08 November 2009

» Home » Okezone » Demokrasi dan Kekuatan Kontrol Masyarakat

Demokrasi dan Kekuatan Kontrol Masyarakat


Demokrat, menurut Abraham Lincoln --salah satu presiden Amerika paling populer-- adalah pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat, untuk rakyat. Definisi ini menunjukkan bahwa dalam sistem demokrasi, kedaulatan ada di tangan rakyat. Rakyatlah sesungguhnya yang mengatur pemerintahan.
Rakyat yang memilih dan memberhentikan para pemimpin, membuat kebijakan publik, mengawasi implementasi kebijakan publik, serta menghukum orang-orang pemerintah yang menyelewengkan kebijakan publik yang sudah disepakati bersama. Namun, dalam negara modern, tidak bisa semua rakyat memerintah, apalagi untuk negara besar seperti Indonesia.
Negara akan kacau-balau jika semua orang ikut memerintah, semua orang menjalankan kekuasaan secara bersama. Maka, dalam buku teks ilmu politik, demokrasi dibagi dalam demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Demokrasi langsung tinggal catatan sejarah (antara lain terjadi pada zaman Yunani kuno).

Sesuai namanya, dalam demokrasi perwakilan, rakyat menitipkan (sebagian) kedaulatan mereka kepada wakil-wakilnya di parlemen. Menitipkan tentu berbeda dengan menyerahkan. Rakyat tidak pernah menyerahkan kedaulatannya kepada wakil-wakil mereka di parlemen. Tidak pernah! Kedaulatan tetap milik rakyat.

Untuk menjalankan mandat tersebut, para wakil rakyat dengan sendirinya harus senantiasa memperhatikan, mendengar, dan melaksanakan suara serta aspirasi rakyat. Bilamana para wakil rakyat berkhianat, bukan suara rakyat yang dijalankan, melainkan kehendak pribadi atau kelompoknya, rakyat berhak bertindak, sampai ke penarikan mandat mereka dari tangan wakil-wakil mereka di parlemen.

Dalam bahasa populer, penarikan mandat kepada pemimpin dan wakil rakyat lebih sering dikatakan identik dengan pemecatan pemimpin atau penggulingan kekuasaan rezim. Bagaimana rakyat tahu bahwa pemimpin yang dipimpin atau wakil-wakil rakyat yang dipilih itu telah mengkhianati rakyat? Di sinilah peran sentral media massa.

Supaya rakyat bisa memilih pemimpin-pemimpin yang cakap dan dedikatif, supaya rakyat dapat menyusun kebijakan-kebijakan publik yang bermanfaat bagi kesejahteraan dan kemakmuran mereka, serta mengawasi secara aktif implementasi setiap kebijakan publik, rakyat membutuhkan informasi-informasi. Dalam sistem demokrasi, sebagian besar informasi yang diperlukan rakyat dipasok media massa.

Media massa, dengan demikian, menjadi kendaraan rakyat untuk bertindak sebagai pengawas. Maka, dalam sistem demokrasi, kebebasan media atau kebebasan pers dikatakan salah satu pilar penting. Jika kebebasan pers dikebiri atau dikendalikan secara ketat, sistem demokrasi takkan berjalan efektif. Yang ada hanyalah sistem otoriter atau demokrasi rekayasa seperti yang kita alami dalam era Orde Baru.

Sistem demokrasi memberikan peran media untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Media menjadi agent of control; bahkan media mempersepsikan dirinya sebagai the fourth estate, kekuatan keempat setelah kekuatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Pandangan yang lebih ekstrem lagi mengatakan bahwa media berdiri di atas ketiga cabang kekuasaan. Tentu, pandangan ini sudah masuk dalam "domain kebablasan"!

Apa sebab media/pers diberikan tempat sangat terhormat dalam sistem demokrasi? Tidak lain karena --dengan dukungan kebebasan yang optimal-- kemampuan media menghimpun segala informasi yang terkait pelaksanaan pemerintahan. Informasi apa saja bisa diakses media, termasuk informasi tentang penyimpangan dan borok-borok pemerintah dan para pemimpinnya.

