Wacana Suara Merdeka Rabu, 10 Nopember 2009
Seperti halnya ragam bahasa jurnalistik, pendidikan, perdagangan, hukum dan botani, ragam bahasa RAPI harus patuh terhadap norma-norma.
KETIKA mengetahui Ian Ratiman (JZ 11 FBW, anggota Radio Antar-Penduduk Indonesia, RAPI) Jawa Tengah bergerak dengan truk besarnya dari Kabupaten Kudus ke Kota Jakarta atau sebaliknya, angan-angan saya sering melesat ke Amerika Serikat (AS). Angan-angan itu berkelindan manja di atas jalan-jalan yang menghubungkan negara-negara bagian.
Di atas jalan-jalan panjang dan halus itulah, orang-orang seperti Fedrix Cord (cbers anggota Federal Communications Commision, FCC) Texas, bergerak dengan truk besarnya mengangkut muatan barang-barang kebutuhan warga antarnegara bagian tersebut.
Di atas jalan lain, imajinasi saya juga berhamburan ke sosok lain, Martin Higgs (cbers anggota FCC Manhatan) yang dengan mahir pula melintasi jalan-jalan padat seperti Harlem, New York. Membayangkan sosok Martin, saya langsung ingat Farid (JZ 11 STX, anggota RAPI Jateng), yang sering mondar-mandir Kudus-Jakarta, Kudus-Bandung, atau Kudus-Surabaya dengan truk besar dan panjang (tronton)-nya.
Baik Fedrix Cord dan Martin Higgs (AS) maupun Ian Ratiman dan Farid (Jateng, Indonesia), merupakan trucker-trucker yang bisa dibilang tak kenal lelah dan takut. Waktu libur mereka sama, hanya beberapa hari selama sebulan.
Risiko yang dihadapi pun tak jauh beda: kecelakaan, kriminal, musibah, dan bencana alam. Namun mereka seperti tak pernah takut kepada kemungkinan terjadinya risiko itu.
Bukannya tak menghiraukan atau abai terhadap semua itu, melainkan ’’ketakutan” dan ’’kekhawatiran” mereka atas hal tersebut sedikit tertutup atau termanajemen oleh hobi yang dibawanya wira-wiri melintasi jalan ratusan kilometer. Hobi itu adalah ngebreak atau memanfaatkan sistem komunikasi radio bernama CB (citizen band) di AS dan KRAP (komunikasi radio antarpenduduk) di Indonesia.
Semula kedua bentuk sistem komunikasi itu masih bersifat ilegal, tapi dalam perkembangannya kini telah menjadi legal/sah, karena para cbers tersebut dikelola oleh badan bernama FCC (AS) dan di Indonesia dibina oleh pemerintah melalui organisasi RAPI.
Manfaat CB dan KRAP pada awal kemunculannya sangat dirasakan oleh para pengemudi truk (trucker), karena secara geografis AS maupun Indonesia memungkinkan untuk itu mengingat jarak antarnegara bagian dan antarprovinsinya relatif jauh.
Dengan kondisi seperti itu, untuk menghilangkan rasa jenuh dan ngantuknya, para trucker memanfaatkan sarana komunikasi tersebut, di samping untuk saling tukar informasi; misalnya tentang situasi dan kondisi lalu lintas, keadaan cuaca, berita gawat darurat, dan bencana alam. Dengan demikian, sebagian besar perangkat CB harus dapat dipasang di bodi atau dalam kendaraan.
Masuknya CB/KRAP ke Indonesia, secara tepat sulit untuk ditelusuri; namun demikian KRAP jelas telah lama digunakan oleh orang-orang yang memiliki hobi komunikasi radio, mengingat pada masa lalu sistem komunikasi lain (telepon apalagi handphone, misalnya) sangat sedikit yang memilikinya, karena masih terbatasnya sarana di samping harganya amat mahal.
Awal 1975 dapat dianggap sebagai tahun awal pertumbuhan pemakaian KRAP di Indonesia, walaupun masih ilegal karena dilakukan dengan sembunyi-sembunyi (belum sah). Tumbuhnya pemakai KRAP pada saat itu masih terbatas, hanya di kota-kota besar.
Semula mereka hanya melakukan komunikasi radio melalui KRAP, dan selanjutnya tumbuh rasa kebersamaan dalam sesama hobi komunikasi radio, sehingga akhirnya membentuk kelompok-kelompok yang sehaluan. Kelompok-kelompok itu, bahkan ada yang ruang lingkupnya tidak terbatas hanya di satu kota. Dengan demikian, maka dengan waktu yang relatif singkat KRAP mulai menjalar sampai kota-kota kecil bahkan sampai ke kecamatan yang jauh letaknya dari kota.
