14 Desember 2009

» Home » Jawa Pos » Koin Prita dan Dokter Indonesia

Koin Prita dan Dokter Indonesia

SAAT vonis denda 204 juta rupiah dijatuhkan kepada Prita Mulyasari, sontak beribu simpati datang dari masyarakat. Rakyat merasakan ketidakadilan telah menimpa Prita. Kemarahan publik melahirkan gerakan pengumpulan koin untuk Prita. Mengapa koin? Sebab, uang receh itu didaulat sebagai lambang perlawanan rakyat kecil kepada sistem yang lebih besar. Dalam kasus ini, kubu yang besar adalah RS Omni Internasional yang dipandang sebagian orang telah bersikap cukup arogan, plus sistem peradilan yang dinilai tak memihak rasa keadilan rakyat kecil.

Bukan hanya anggota Komisi Yudisial yang prihatin atas putusan itu, Menkes Endang Rahayu Sedyaningsih pun ikut gerah. Tim mediasi dari Depkes diutus untuk kembali menengahi pertikaian antara Prita dan RS Omni. ''Hubungan dokter-pasien seharusnya tolong-menolong, bukan tuntut-menuntut,'' kata Menkes (JP 9/12/09). Kegelisahan Menkes itu membuktikan bahwa selain mengganggu rasa keadilan, gerakan koin untuk Prita juga merepotkan pucuk pimpinan birokrasi kesehatan di negeri ini.

Mengapa demikian? Sebagai kasus yang semula berbau dugaan malapraktik yang dilakukan RS Omni Internasional terhadap Prita (meski tak terbukti), konflik ini telah menjadi cermin bagi dunia kesehatan di tanah air. Kericuhan yang diliput luas oleh media tersebut mewakili hubungan pasien, dokter, serta rumah sakit yang makin rapuh.

Komentar dan pertanyaan masyarakat pun beragam. Salah satu yang paling penting dijawab adalah pertanyaan tentang kualitas pelayanan kesehatan di tanah air. Apa yang terjadi dengan pelayanan kesehatan dalam negeri? Mengapa banyak orang kaya yang lari ke Singapura dan Penang untuk berobat? Apakah semata karena teknologi kesehatan? Benarkah berita tentang dugaan malapraktik di media massa yang muncul tiap minggu itu?

Era krisis kepercayaan tersebut telah diramalkan jauh-jauh hari. Suatu hari, Sir William Osler, Bapak Kedokteran Modern, ditanya tentang definisi dokter yang pintar. Dia dengan lugas menjawab, ''Sesungguhnya tak ada seorang pun yang bisa disebut dokter yang pintar. Di dunia ini hanya ada dua macam dokter. Dokter yang baik dan dokter yang buruk."

Kita boleh tidak setuju terhadap Sir William. Namun secara tak langsung, Profesor Abraham Verghese, seorang ahli penyakit infeksi sekaligus penulis terkenal dari Amerika, berkata, ''Seorang pasien yang menyukai dokternya takkan pernah menuntut, apa pun yang terjadi, apa pun bujukan si pengacara."

Kedua pernyataan tokoh dunia kedokteran dari era yang berbeda itu sebenarnya telah menjawab penyebab meruncingnya hubungan pasien dan dokter dalam beberapa kasus. Sayang, hal itu tak kunjung disadari oleh para pemegang kebijakan, pemilik industri kesehatan, maupun para komunitas dokter.

S.G. Jeffs, seorang dokter Inggris, yang jika masih hidup pastilah akan dianggap puritan, puluhan tahun lalu menulis hal yang sangat mendasar. Satu prinsip yang seharusnya terus ditekankan para dosen kepada para mahasiswa di fakultas kedokteran. ''Nobody is another case of... You have no cases. You have patients who are human beings with feelings and emotions." Kalimat ini mungkin terdengar aneh. Siapa pula yang masih berbicara tentang perasaan dan emosi dalam dunia masa kini yang tergesa?

Para perumus kurikulum pendidikan dokter di masa mendatang seharusnya terus memberikan porsi lebih besar kepada pendidikan dan latihan komunikasi. Sehingga mahasiswa kedokteran memiliki bekal kemampuan berkomunikasi yang lengkap, jujur, sabar, empatis, positif, dan mudah dimengerti. Sebab, hanya dokter yang dapat berkomunikasi dengan baik, berempati, dan bisa meletakkan dirinya pada sudut pandang pasienlah yang akan selamat dari ancaman krisis tuntutan malapraktik.

Di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, praktik kedokteran kadang-kadang dipaksa berubah hanya untuk menjadi baut kecil dari bisnis jasa rumah sakit. Hal yang sama juga terjadi di belahan dunia lain. Apa arti dokter yang pintar tapi dianggap kurang ramah, yang kesibukannya tenggelam di tengah keluhan pasien? Bukankah ini berarti para dokter Indonesia juga harus siap mengumpulkan koin guna menghadapi jutaan rupiah tuntutan malapraktik?

Sungguh, Indonesia tidak kekurangan tenaga ahli. Alat-alat di rumah sakit rujukan pun cukup lengkap. Bahkan, Amerika dan Eropa pun mengakui bahwa mereka tidak ahli dalam semua penyakit. Berbagai jenis penyakit infeksi khas dunia ketiga seperti malaria, demam berdarah, dan penyakit jantung rematik yang akrab dengan kedokteran Indonesia tak selalu dikuasai Barat.

Namun, mengapa RS di Singapura dan Penang menjadi tujuan pasien dari Indonesia? Itu disebabkan mereka berusaha membuat nyaman pasien dan keluarga. Juga kesiapan dokter untuk berkomunikasi dan memberikan informasi secara utuh. Apalagi mereka sangat sadar bahwa rakyat Indonesia adalah pangsa pasar yang besar, dan layanan kesehatan adalah industri jasa yang menjanjikan. Tanpa orang Indonesia, rumah sakit di Singapura dan Penang akan merugi karena investasi yang tak kembali.

Saat ini dunia layanan kesehatan Indonesia tengah menghadapi tantangan sangat berat. Dan jawabannya ada di tangan pihak-pihak yang memegang kendali masa depan. Selain pemerintah dan organisasi profesi, yang tak kalah bermakna adalah fakultas kedokteran, pencetak dokter Indonesia yang kini mulai muncul dan menjamur di mana-mana.

Di tangan mereka dokter Indonesia dibentuk. Apakah mereka nanti memandang pasien secara holistik, sebagai manusia seutuhnya, atau semata melihat pasien yang hanya terjangkit kasus maag yang tak sembuh-sembuh.

*) M. Yusuf Suseno , dokter umum, saat ini tinggal di Surabaya
Opini Jawa Pos 15 Desember 2009