Rakyat yang memiliki kepekaan politik dan rasa kepemilikan negara yang tinggi tentu senantiasa ikut pula mengawasi sepak terjang pemerintah. Jika pemerintah atau ada pemimpin yang dinilai menyeleweng --dalam arti mengkhianati aspirasi rakyat, rakyat dengan bantuan media massa akan bangkit memprotes serta melakukan perlawanan.

Jika ada jaminan terhadap kebebasan pers, jika sebagian besar orang media (baca: wartawan) menjalankan tugasnya secara profesional, media menjadi alat perjuangan rakyat yang amat ampuh. Kontrol sosial rakyat dan pengawasan media menjadi matching dan menyatu. Inilah kekuatan dahsyat dalam sistem demokrasi!

Para pemimpin kita serta para anggota DPR kerap melupakan dua hal yang amat prinsipiil.

Pertama, tugas mereka sesungguhnya semata-mata menjalankan kedaulatan milik rakyat. Kedua, dalam melaksanakan titipan kedaulatan tersebut, rakyat dengan bantuan penuh media massa sesungguhnya tetap melakukan pengawasan super aktif. Di mancanegara kita sudah sering menyaksikan bagaimana rakyat mengamuk dan menggulingkan sebuah rezim yang sedang berkuasa sebab para pemimpin yang duduk di rezim itu dinilai telah menyakiti hati rakyat.

Fedinand Marcos digulingkan people power pimpinan Corazon Aquino pada Februari 1986. Soeharto dipaksa mundur pada 21 Mei 1998 karena kebencian rakyat saat itu sudah mencapai titik puncak. Presiden Somoza dari Nikaragua diseret dan dianiaya di jalan rakyat oleh rakyatnya sendiri sebab Somoza dipandang betul-betul mengkhianati rakyatnya.

Jatuhnya Marcos, Soeharto, dan Somoza, semua berkat kontrol sosial rakyat dan media yang efektif sekali.

Selama tiga pekan ini kita pun telah menyaksikan betapa besar dampak kontrol sosial rakyat terkait perseteruan "Cicak" versus "Buaya". Di mata sebagian besar rakyat, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah simbol kebaikan dan kebenaran. Sebaliknya, Polri dipersepsikan secara negatif. Kenapa? Karena KPK sejak tiga tahun terakhir berhasil menyeret sekian koruptor yang selama puluhan tahun tidak bisa disentuh hukum.

Mantan menteri, gubernur, bupati, anggota DPR-RI, jenderal, ilmuwan bergelar profesor doktor, Gubernur Bank Indonesia satu per satu dijebloskan dalam penjara karena terbukti melakukan korupsi. Tiba-tiba saja KPK menjadi semacam pahlawan! Namun, tontonan konflik "Cicak" versus "Buaya" masih belum usai; justru sedang memasuki tahap yang lebih menegangkan.

Rakyat betul-betul ingin melihat siapa sebenarnya yang brengsek dan siapa yang benar. Lewat proses peradilan yang fair dan transparan, teka-teki itu diharapkan bisa dikuak habis. Publik juga ingin tahu apakah KPK memang institusi yang berisikan "malaikat-malaikat", apalagi setelah praktik-praktik busuk Antasari terbongkar walau masih secara parsial.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahu bahwa bola salju "Cicak" versus "Buaya" bisa bergulir liar jika dibiarkan bergulir terus sehingga Presiden membentuk Tim Pencari Fakta (TPF).

Presiden pun memerintahkan agar kasus Bibit-Chandra dituntaskan secara hukum. Tindakan presiden, diakui atau tidak, sebagian karena kontrol sosial dan desakan rakyat. Apa yang terjadi di Mahkamah Konstitusi pada 3 November lalu telah menguatkan tekanan-tekanan publik terhadap kekuasaan.

Publik intinya mendesak agar hukum benar-benar ditegakkan dan diperlakukan secara adil seadilnya. Sayangnya, apa yang terjadi di Komisi III pada 5 November malam seperti bertolak belakang dengan suara-suara rakyat di media massa, termasuk jejaring sosial Facebook. Kontradiksi sikap dan pandangan antara rakyat dan wakil-wakil mereka di DPR adalah fenomena politik yang unik.(*)

Prof Dr Tjipta Lesmana MA
Mantan anggota Komisi Konstitusi

Opini Okezone 8 November 2009