Apabila pluriformitas terhayati dan salah satu tujuan kekuasaan disepakati demi kepentingan kaum miskin maka Centesimus Annus (1991) dan Tertio Millenio Adveniente (1994) menjadi relevan bagi peradaban Indonesia sebagai bagian peradaban universal. Dua naskah apostolik Vatikan itu bukan saja kritis terhadap pasar global namun juga menandaskan paling sedikit tiga masalah peradaban yang mendasar dan terpenting.
Pertama, banyak kebutuhan dasar manusia tak dapat tempat dalam pasar global sebab mereka secara alami sejatinya bukan untuk diperdagangkan. Maka peran negara jadi mutlak untuk mengatur barang-barang kolektif yang tak bisa diatur dengan sendirinya oleh mekanisme pasar. Jika kebutuhan-kebutuhan dasar tetap tidak terpenuhi, keadilan dan kebenaran wajib memperingatkannya dengan keras.
Kedua, seruan moral atas utang internasional. Utang tersebut sungguh-sungguh jadi bencana dan menghalangi banyak negara miskin untuk menempatkan diri sejajar dengan negara-negara lain. Bukan hanya penghapusan utang, tetapi menyingkirkan semua beban yang tak tertanggungkan. Pengampunan utang harus menjadi bagian proses pemulihan keadilan dan harmoni hidup bersama di dunia. Dengan itu negara-negara miskin dibuat mampu memulai lagi proses bernegara mereka dengan sesuatu yang benar-benar baru, menuju sejarah baru mereka yang lebih cerah.
Ketiga, tanggung jawab politis dalam kasus ekonomi semestinya selalu pelayanan dan tanggungjawab demi kaum terlemah. Jika pemberlakuan tatanan ekonomi (macam apa pun) tidak terbuka bagi pelayanan kemanusiaan, ia akan mudah menjadi ideologi kasar dan bahkan dalam bentuknya yang paling jelek: pemberhalaan!
Sayang! Agaknya banyak pemimpin dunia sampai saat ini tidak peduli tentang itu semua, di dalam praktek, meski retorika berkata lain. Karena itu lautan kemiskinan tetap meliputi bumi sebab ketidakadilan ditenggang merajalela terus. Dunia di mana tak ada lagi orang-orang lapar akan kebutuhan-kebutuhan dasar manakala orang-orang lain menghambur-hamburkannya tanpa pikir dua kali, masih tetap mimpi.
Itulah skandal publik terdahsyat dewasa ini. Meski deret panjang retorika menyanyi tentang kemanusiaan yang tak bisa menenggang kontras antara si miskin dan si kaya, namun kemiskinan absolut masih berceceran di banyak tempat saat kita sejatinya punya banyak sarana untuk menanggulanginya (justru dengan ”kemajuan” globalisasi sendiri). Kemiskinan ini merupakan salah satu tanda paling nyata akan langkanya persamaan dan harmoni hubungan sesama —produk dari kelemahan manusia.
Ironisnya, kelemahan insani dalam masalah ini berasal dari kekuasaan. Salah satu kekuasaan paling kuat adalah globalisasi. Padahal, globalisasi sejati sebenarnya merupakan proses tak terbendung yang bisa menjadi kekuatan besar demi kebaikan. Ini menyangkut dua kebenaran fundamental.
Pertama, barang-barang ciptaan adalah untuk semua. Kedua, realitas global paling dasar adalah keluarga umat manusia. Maka harus ada kekuatan-kekuatan penekan yang positif demi kebaikan agar dua kebenaran dasar itu jadi kenyataan. Sebab, jika proses globalisasi menolak, merusak dan menganggap remeh dua kebenaran tersebut, bencana yang memporakporandakan dunia seisinya tak akan terelakkan.
Dalam kaitan itu banyak pakar setuju bahwa sejumlah negara miskin belum berperan penuh dalam pasar global. Namun minat untuk mengatrol kebelumberuntungan ini nyaris tidak ada. Dalam banyak kasus negara-negara miskin masih dibiarkan jauh terbelakang dalam mekanisme pasar global. Nah, itulah ketidakadilan! Itu bukan saja menyangkut bahan-bahan mentah, tetapi juga buah-buah akalbudi manusia: teknologi, informasi, semua ilmu pengetahuan, dan banyak buah lain dari riset-riset modern. Itu tidak berarti bahwa mereka yang menginvestasi dalam riset, juga akan mendapat haknya secara adil dalam mekanisme pemberlakuan keadilan tersebut.
Masalahnya, dalam terang Centesimus Annus dan Tertio Millenio Adveniente, kekayaan intelektual merupakan bagian rahmat Tuhan bagi kemanusiaan yang dianugerahkan demi kebaikan semua umat. Tiap tatanan politik ekonomi yang mengakibatkan kesenjangan besar dan mendorong bagian besar sektor masyarakat terpinggirkan, jelas tidak melayani kebaikan umum umat manusia.
Bahkan tanpa berdasar etika moral keagamaanpun, setiap tata ekonomi yang meniscayakan kesenjangaan besar, tak akan tahan lama, bahkan hanya secara ekonomis. Karena itu, kesenjangan besar akibat ketidakadilan sebagai sumber pemiskinan dan kemiskinan tersebut harus dihentikan. Salah satu sarananya adalah menegakkan tatanan sosial ekonomi berdasar koalisi yang konstruktif antara dunia ekonomi dan mereka yang mengemban tanggungjawab masalah-masalah sosial. (80)
Karena itu, kesenjangan besar akibat ketidakadilan sebagai sumber pemiskinan dan kemiskinan tersebut harus dihentikan.
—L Murbandono Hs,doktor Filsafat Pendidikan, tinggal di Banyubiru
Wacana Suara Merdeka 9 November 2009