DI tengah hiruk pikuk kasus Bibit-Chandra, satu hal yang sangat penting dicermati masyarakat adalah keberadaan Dewan Perwalikan Rakyat (DPR). Sejak penahanan hingga pembebasan Bibit-Chandra, DPR cenderung diam tak bereaksi. Bahkan ketika dukungan facebookers mencapai 500 ribu sesaat sebelum pembebasan Bibit-Chandra, suara itu pun tidak terdengar.
Begitu terdengar, dalam rapat Komisi III dengan Polri, kabar yang keluar justru suara yang mengecewakan publik. Hasil rapat komisi tersebut sama sekali tidak mewakili apa yang sedang terjadi di masyarakat. Jutaan suara facebookers yang mendukung KPK sama sekali tidak terwakili.
Fenomena ini menarik dicermati lantaran DPR sejatinya merupakan institusi yang paling ”sah” menjadi representasi rakyat. Bukan hanya karena anggota dewan dipilih secara langsung oleh rakyat. Namun juga karena konstelasi politik di DPR juga mewakili keragaman kepentingan di masyarakat. Karena itu, sangat mengherankan jika DPR sama sekali tidak menunjukkan empatinya kepada para pendukung KPK. Satu juta suara facebookers dianggap seperti angin lalu.
Ketiadaan empati tersebut menjadi semakin aneh mengingat DPR baru saja dilantik satu bulan lalu. Artinya, mereka masih sangat ”segar”. Ibarat orang baru masuk kancah pertempuran, keringat-keringat rakyat masih tercium kuat di tangan-tangan mereka. Jika baru dilantik saja sudah tidak peka akan suara rakyat, bagaimana rakyat bisa berharap kepekaan itu ada ketika mereka sudah duduk lama di kursi dewan yang terhormat?
Ironisnya, suara-suara rakyat justru mendapatkan salurannya dalam ruang maya bernama facebook. Tidak seperti institusi DPR yang dibiayai sangat mahal dari uang rakyat, facebook mampu menjadi penyambung lidah rakyat yang murah dan juga efektif. Tentu saja peran media, para tokoh masyarakat, dan LSM tidak dapat diabaikan. Tetapi yang menjadi poin di sini adalah bahwa dalam kasus ini kepentingan publik tidak diwakili oleh lembaga yang seharusnya berfungsi sebagai penyambung lidah rakyat.
Kenapa hal ini bisa terjadi? Apakah ini mengindikasikan DPR baru mengalami disorientasi pascapemilu yang melelahkan? Bukankah kemarin ada pembekalan anggota dewan, yang konon menelan biaya hingga miliaran rupiah? Atau karena faktor-faktor internal dan eksternal lain?
Mengasah Kepekaan Tentu tidak mudah menjawab persoalan ini. Yang pasti, ketidakberdayaan DPR menyuarakan kepentingan rakyat bisa membuat rakyat berpikiran macam-macam. Yang lebih berbahaya lagi, kepercayaan publik terhadap lembaga negara akan semakin menurun. Akhirnya rakyat menggunakan cara-cara ekstraparlementer seperti pada masa Orde Baru. Lembaga negara ada, tapi dianggap tidak ada. Jika dibiarkan, tentu akan berdampak sangat buruk bagi proses demokrasi lima tahun ke depan.
Hemat saya, tidak ada jalan lain bagi DPR kecuali mengasah lagi kepekaannya terhadap lingkungan. Bukan kepekaan semu, seperti yang dulu ramai ditunjukkan saat kampanye. Tapi kepekaan sejati demi menyuarakan aspirasi masyarakat pemilihnya.
Di sini tulisan Ben Anderson (1996) sangat menarik untuk dicermati. Ahli Indonesia asal Amerika ini membandingkan partisipasi politik di Thailand, Filipina, dan Indonesia pada masa awal negara berdiri. Berbeda dari wakil rakyat di Thailand dan Filipina, wakil-wakil kita pada masa revolusi tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok dengan warga masyarakat pada umumnya. Baik dari cara mereka berpakaian, maupun tempat tinggal mereka. Tentu perbedaan status sosial dan ekonomi ada saat itu. Namun perbedaan tersebut tidak menjadikan jarak antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakili.
Spirit ini semestinya menjadi pelajaran bagi wakil rakyat kita sekarang. Gaji yang tinggi serta fasilitas yang mewah tidak seharusnya menjauhkan mereka dari rakyat pemilihnya. Mengasah kepekaan adalah kewajiban yang harus senantiasa dilakukan. Tidak hanya pada masa kampanye, tapi juga pascapemilu.
Jika mau berubah, hemat saya DPR belumlah terlambat. Kasus Bibit-Chandra ini harus dijadikan momentum untuk membuktikan kepedulian DPR terhadap para konstituennya. Dalam konteks ini, kepedulian tersebut dapat ditunjukan dengan mengawal penuntasan kasus Bank Century, yang sesungguhnya menjadi biang kerok dari ”geger nasional” belakangan ini.
Langkah Strategis Selain kasus Century, ada dua hal lain yang bisa dilakukan DPR terkait kasus ini. Pertama, mengambil langkah-langkah strategis untuk menjadikan Polri lebih profesional. Profesionalisme tersebut tidak hanya penting untuk mengembalikan citra Polri yang tengah terpuruk, tapi juga untuk memperkuat proses demokratisasi di Indonesia.
Sebagaimana para wakil rakyat sebelumnya telah berhasil mengawal reformasi TNI, DPR sekarang ditantang untuk mengawal reformasi kepolisian. Salah satunya adalah dengan membuat institusi Polri lebih civilian dan jauh dari kesan militeristik.
Tulisan Nico Harjanto di harian ini (SM, 2/11) menunjukkan bagaimana wewenang Polri masih terlalu besar dan sangat sentralistik. Di negara-negara maju seperti Australia dan Amerika Serikat, berbagai kewenangan tersebut didistribusikan ke berbagai institusi pemerintah lainnya. Hal ini dilakukan untuk menghindari penyalahgunaan jabatan sekaligus meningkatkan transparansi dan akuntabilitas kepolisian. DPR dapat mengawal proses reformasi polisi ini melalui kekuatan legislasi yang dimilikinya.
Kedua, kekuatan legislasi DPR juga harus digunakan untuk mempertajam upaya pemberantasan korupsi. Tidak dapat dimungkiri, penahanan Bibit-Chandra sedikit banyak berpengaruh pada kinerja KPK. Kita tidak menghendaki kasus ini membuat KPK kehilangan elan vitalnya sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi. Sebaliknya, kasus ini harus menjadi momentum untuk memperkuat lembaga KPK. Penguatan kelembagaan ini sangat penting lantaran korupsi sudah menjadi kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Karena itu penanganannya pun harus dilakukan secara luar biasa oleh lembaga istimewa. Di sinilah peran DPR sangat strategis dan krusial.
Jika para anggota DPR benar-benar bertekad memberantas korupsi seperti yang dijanjikan saat kampanye dulu, tentu langkah-langkah strategis tersebut bukan hal aneh untuk dilakukan bukan? Sungguh, kami rakyat Indonesia sedang menagih janji-janji itu. (35)
—Dani Muhtada, dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, sedang menempuh S3 di Northern Illinois University USA
Wacana Suara Merdeka 9 November 2009