Sesaat lagi susunan kabinet baru resmi diumumkan. Tantangan ekonomi tidak dapat menunggu untuk segera ditangani. Secara klasik, ada tiga pilar ekonomi yang akan dicapai, yaitu pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas ekonomi.
Negara-negara berpopulasi besar, seperti Cina, India, AS, dan Indonesia diuntungkan dengan besarnya kekuatan konsumsi domestik, bahkan seringkali konsumsi domestik menjadi penyelamat perekonomian ketika terjadi krisis. Pertumbuhan empat persen bagi Indonesia, misalnya, sebagian besar ditopang oleh kekuatan konsumsi domestik. Bila iklim usaha membaik, kekuatan investasi akan menambah tinggi laju pertumbuhan. Pada gilirannya, pendapatan pajak negara yang meningkat akan mendorong belanja negara sehingga laju pertumbuhan meningkat lagi. Bila kondisi ekonomi dunia membaik, perdagangan internasional meningkat sehingga menambah lagi daya dorong laju pertumbuhan.
Peran keuangan syariah dalam mendorong pertumbuhan saat ini, masih sangat kecil karena aset keuangan syariah terlalu kecil untuk dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan. Namun demikian, kabinet baru tetap diharapkan terus mengembangkan industri keuangan syariah karena perannya yang penting dalam aspek pemerataan, dan terlebih lagi dalam aspek stabilitas ekonomi.
Pendapatan per kapita Indonesia memang masih berkisar USD 2200, namun sekitar 23 juta orang kaya Indonesia telah menikmati pendapatan per kapita 7.000 dolar AS, dan sekitar 70 juta orang menengah kaya Indonesia telah hidup dengan pendapatan per kapita 4.000 dolar AS. Mereka yang tergolong kaya dan menengah kaya ini memiliki akses untuk memanfaatkan sistem perbankan, bahkan semakin kaya semakin besar pula dukungan perbankan terhadap berbagai aktivitasnya.
Sedangkan puluhan juta rakyat Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan, bukan saja harus bergelut dengan kesulitan memenuhi kebutuhan pokok, terlebih lagi mereka kesulitan mendapatkan akses untuk memanfaatkan sistem perbankan. BRI Unit Desa merupakan satu dari sedikit lembaga keuangan yang dapat diakses sampai ke pedesaan. KUD yang dulu sempat marak di era Orde Baru, saat ini semakin jarang terdengar kiprahnya. Beberapa koperasi patut diacungi jempol karena keuletannya mengembangkan usaha, walaupun belum sefenomenal BRI Unit Desa yang berskala nasional.
Dalam kondisi demikian, lembaga keuangan mikro syariah dalam bentuk Koperasi Jasa Keuangan Syariah, Koperasi Simpan Pinjam Syariah, Koperasi Syariah, yang biasanya menggunakan nama Baitul Maal wat Tamwil (BMT) ternyata dapat mengisi kebutuhan masyarakat kecil di pelosok negeri. Jawa Tengah merupakan wilayah subur pertumbuhan BMT, di samping Jawa Barat dan beberapa provinsi lainnya. Jumlah kantor BMT yang mencapai ribuan dalam waktu 10 tahun belakangan ini, menunjukkan kemampuannya bertahan dan berkembang dalam kondisi krisis ekonomi sekalipun.
Beberapa BMT asetnya bahkan telah menyamai aset BPRS, namun mereka tetap memilih menjadi BMT karena untuk menjadi sebuah bank, mereka harus mengubah badan hukum koperasi menjadi perseroan terbatas. Semangat koperasi dan inisiatif masyarakat ini, patut terus dipupuk dan disiapkan kerangka kebijakan pengembangannya oleh kabinet mendatang. Tidak saja oleh Departemen Koperasi, tapi juga oleh Bank Indonesia, Departemen Keuangan, dan departemen-departemen ekonomi lainnya.
Mengintegrasikan ekonomi pedesaan ke dalam ekonomi nasional, akan mengurangi kesenjangan kota-desa, menahan laju migrasi dari desa ke kota, mengurangi tingkat orang miskin kota, memperbaiki kualitas populasi, dan berbagai dampak positif ekonomi lainnya.
Peran yang paling penting dari industri keuangan syariah adalah menjaga stabilitas ekonomi. Industri keuangan syariah dapat menjadi faktor penyeimbang industri keuangan konvensional. Ketika laba bank-bank konvensional menurun signifikan, laba perbankan syariah malah mencatat kenaikan yang berarti. Ketika bank-bank konvensional masih menahan diri untuk menyalurkan kredit sehingga LDR mereka hanya berkisar 70 persen, perbankan syariah malah terlalu bersemangat menyalurkan pembiayaan sehingga FDR mereka hampir mencapai 100 persen. Ketika perbankan konvensional masih direpotkan dengan kasus Bank Century, beberapa bank umum syariah malah memulai operasinya.
Inilah yang dimaksud faktor penyeimbang, yaitu memberi pilihan kepada sebagian masyarakat yang merasa jenuh dan letih dengan perbankan konvensional, untuk mencoba layanan perbankan syariah. Sebagai faktor penyeimbang tentu saja industri perbankan syariah, diharapkan memperlihatkan perilaku perbankan (banking behavior) yang berbeda dalam memenuhi kebutuhan perbankan masyarakat. Perilaku yang berbeda itu adalah adanya keseimbangan antara transaksi keuangan dan transaksi barang dan jasa.
Tidak adanya transaksi keuangan spekulatif tanpa adanya keterkaitan dengan transaksi barang atau jasa, akan mengurangi kejutan ekonomi (economic shock) ketika siklus perekonomian sedang mengalami konjungtur turun. Dengan demikian, perekonomian akan jauh lebih stabil. Semakin banyak dan semakin tinggi sofistikasi instrumen keuangan spekulatif, akan semakin besar tekanan gelembung balon pertumbuhan semu sehingga krisis ekonomi hanya tinggal menunggu waktu saja sebagai mekanisme koreksinya.
Negara-negara yang mengembangkan industri keuangan syariahnya dengan perilaku yang meniru keuangan konvensional, saat ini tidak dapat mengelak dari dampak krisis global. Gagal bayar sukuk, menurunnya nilai aset akibat penyesuaian nilai pasar, maupun naiknya pembiayaan bermasalah merupakan hasil yang harus dituai.
Demikian sebaliknya yang terjadi pada negara yang industri keuangan syariahnya berperilaku sesuai nilai tujuan hakiki syariah. Indonesia dan Iran merupakan contoh minimnya dampak krisis global terhadap perkembangan keuangan syariah, yang malah mendapat momentum pertumbuhan. Enam dari 10 bank islam terbesar di dunia ada di Iran dengan aset 235 triliun dolar AS, setara dengan 37,5 persen total aset keuangan syariah di dunia.
Perilaku sektor keuangan syariah inilah yang diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi kabinet mendatang dan Bank Indonesia, dalam menyusun kerangka kebijakan ekonomi yang stabil. Dengan dua doktor ekonomi sebagai nahkoda, SBY dan Boediono, rasanya tidak sulit untuk memahami nilai hakiki ekonomi syariah.
Adiwarman A Karim
Pengamat Ekonomi Syariah
Opini Republika, 19 Oktober 2009