14 Desember 2009

» Home » Suara Merdeka » Markus dan Wacana Budaya Pasar

Markus dan Wacana Budaya Pasar

SALAH satu kebijakan yang diambil  Presiden SBY dalam menindaklanjuti rekomendasi Tim Pencari Fakta Kasus KPK (Tim 8) adalah memerintahkan Jaksa Agung, Kapolri, dan Pemimpin KPK untuk memberantas mafia hukum dalam waktu dua tahun. Pelaku yang terlibat dalam praktik mafia hukum sering juga disebut dengan makelar kasus (markus), pokrol bambu, calo, atau dolob.


Fenomena markus tidak bisa dilepaskan dari konteks budaya masyarakat yang melatarbelakanginya, yaitu konteks wacana budaya global, yang identik dengan budaya pasar (market). Bahwa keberadaan markus tidak bisa dipisahkan dari adanya wacana budaya global yang telah menghegemoni masyarakat Indonesia khususnya, dan masyarakat dunia pada umumnya.

Proses globalisasi telah menjadi kekuatan besar yang membutuhkan respons tepat karena ia memaksa suatu strategi bertahan hidup dan strategi pengumpulan kekayaan bagi berbagai kelompok dan masyarakat (Featherstone, 1991; Hanners, 1996; Irwan Abdullah, 2007).

Proses globalisasi juga telah membawa pasar menjadi kekuatan dominan dalam pembentukan nilai dan tatanan sosial. Pasar telah mengaburkan batas-batas sosial budaya akibat berubahnya orientasi ruang dalam masyarakat (Arjun Appadurai, 1994; Irwan Abdullah, 2007).

Dalam pandangan Irwan Abdullah (2007) tatanan masyarakat tidak terlepas dari adanya pergeseran orientasi kekuasaan yang diawali oleh wacana masyarakat (society), wacana negara (state), dan wacana pasar (market). Ketiga wacana ini saling tarik-menarik dan mengalami siklus. Dalam konteks wacana market maka etnis dan agama secara teoritis menjadi kurang penting karena digantikan oleh logika-logika pasar yang bersifat kapitalistik.
Menguasai Dunia Seiring dengan meredupnya ideologi sosialisme dan komunisme maka kini ideologi kapitalisme yang menguasai dunia. Manifestasi ideologi kapitalisme salah satunya adalah meluasnya wacana budaya pasar (market culture). Bahwa hukum permintaan dan penawaran selalu mewarnai relasi masyarakat. Nilai (value) kemudian diukur dengan sejumlah uang bukan lagi oleh kesopanan atau ketaatan pada negara.

Fenomena markus di Indonesia dengan dua ikon: Artalita Suryani dan Anggodo Widjojo, tidak bisa dilepaskan dari logika pasar tadi. Artinya, ada pihak yang tersandung kasus hukum kemudian meminta bantuan markus dengan imbalan materi, termasuk juga menyuap pihak-pihak tertentu dengan sejumlah uang. Bahwa setiap kasus hukum memiliki nilai (value) tertentu bagi pihak-pihak terkait.

Slogan ganyang mafia peradilan oleh Presiden SBY dengan membentuk satgas di bawah unit kerja Presiden untuk beraksi dalam dua tahun semoga bukan hanya slogan.Memberantas makelar berdasi ini akan memiliki efek domino, karena makelar adalah anak kandung dari menguatnya wacana pasar.
Tender Proyek Selama nilai selalu diukur dengan sejumlah materi (uang) maka fenomena makelar bagaikan cendawan di musim hujan. Markus tidak hanya pada level pemerintah pusat, markus juga ada pada level provinsi, ataupun level kabupaten/kota. Makelar atau broker juga muncul pada tender proyek, pembuatan SIM, transaksi bisnis, investasi asing, penerimaan CPNS, penerimaan mahasiswa baru dan sebagainya.

