14 Desember 2009

» Home » Media Indonesia » Mengurai Benang Kusut Perempuan

Mengurai Benang Kusut Perempuan

Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan telah berjuang keras lebih dari 30 tahun melaksanakan pembangunan pemberdayaan perempuan. Namun, secara umum kualitas hidup perempuan Indonesia masih banyak yang tertinggal dari kualitas hidup laki-laki.

Betul, sebagian perempuan Indonesia telah mencapai kualitas hidup yang baik. Sebagian bahkan sudah mampu bersaing dengan laki-laki di berbagai dunia kerja, politik, dan keterampilan.


Sayangnya sebagian besar perempuan Indonesia masih jauh tertinggal, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan dan perekonomian dan bahkan kerap mendapat perlakuan kekerasan. Di bidang ekonomi dan politik, perempuan yang aktif di bidang ini kerap menghadapi hambatan dalam kedudukannya sebagai pengambil keputusan lantaran adanya bias gender dalam lingkungan kerjanya. Alhasil pemenuhan hak perempuan berkurang.

Di satu sisi, perempuan yang telah berhasil pun jarang tergerak hatinya untuk sukarela membantu pemberdayaan bagi kaumnya yang tertinggal.

Walau secara keseluruhan masalah gender masih buram, sedikit demi sedikit sejumlah kendala yang menghambat itu berhasil disingkirkan. Sebagai contoh, jumlah anggota legislatif perempuan pada 2004 yang hanya berjumlah 11%, kini pada Pemilu 2009 telah mencapai 18,3%.

Meskipun belum sesuai dengan harapan minimal 30%, setapak demi setapak kemajuan mulai terlihat. Kiprah perempuan makin menonjol di berbagai bidang. Ada lima perempuan di Kabinet Indonesia Bersatu II, belum lagi gubernur perempuan, wali kota/bupati, guru besar dan sebagainya.

Permasalahan budaya, tradisi, mitos bahwa perempuan tidak setara dengan laki-laki masih menjadi hambatan utama dalam proses perjuangan kesetaraan gender. Ini tentunya menyakitkan bagi aktivis gender di Tanah Air. Pasalnya, di era globalisasi ini, perempuan bakal menghadapi berbagai masalah dan tantangan yang semakin kuat dalam menggali potensi serta menjalankan usaha terkait upaya menyejahterakan diri mereka.

Guna mengurai benang kusut kondisi perempuan Indonesia ini, tentunya sebagai langkah awal diperlukan penyamaan persepsi tentang visi dan misi serta rencana strategis program dan kegiatan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak 2010รข€“2014 oleh segenap pihak pemangku kepentingan, baik pemerintah pusat dan daerah, LSM, aktivis dan akademisi kampus.

Kesepakatan visi dan misi antarpemangku kepentingan menjadi fokus utama program 100 hari kerja Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, lantaran menjadi fondasi dalam pergerakan gender selanjutnya.

Dari hasil kesepakatan, diharapkan, dapat terlahir sebuah rencana aksi nasional (RAN) yang secara holistik mampu mengurai permasalahan bangsa. Dari hasil rembuk nanti, segenap pemangku kepentingan diharapkan bisa menjadi motor penggerak penyusunan program dan anggaran responsif gender di kementerian, lembaga, atau wilayah masing-masing.

Apa pun hasilnya nanti, agar rencana aksi bisa berjalan sesuai dengan harapan, tidak ada pilihan lain, kita harus memperkuat kemampuan kelembagaan pengarusutamaan gender (PUG). Untuk itu, diperlukan sebuah pemetaan kemampuan dari tiap kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.

Di samping itu, penting dicatat, harus ada jaminan di tujuh kementerian yang sangat strategis, lantaran bersinggungan langsung dengan problem perempuan, yaitu Departemen Pendidikan, Departemen Kesehatan, Departemen Pertanian, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Keuangan, Bappenas, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, terdapat anggaran dan program kerja yang sangat responsif gender.

Persiapan pelatih anggaran responsif gender di tingkat provinsi dan kebijakan penerapan sistem terpilah menurut jenis kelamin dalam data statistik yang relevan dan pelaporan nasional tentunya juga menjadi kunci berjalan mulus atau tidaknya rencana aksi nasional.

Tindak kekerasan pada perempuan dan anak memang masih saja terjadi. Program perlindungan yang terpadu dan sistematis memang mendesak dibutuhkan. Untungnya, kita telah mempunyai undang-undang yang melindungi perempuan dan anak seperti UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Agar implementasi undang-undang seragam di setiap daerah, perlu diterbitkan standar pelayanan minimal (SPM) layanan terpadu bagi perempuan dan anak korban kekerasan.

Juga diperlukan penyusunan draf final peraturan bersama penanganan anak berhadapan dengan hukum berbasis restorative justice.

Peran media massa dalam membentuk opini masyarakat tentunya tidak bisa diremehkan. Pembuatan iklan berisi pesan visi, misi, dan program tentunya diharapkan dapat menggugah awareness dari masyarakat perihal masalah gender.

Oleh Linda Amalia Sari Gumelar SIP Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Opini Media Indonesia 15 Desember 2009