Atas dasar itu, Pemerintah Republik Indonesia (RI) lalu mengeluarkan peraturan dan ketentuan tentang komunikasi radio, khususnya KRAP. Alasannya untuk membantu para penggemar, serta berharap para breaker (orang yang berhobi ngebreak) bisa memosisikan diri selaku mitra pemerintah. Karena itu, organisasi yang menaungi para pemakai KRAP mutlak harus ada atau harus segera dibentuk.
Dengan dorongan dari para penyelenggara KRAP serta kebutuhan akan adanya organisasi yang legal (sah) dan diakui oleh pemerintah, maka pada 1980 melalui Surat Keputusan Menteri Perhubungan (SK Menhub) diizinkanlah penyelenggaraan KRAP di Indonesia. Kemudian, melalui Keputusan Dirjen Postel Nomor 125/Dirjen/ 1980 bertanggal 10 November 1980, didirikan organisasi Radio Antar-Penduduk Indonesia yang disingkat RAPI.
RAPI adalah satu-satunya organisasi yang sah dan diakui oleh pemerintah untuk mewadahi para penyelenggara KRAP. Tanggal tersebut selanjutnya dianggap sebagai tanggal kelahiran RAPI di Indonesia. Mengacu kepada fakta itulah, maka pada Selasa 10 November 2009 organisasi itu genap berusia 29 tahun. Selamat!
Namun tunggu dulu; sebelum dan sesudah merayakan HUT ke-29 ini, para anggota RAPI —khususnya di Regional XI Jateng— harus berani instrospeksi, mengevaluasi diri sendiri maupun organisasinya. Peran dan manfaat apa yang selama ini telah dan belum disumbangkan kepada, masyarakat dan bangsa? Termasuk di dalamnya penggunaan bahasa yang baik dan benar melalui Ragam Bahasa RAPI.
Perlu Dipahami
Perlu dipahami bahwa yang dimaksud dengan ragam bahasa bukan bahasa yang seenaknya dipergunakan tanpa sentuhan-sentuhan kelayakan linguistik. Seperti halnya ragam bahasa jurnalistik, ragam bahasa pendidikan, ragam bahasa perdagangan, ragam bahasa hukum dan ragam bahasa botani, ragam bahasa RAPI harus patuh terhadap norma-norma dan ketentuan yang berlaku, baik secara semantik, sintaksis, morfologis maupun sintakmatis.
Cara-cara komunikasi atau ngebreak yang dilakukan Bahri (JZ 11 TLI), Erry (JZ 11 OKE), Agus Mulyadi (JZ 11 BIA), Saddam (JZ 11 JPQ), Bambang Riswanto (JZ 11 GAZ), David (JZ 11 DEU), Iwan Idah (JZ 11 CTC), Murdiono (JZ 11 DKP), Susi Puji Rahayu (JZ 11 SPR), Atin (JZ 11 OQL) dan Kusdiarjo (JZ 11 BUL) adalah contoh sedikit orang RAPI yang telah mahir menggunakan ragam bahasa RAPI.
Bahasa Ragam RAPI merupakan ciri khas bahasa yang digunakan untuk komunikasi oleh para JZ di Indonesia seperti halnya ragam bahasa guru, jurnalistik dan hukum, yang semuanya tidak terlepas dari kaidah bahasa Indonesia. Berkenaan dengan itu, maka pantas disesali jika kita masih mendengarkan para JZ khususnya di Region XI menggunakan bahasa daerah baik itu berupa idiom, bahasa suku maupun idiomek.
Kendati demikian, para JZ 11 patut berbangga karena pengurus khususnya Haji Hadi Margono, SH (JZ 11 FIO), Agus Mulyadi (JZ 11 BIA) dan Danang Purwanto (JZ 11 MTY) telah berkreasi menyatukan angka ulang tahun dan tanggal perayaan ulang tahun.
Kreasi itu merupakan langkah yang fenomenal, tidak langkah monumental seperti yang lebih saya sukai contohnya menerbitkan artikel ini pada hari ulang tahun. Saya bisa menyadari langkah ketiga teman saya itu, karena selain mengadakan berbagai kegiatan seperti lomba koor mars RAPI, lomba membaca Panca Bakti dan lomba yang lain, juga baru pertama diselenggarakan di Kodam IV Diponegoro Tugu Muda Semarang.
Penggunaan gedung Museum Mandala Bakti tersebut dilakukan setelah ada kerja sama antara RAPI JATENG dengan Kodam IV Diponegoro. Selamat Ulang Tahun ke 29! (35)
—Nana Swara Sama (JZ 11 NSS), anggota RAPI ZWA kota Semarang dan Ketua Litbang Forum Bahasa Media Massa Pus