Pada saat wacana pasar (market) menguat atau berkuasa, maka wacana negara dan wacana masyarakat melemah. Wacana negara dicirikan oleh adanya fenomena nilai, etika, dan perilaku orang dikendalikan oleh negara melalui berbagai sistem perundangan dengan sanksi hukum yang positivistik. Ideologi nasionalisme menjadi sarana yang dahsyat dalam membangun solidaritas. Aktornya adalah pejabat-pejabat negara.

Sedangkan wacana society dicirikan oleh adanya fenomena nilai, etika, dan perilaku orang dikendalikan oleh tokoh masyarakat dan organisasi sosial yang dibentuk masyarakat. Aktornya adalah raja, ulama, pendeta, pimpinan komunitas, dan LSM.

Merebaknya fenomena makelar adalah salah satu ciri menguatnya wacana pasar, di mana ideologi kapitalisme menjadi panglima. Makelar selalu mencari keuntungan materi di dalam menjual jasanya. Logika untung rugi secara materi menjadi orientasi utama aktifitas makelar. Kalaulah Presiden ingin mengganyang makelar itu artinya wacana negara siap berbenturan melawan wacana pasar.

Di dalam ranah wacana pasar, bagi kaum kapitalis pemupukan modal dan penumpukan keuntungan yang sebesar-besarnya adalah hal yang jamak. Proses pencapaiannya seringkali melanggar nilai keadilan, kesopanan maupun melanggar nilai hukum negara.

Hal itu dianggap wajar saja karena pencapaian keuntungan sebesar-besarnya bisa dilakukan dengan semua cara. Suap, komisi, hadiah, atau setoran adalah mekanisme yang biasa dalam wacana pasar.

Dalam wacana itu, negara seringkali diistilahkan sebagai setan jelek yang tetap dibutuhkan keberadaannya. Negara dianggap memasung aktivitas bisnis melalui aparatus birokrasi serta peraturan dan perundangan yang berlaku. Semakin panjang birokrasi maka semakin banyak meja yang harus dilewati, artinya semakin banyak biaya suap, komisi, hadiah, atau setoran yang harus dikeluarkan.

Akan tetapi negara tetap dibutuhkan karena menjadi payung pelindung kepastian hukum secara legal aktivitas bisnis. Fenomena yang kemudian terjadi adalah merebaknya korupsi dan kolusi antara aparatur negara dan  agen kapitalis, yang menjadi pangkal persoalan terpuruknya bangsa Indonesia.
Dalam wacana pasar, negara seakan hanya menjadi instrumen kapitalisme global.

Di Indonesia kapitalisme global direpresentasikan antara lain oleh Bank Dunia, IMF, ADB, dan perusahaan-perusahaan transnasional. Kekuatan kapitalisme global memiliki kekuatan mendikte negara misalnya berbagai kebijakan negara, peraturan atau perundangan harus sesuai keinginan kaum kapitalis global. Jika negara tidak mau, maka tidak akan ada investasi asing, tidak ada pinjaman dari lembaga donor, sampai pada embargo ekonomi.

Ganyang mafia hukum adalah agenda kerja Presiden yang selayaknya didukung oleh segenap komponen bangsa. Itu artinya adalah genderang perang melawan wacana global yang berorientasi pasar yang telah meminggirkan wacana negara maupun wacana masyarakat. Negara Indonesia tidak boleh dijadikan sebagai instrumen kapitalis untuk mengeruk keuntungan atas sumber daya Indonesia.

Indonesia tidak boleh diacak-acak oleh mafia hukum atau  makelar kasus yang hanya mencari keuntungan pribadi di atas keterpurukan bangsa. Wacana negara dan masyarakat harus diperkuat agar Indonesia terlepas dari keterpurukan.(10)

— Nugroho Trisnu Brata MHum, dosen antropologi di Unnes dan kandidat doktor antropologi di UGM
Wacana Suara Merdeka 15 Desember 2009