagai pelanggar HAM berat utama di dunia. Bahkan, mantan presiden AS, Jimmy Carter, dengan pedas mengkritik kebijakan teror George Bush, ''Amerika lebih merupakan negara haus perang daripada negara yang beradab dan mencintai perdamaian.''

Dalam kaitan ini, sungguh ironis, karena ternyata kalangan politikus Muslim tidak berkutik menghadapi stigma barat dan ikut saja arus gerak politiking yang direkayasa orang lain. Dalam tulisan berjudul Urgensi Badan Nasional Antiterorisme, Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa DPR RI, Marwan Ja'far, tampaknya termasuk politikus Muslim yang tidak kuat bertahan menghadapi depolitisasi Islam.

Berikut beberapa inti yang ditulis Marwan Ja'far. Pertama, kelompok fundamentalisme agama selalu berusaha melawan struktur yang dianggap bertentangan dengan nilai sebuah prinsip dan menggantikannya dengan nilai dan prinsip ideologisnya, baik dalam bidang sosial, ekonomi, maupun politik. Organisasi seperti itu kini tumbuh subur di beberapa negara, seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, Jamaat al-Islami di Pakistan, Jamaah Islamiyah di Malaysia, Filipina, dan Indonesia, yang merupakan gerakan sempalan dari Darul Islam yang mencita-citakan Negara Islam Indonesia.

Kedua, gerakan yang mempunyai jargon, seperti klaim pemurtadan dan pengkafiran orang lain, merupakan indikator kuat adanya puritanisme atau radikalisme agama yang terus berkembang, termasuk di Indonesia. Kondisi ini tentunya sangat membahayakan eksistensi bangsa yang plural, seperti Indonesia. Ketiga, bentuk perlindungan negara yang direpresentasikan pemerintah atas segenap warganya adalah membentuk Badan Nasional Antiterorisme. (Republika, 7/12/09).

Urgensi syariat Islam
Siapa pun yang mengaitkan ajaran Islam dengan terorisme, itu selalu datang dari komunitas yang dekat dengan Barat dan antiformalisasi syariat Islam. Tudingan Marwan Ja'far bahwa Islam sebagai sumber terorisme sehingga perlu perlindungan oleh negara atas bahaya terorisme lewat Badan Nasional Antiterorisme, tidaklah proporsional.

Sebagaimana korupsi, pemerintah sudah banyak membentuk badan antikorupsi. Faktanya, korupsi terus merajalela dan koruptor tidak pernah habis ditangkap. Pada masa Orde Baru, kekuasaan politik cenderung represif pada Islam karena dianggap menjadi salah satu potensi ancaman pada rezim yang sedang berkuasa. Upaya sistematis dilakukan kekuasaan formal untuk menekan gerak sosial politik umat Islam, termasuk pemberian cap ekstrem kanan, subversi, radikal, DI-TII, teroris, dan sebagainya. Ujung-ujungnya, malah menekan aktivis Islam untuk tidak bisa bergerak maju dalam bidang sosial politik.

Bahkan, partai politik yang berasas Islam pun secara sistematis dibawa ke arah meninggalkan asas Islamnya. Demikian pula dengan ormas Islam sekalipun yang akhirnya mengubah asas Islam menjadi asas lain. Lalu, apakah dengan politik seperti itu Indonesia menjadi negara yang sejahtera, adil, dan beradab? Apakah perseteruan institusi hukum, kezaliman terhadap rakyat kecil, kemelaratan, karupsi, pembunuhan, dan segala kekacauan politik yang terjadi sekarang disebabkan oleh perjuangan penegakan syariat Islam? Apakah itu akibat kebobrokan kaum demokrasi yang terbukti tidak becus mengatasi bahaya terorisme, korupsi, dan dekadensi moral?

Jika klaim pemurtadan dan pengafiran dianggap indikasi terorisme Islam, bagaimana Anda memosisikan kitab suci Alquran yang dalam banyak ayat menyatakan Yahudi dan Nasrani adalah kafir? Sebagai anggota DPR dari Fraksi PKB, apakah Anda akan mengusulkan ayat-ayat 'nonpluralis' ini supaya diamendemen agar memenuhi selera Barat? Sebaliknya, orang-orang Yahudi dan Nasrani menganggap umat Islam sesat sehingga untuk menyelamatkannya harus dimurtadkan dari Islam. Apakah PKB berani menyatakan tindakan pemurtadan terhadap umat Islam sebagai indikasi terorisme agama?

Sebagai koreksi pemikiran, para politikus Muslim perlu mempertimbangkan ucapan Dr Sujatmoko, seorang yang bukan ulama, tetapi memiliki kecerdasan intelektual. Pada awal dekade 90-an, berdasar pengalamannya sebagai dubes RI di PBB dan rektor Universitas PBB di Tokyo, Sujatmoko mencoba menepis agitasi kaum oportunis di Indonesia yang menganggap syariat Islam sebagai ideologi radikal dan pemicu terorisme.

''Komunisme telah dicoba dan ternyata gagal,'' kata Sujatmoko. Selanjutnya, dikatakan, ''Kapitalisme dengan segala kejahatannya dipraktikkan dan gagal menciptakan keadilan dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Demikian pula sosialisme yang lebih dari sepertiga abad gagal menciptakan keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat, terutama buruh dan petani. Isme-isme lain juga gagal menciptakan dunia yang damai, bahkan hanya sempat hidup beberapa tahun saja, seperti nazisme dan fasisme. Karena itu, mengapa kita tidak mencoba syariat Islam sebagai alternatif untuk memperbaiki negeri kita?

Opini Republika 14 Desember 2009