20 Oktober 2009

» Home » Suara Merdeka » Menggagas Bulan Bahasa Jawa

Menggagas Bulan Bahasa Jawa

Oktober sudah jamak dikenal sebagai Bulan Bahasa. Sebab, bulan tersebut berkenaan dengan peristiwa besar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Salah satu bunyi draft Sumpah Pemuda adalah ’’Menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia’’.


Terutama untuk bahasa dipakai kalimat ’’menjunjung tinggi’’. Hal tersebut mengisyaratkan betapa penggunaan bahasa tidak harus terfokus pada satu bahasa, yaitu bahasa Indonesia.

Tak bisa dimungkiri Indonesia adalah bangsa dengan beraneka suku, ras, agama dan bahasa. Pemaksaan bahasa Indonesia sebagai satu-satunya bahasa di Indonesia berarti mengerdilkan Indonesia itu sendiri.

Dalam bangsa ini sejak awal kelahiran sudah terdapat ribuan bahasa daerah yang digunakan secara turun-menurun. Inilah kejeniusan yang ditunjukkan para tokoh Sumpah Pemuda sejak 81 tahun silam.

Perbedaan antara bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah adalah dalam segi penempatan dan penggunaan. Bahasa Indonesia digunakan untuk acara-acara resmi kenegaraan, kegiatan formal kedinasan hingga kegiatan belajar-mengajar.

Sementara bahasa daerah boleh dipakai sebagai bahasa sehari-sehari sesuai suku masyarakat setempat. Meski demikian, dalam konteks kenegaraan, bahasa Indonesia berada di peringkat pertama.

Sebab, bahasa inilah pemersatu rakyat dari Sabang sampai Merauke. Bahasa Indonesia jualah bahasa sah untuk berkomunikasi sesama warga di seluruh Nusantara.

Adapun posisi bahasa daerah sebagai penguat identitas bangsa. Karena tanpa keberadaan bahasa daerah, Indonesia akan kehilangan roh sebagai bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.

Berdasar makna Sumpah Pemuda, maka tidak ada hukuman bagi masyarakat yang semisal selama hidup tak bisa berbahasa Indonesia. Karena memang tujuan kelahiran Sumpah Pemuda tidak menjadikan bahasa Indonesia sebagai satu-satunya bahasa.

Berbeda dari bertanah air dan berbangsa yang sudah final bertanah air satu dan berbangsa satu, yakni Indonesia. Bagi yang tidak mengakui, maka ada hukuman yang diberlakukan sesuai undang-undang.
Nasib Bahasa Jawa Kelahiran Sumpah Pemuda tidak lantas mematikan bahasa-bahasa daerah sebagaimana sudah ditegaskan di awal tulisan. Bahkan masyarakat wajib untuk turut serta melestarikan bahasa daerah sebagai langkah guna memperkuat identitas bangsa.

Salah satu bahasa daerah tersebut adalah bahasa Jawa yang kini mulai pudar pesonanya.

Kegelisahan kian hilangnya bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari orang Jawa memang kian menyeruak beberapa tahun terakhir. Betapa kini generasi muda Jawa lebih asyik berdialog ala orang Betawi atau Jakarta yang dipopulerkan lewat media televisi.

Fenomena ini tentu tak muncul dengan sendirinya. Bergesernya bahasa Jawa yang kemudian digantikan bahasa sinetron muncul lantaran sikap ’’pemfotokopian’’ apa adanya dari media televisi kita.
Televisi memang laksana ’’kotak ajaib’’ yang mampu mengajarkan remaja tentang segala hal, tak terkecuali dalam berbahasa. Melalui suguhan beragam siaran televisi itulah ditemukan bahasa-bahasa serampangan yang kemudian mereka ikuti.

Faktor lain ialah ketidakmampuan institusi pendidikan kita dalam memantik keterterikan bahasa Jawa bagi para siswa. Bahasa ini hanya ditempatkan sebagai pelajaran pelengkap-penderita belaka.

Bahasa Jawa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan hanyalah sebuah cerita masa lalu. Terlebih ada suatu pendapat tak bertanggungjawab yang menyatakan Bahasa Jawa itu njlimet dan tidak praktis.

Berbeda dari bahasa anak muda zaman sekarang. Seseorang  tak perlu susah payah memilah-milah kata saat berbicara dengan orang yang derajatnya lebih tinggi sekalipun.

Barangkali inilah yang mengilhami Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X mengeluarkan Surat Keputusan (SK) tentang penggunanaan Bahasa Jawa tiap hari Sabtu pada pertengahan Agustus 2009.

Sultan mewajibkan seluruh instansi agar berkomunikasi dengan bahasa Jawa baik di lingkungan Pemprov, Pemkab maupun Pemkot se-DIY pada hari Sabtu.

Sebelumnya, Bupati Purworejo, Kelik Sumrahadi juga melakukan hal sama. Seluruh instansi negeri, swasta dan lembaga pendidikan wajib mengunakan bahasa Jawa tiap hari Sabtu.

Kita tentu mengamini bahwa Bahasa Jawa sarat dengan nilai-nilai moral yang patut dijadikan pedoman dan pandangan hidup. Kalimat semacam migunani tumraping liyan (bermanfaat bagi orang lain), sejatine urip agawe urup (hidup adalah untuk menerangi) hanyalah sekelumit bukti keagungan bahasa Jawa.

Sayang jika Bahasa Jawa yang juga mengajarkan unggah-ungguh dan tatakrama (dibuktikan dengan pemilahan kata yang tepat) harus luntur tergerus zaman.

Karena itu, pada Bulan Bahasa ini kita kembali memikirkan betapa bahasa Jawa harus kita lestarikan bersama. Langkah Gubernur DIY dan Bupati Purworejo layak diikuti oleh pemerintah daerah lain. Ini menegaskan bahwa pelestarian Bahasa Jawa juga bisa dimulai dari para stake holders (pemangku kebijakan).  (35)

—Muhammad Safrodin, aktivis di The Sunan Institute Yogyakarta