Satu pekan terakhir ini, rakyat syok menyaksikan aparat hukum di negeri ini tidak ada nilainya sama sekali.
Pemutaran rekaman penyadapan KPK di Mahkamah Konstitusi membuat rakyat kehilangan kepercayaan kepada institusi Polri dan Kejaksaan Agung. Belum habis rasa pedih hati, ulah berikut datang dari DPR, yang asyik melakukan puja-puji kepada polisi. Rakyat kecewa.Bagaimana mungkin anggota DPR tidak berpihak kepada korban, yakni Bibit-Chandra, tetapi kepada pihak yang melakukan kesewenang-wenangan? Harapan bahwa anggota DPR akan bersikap kritis dan tajam mempertanyakan pertanggungjawaban Kapolri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri sirna sudah.
Kini, rakyat mempertanyakan komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam memberantas korupsi. Kepercayaan rakyat kian luntur. Bila para pemimpin tidak dipercaya dan dihargai lagi oleh rakyatnya sendiri, maka para pemimpin telah gagal menjunjung etika publik.
Apakah yang membuat etika publik begitu penting dirawat? Etika merupakan panduan untuk bertindak secara benar yang didasari tanggung jawab. Artinya, siap menerima konsekuensi dari setiap tindakannya. Pendek kata, etika adalah penilaian akan tindakan yang benar dan salah serta kapasitas untuk membuat aneka keputusan yang bertanggung jawab. Etika publik menargetkan pejabat publik yang memiliki kekuasaan dan otoritas untuk dapat menunjukkan dirinya dapat dipercaya sehingga mampu melakukan kinerja yang baik.
Baik confidence dan trust memainkan peran penting dalam etika publik. Pemerintah atau pelayan publik seperti Polri dan DPR dalam tatanan negara demokrasi selalu dituntut untuk memiliki standar nilai lebih tinggi dari standar nilai personal atau standar nilai sektor privat. Nilai- nilai pelayanan publik senantiasa mengedepankan transparansi, akuntabilitas, integritas, dan kejujuran. Butir-butir itu memformulasi apa yang disebut kepercayaan publik.
Dari rekaman yang diperdengarkan kepada rakyat Indonesia, peran pihak yang dipercaya untuk memiliki kuasa dan otoritas telah dilecehkan Anggodo. Beberapa pihak terlihat melindungi dan menampik permintaan banyak kalangan untuk menangkap Anggodo. Kapolri beralasan memerlukan bukti-bukti lebih banyak lagi. Padahal, Anggodo secara gamblang berbicara soal penyogokan, bahkan keinginan melenyapkan nyawa seorang penegak hukum.
Ketika kepolisian dan kejaksaan tidak dapat memberi putusan yang tepat, saat itulah kepercayaan publik hilang. Pihak yang berotoritas tidak mampu membuat keputusan etis yang melampaui aneka persoalan legalistik formal. Artinya, nurani penegak hukum dan pejabat di Indonesia tidak berbunyi.
Inilah yang tidak dipahami oleh para pejabat negara. Bahwa keputusan etis bersifat reflektif didasarkan oleh akal sehat. Keputusan etis mengacu pada prinsip-prinsip dasar dan nilai-nilai yang kuat. Keputusan etis berarti mampu membuat keputusan yang normatif, artinya harus melakukan pilihan-pilihan.
Pilihan-pilihan etis apakah yang akan dilakukan pejabat negara ini? Tim Pencari Fakta (TPF) berusaha menjaga keutuhan hati rakyat Indonesia dengan berpihak pada keadilan. Namun, apakah TPF mampu memutuskan untuk komit pada yang ulung, bukan pada wewenang?
Jajaran Polri dan Kejaksaan Agung tetap bertahan pada legalistik formal entah untuk mencari kebenaran atau mencari selamat. Mampukah mereka memutuskan untuk memihak pada rasa keadilan? DPR sibuk memikirkan kepentingan koalisi partai. Mampukah memutuskan untuk bersikap independen? Aneka pertanyaan etis ini hanya bisa disikapi dengan memutuskan agar Indonesia dibiarkan tetap hidup atau mati, manakah yang akan dipilih?
Opini Kompas 9 November 2009