08 November 2009

» Home » Kompas » Senja Kala Pemberantasan Korupsi?

Senja Kala Pemberantasan Korupsi?

Simbol ”cicak vs buaya” lebih dari sekadar pertarungan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan kepolisian.
Yang sesungguhnya terjadi, kulminasi pertarungan panjang antara nurani rakyat yang sudah muak dengan masifnya praktik korupsi melawan serangan balik para koruptor. Karena itu, penyelesaian skandal ”cicak vs buaya” akan menentukan agenda pemberantasan korupsi.
Skandal ”cicak vs buaya” menjadi bukti nyata rapuhnya komitmen pemberantasan korupsi sejumlah institusi negara. Padahal sejak awal disadari, keberhasilan agenda pemberantasan korupsi akan ditentukan oleh dukungan politik parlemen dan pimpinan tertinggi di eksekutif, aturan hukum, penegak hukum, dan dukungan masyarakat.


Di tengah pertarungan ”cicak vs buaya”, kita sedang menyaksikan dukungan yang terbelah untuk pemberantasan korupsi. Jika mau dibobot, dukungan institusi negara untuk memperkuat agenda pemberantasan korupsi pasti jauh lebih kecil daripada tahun- tahun awal reformasi. Karena itu, kini agenda pemberantasan korupsi tidak sedang di persimpangan jalan, tetapi bergerak menuju titik nadir.
Memudar
Bagi negara-negara yang sedang terbelit praktik korupsi masif, dukungan parlemen menjadi salah faktor penentu keberhasilan agenda pemberantasan korupsi. Keberhasilan akan kian cepat diraih jika pimpinan tertinggi di eksekutif memberi dukungan serupa. Dukungan itu diperlukan untuk menggerakkan aparat penegak hukum yang ada di bawah presiden.
Meski menyisakan banyak celah, selama satu dasawarsa pertama reformasi dukungan atas pemberantasan korupsi begitu menonjol. Buktinya, dalam periode itu berhasil dibuat sejumlah undang-undang yang mempunyai semangat luar biasa dalam memberantas korupsi. Tak terbantahkan, KPK dengan kewenangan luar biasa dan pengadilan khusus tindak pidana korupsi adalah wujud nyata semangat itu.
Perlahan tetapi pasti, semangat memberantas korupsi mulai memudar. Buktinya, dengan kewenangan legislasi, sejumlah undang-undang yang punya semangat memberantas korupsi mulai dimasalahkan. Kita ingat, bagaimana DPR mengobrak-abrik sejumlah pasal dalam revisi UU KPK. Tanpa tekanan masyarakat, bisa jadi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak memilih untuk kembali ke draf awal.
Bukti lain, dalam periode 2004-2009, secara terbuka DPR mengintervensi aparat penegak hukum untuk menghentikan sejumlah kasus korupsi yang melibatkan anggota DPRD.
Hal yang sama juga terjadi di eksekutif. Memulai dengan moto: ”saya akan memimpin langsung agenda pemberantasan korupsi”, semangat Presiden Yudhoyono untuk memberantas korupsi kian memudar. Setidaknya, pemudaran itu dapat dilacak dari ketidakjelasan sikap atas kriminalisasi yang menimpa unsur pimpinan (nonaktif) KPK, Bibit-Chandra, yang telah berlangsung cukup lama. Dengan dalih ”tak mau mencampuri proses hukum”, Yudhoyono membiarkan KPK porak- peranda. Karena itu, pembentukan TPF dinilai sebagai pilihan yang terlambat.
Ancaman serius
Ancaman paling serius dalam agenda pemberantasan korupsi ke depan, bangunan koalisi pemerintah dan sejumlah kekuatan politik DPR. Dengan dukungan mayoritas absolut di DPR, agenda pemberantasan korupsi potensial terbelenggu oleh perselingkuhan antara pemerintah dan sejumlah partai politik. Ancaman itu akan kian nyata jika soliditas bangunan koalisi terjaga baik. Apalagi, jika semangat memberantas korupsi tidak menjadi bingkai bangunan koalisi.
