Empati publik semata-mata bukan karena dia mencuri barang senilai hanya ribuan rupiah melainkan lebih pada rasa keadilan yang dengan mudah diperjualbelikan
NIATAN nenek Minah untuk menanam kakao sebagai bagian dari naluri orang kecil dalam memenuhi kebutuhan perut berbuah petaka. Kakao senilai tidak lebih dari Rp 2 ribu yang dipetiknya dari perkebunan PT Rumpun Sari Antan justru berbuah tuntutan hukuman penjara. Upaya hukum yang ditempuh pihak perkebunan bisa menyidangkan nenek itu dan menjatuhkan ancaman kurungan 1 bulan dengan masa percobaan 15 hari.
Kasus ini berawal dari perbuatan Minah (55) warga Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, ketahuan memetik 3 biji kakao yang rencananya akan dijadikan bibit (ditanam kembali). Namun di luar dugaan apa yang dilakukan tersebut menyeretnya ke meja hijau.
Kasus serupa juga menimpa Manisih (40), Juwono (16), Rusnoto (14), dan Sri Suratmi (25), semuanya warga Dusun Secentong Desa Kenconorejo Kecamatan Tulis Kabupaten Batang.
Kasus pada 2 November lalu ini berawal dari Manisih dan dua anaknya serta Sri Suratmi ngasak (memungut sisa) kapuk randu yang jatuh ke tanah dari sisa panen di perkebunan milik PT Segayung. Dengan alasan melakukan tindak pencurian mereka dilaporkan ke Polres Batang. Akhirnya mereka mendekam di rumah tahanan Rowobelang karena dituduh telah mencuri dua kilogram kapuk senilai kurang lebih Rp 4 ribu.
Ada beberapa hal yang menarik untuk kita cermati. Pertama, kasus ini sama-sama menimpa wong cilik (rakyat kecil), dalam pendekatan kausalitas memang akibat yang terjadi tidak jauh dari sebab yang diperbuat oleh mereka. Jika memang secara yuridis perbuatan mereka terbukti melanggar hukum sudah pastinya kesalahan seberapa pun besar kecilnya tetap harus ditindak secara hukum.
Alasan ini tentunya disepakati oleh siapapun yang mencintai dan menegakan keadilan, tetapi persoalannya menjadi berbeda ketika para koruptor alias maling uang rakyat dan negara yang bermiliar-miliar bahkan triliunan bebas berkeliaran tanpa penyelesaian yang jelas.
Di sini empati publik semata-mata bukan karena perbuatan pencuriannya yang hanya bernilai ribuan rupiah melainkan lebih pada rasa keadilan yang dengan mudahnya diperjualbelikan.
Bagi nenek Minah peristiwa yang menimpanya mungkin dianggap sebagai musibah, yang tentunya berbuah hikmah untuk dirinya. Hal ini juga yang mungkin dirasakan oleh Sri Suratmi dan Manisih sekeluarga. Tetapi bagi para koruptor jika hal yang sama terjadi, semata-mata hanya berkurangnya hasil uang korupsi karena untuk membayar pengacara dan keesokan harinya sudah bisa tergantikan lagi. Adanya discrepancy (kesenjangan) keadilan inilah yang membuat banyak hati rakyat terluka dan bertanya kemanakah keadilan itu?.
Bertingkat-tingkat Kedua, nilai nominal barang yang dicuri sama-sama kecil, memang ini bukan berarti menjadi alasan bebas dari jeratan hukuman. Tetapi lebih memiliki makna simbolis bahwa kebutuhan manusia pada dasarnya bertingkat-tingkat, mulai dari tingkat yang paling bawah sampai ke tingkat yang paling tinggi. Kebutuhan pada tingkatan yang lebih tinggi tidak mungkin timbul sebelum kebutuhan yang lebih mendasar terpenuhi (Abraham H. Maslow:1964).
Dalam konteks kasus pencurian kakao dan kapuk, mengindikasikan bahwa kebutuhan dasar mereka adalah baru sebatas untuk urusan perut. Mereka tidak akan memikirkan kebutuhan lainnya sebelum kebutuhan dasar terpenuhi. Hal inilah yang dikenal dengan istilah motif (dorongan) atau dalam istilah hukum dimaknai sebagai alasan atau dasar terhadap perbuatan yang dilakukan.
Dalam pembelaan yang disampaikan secara langsung, nenek Minah meminta agar hakim tidak menghukumnya. ”Saya mencuri biji kakao untuk ditanam kembali, saya mohon pada Pak hakim agar saya dibebaskan,î tukasnya. Jelas sekali motif tersebut disampaikan secara jujur dan gamblang tanpa rekayasa. Namun berbeda dari apa yang selama ini kita saksikan pada proses hukum para koruptor yang penuh dengan kebohongan dan manipulasi perkara.
Selain sebagai simbol strata sosial ekonomi, peristiwa tersebut bisa menjadi inspirasi bagi para penegak hukum untuk tetap menegakkan kebenaran dan keadilan, meskipun kebenarannya terasa pahit.
Makna lain yang dapat ditangkap adalah bahwa penegakan hukum tidak pandang bulu, sebesar dan sekecil apapun, oleh siapapun, baik dari kalangan wong cilik hingga presiden sekalipun, jika memang melanggar hukum harus ditindak dengan seadil-adilnya.
Kesadaran ini menjadi penting untuk direfleksikan karena kondisi lembaga hukum negeri ini sedang labil dan oleng, maka menghadirkan semangat moral Indonesia bersih dari koruptor dan gerakan reformasi di tubuh lembaga hukum tidak boleh lepas dari kawalan seluruh elemen bangsa.
Karena sudah demikian sering kita saksikan rakyat kecil yang dilukai oleh negara lewat lembaga peradilan, munculnya kasus-kasus hukum lain yang serupa semakin mengukuhkan bahwa kebutuhan utama rakyat adalah komitmen moral dan etika sosial di dalam menegakkan sendi-sendi hukum yang berkeadilan.
Perlakuan semena-mena, culas, dan bejat yang dilakukan oleh para markus (makelar kasus), pemodal besar, ataupun pejabat negara yang berkuasa, terbukti telah membuat rakyat kecil teralienasi dari rasa keadilan. Mereka tergiring untuk menerima takdir sebagai segmen sosial yang dikalahkan (losser society).
Dengan demikian, Penegakan keadilan bukan hanya semata-mata perbuatan lembaga peradilan yang didasari niat baik namun mengekpresikan aksi moral secara kolektif berdasarkan tujuan universal sesuai yang dinyatakan dalam Pancasila dan UUD 1945 sejalan dengan asas positif kehidupan. Karena itulah kemungkinan terciptanya etika global dan solidaritas moral sungguh terbuka dalam kesatuan aksi Indonesia bersih, berkeadilan, dan bermoral.
Belajar dari kasus ini bahwa pemecahan persoalan hukum bukan hanya adanya pemerintahan yang kuat dan kabinet yang profesional, melainkan yang lebih penting adalah mengusahakan jalan keluar bagi persoalan rakyat dan solidaritas moral yang kuat untuk menegakkan keadilan.(10)
— Pandi Kuswoyo, mahasiswa pascasarjana psikologi pendidikan Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Opini Suara Merdeka 15 Desember 2009