Terkait kekhawatiran itu, Susan Rose-Ackerman dalam Corruption and Government: Causes, Consequenscie, and Reform (1999) mengingatkan, agenda dan strategi pemberantasan korupsi lebih mungkin dilaksanakan di tengah keterbatasan kekuasaan para politisi dan institusi-institusi politik. Tidak hanya itu, tambah Rose-Ackerman, perlu pemisahan antara pemegang kekuasaan legislatif dan pemegang kekuasaan eksekutif.
Apa yang dikhawatirkan Rose-Ackerman sedang terjadi di negeri ini. Buktinya, beberapa kali upaya menggunakan hak konstitusional dalam bentuk pengawasan anggota DPR di tingkat komisi dibatalkan ketua DPR. Padahal, agenda yang akan dibicarakan terbilang isu-isu sederhana dalam pelaksanaan fungsi pengawasan. Jika yang sederhana saja gagal, bagaimana dengan isu superserius seperti skandal Bank Century?
Yang amat menggelikan, begitu memudarnya semangat pemberantasan korupsi di DPR, lembaga ini tidak malu melakukan langkah di luar logika publik. Buktinya, DPR seperti menyediakan ”panggung” bagi polisi guna mengimbangi proses persidangan di Mahkamah Konstitusi. Seharusnya forum rapat kerja itu dimanfaatkan untuk mendalami sejumlah isu terkait kriminalisasi atas Bibit-Chandra.
Sepanjang rapat kerja berlangsung, hampir tidak ada pertanyaan yang mendalami kasus Bibit- Chandra. Ini bukan gambaran keterbatasan kemampuan anggota DPR dalam melakukan fungsi pengawasan. Kejadian itu hanya memperkuat bukti, DPR tidak pernah nyaman dengan sepak terjang KPK. Dengan gambaran itu, sulit berharap kepada kekuatan mayoritas DPR menjadi barisan pendukung agenda pemberantasan korupsi.
Tidak berubah
Mendengar rekaman di MK tempo hari, sulit berharap kepada kepolisian dan kejaksaan. Bahkan, jujur harus diakui, tidak ada yang berubah di kedua institusi penegak hukum ini. Karena itu, wajar jika ada yang menilai kejaksaan dan kepolisian adalah dua institusi paling ”menikmati” perubahan paradigma penegakan hukum. Selama tidak ada perubahan radikal, jangan berharap polisi dan kejaksaan akan menjadi salah satu ujung tombak pemberantasan korupsi.
Sebagai bawahan presiden, Kapolri dan Jaksa Agung gagal melakukan reformasi internal sebagaimana diamanatkan Inpres No 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Bahkan, kasus ”perselingkuhan” sejumlah petinggi kepolisian dan kejaksaan merupakan perbuatan berulang. Keanehan kian menggunung saat kepolisian tak menahan Anggodo, tokoh utama di balik kriminalisasi atas Bibit-Chandra.
Banyak kalangan menilai, skandal ”cicak vs buaya” adalah pertaruhan nama baik Presiden Yudhoyono (Kompas, 6/11). Jika benar, Presiden harus memperbaiki keadaan. Yang sulit dipahami, mengapa Yudhoyono masih mempertahankan dua petinggi ini?
Hilangnya harapan kepada parlemen dan pemerintah serta kepolisian-kejaksaan tidak berarti kita kehilangan segalanya. Tidak ada istilah senja kala dalam agenda pemberantasan korupsi. Kita masih memiliki MK dan KPK tidak mungkin dibunuh. Selain itu, konsolidasi masyarakat sipil yang terjadi selama kasus Bibit-Chandra menjadi modal besar untuk terus bertahan. Bagaimanapun, jangan pernah berhenti melawan korupsi.
Saldi IsraDosen Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Opini Kompas 9 November 2009