20 Oktober 2009

» Home » Media Indonesia » Kesetaraan Gender bukan hanya Urus Anak

Kesetaraan Gender bukan hanya Urus Anak

PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono tampaknya punya komitmen kuat pada kesetaraan gender, seperti yang diungkapkannya pada konferensi pers mengenai kriteria kabinetnya pada hari Rabu (14/10). Tentu sebagai pegiat hak perempuan kami gembira dengan pernyataan Presiden ini. Namun kami cemas bahwa pemahaman Presiden mengenai kesetaraan gender, jangan-jangan sebatas definisi pembagian kerja secara seksual yang sangat stereotip.

Ini tercetus dari contoh yang dikemukakan pada konferensi pers yang sama bahwa Kementerian Pemberdayaan Perempuan (KPP) juga akan diberi fungsi tambahan untuk perlindungan anak. Kami tidak membantah bahwa ini merupakan fungsi yang penting, apalagi kondisi penghidupan anak di Indonesia saat ini sangat menyedihkan. Coba saja tengok data angka kematian bayi di Indonesia pada 34 kematian setiap 1.000 kelahiran yang jauh lebih tinggi daripada negara-negara ASEAN seperti Filipina dan Vietnam. Sekitar 2,5 juta anak telantar di Indonesia, dan sekitar 150 ribu adalah anak jalanan.
Masalahnya, ini bukan semata urusan Kementerian Pemberdayaan Perempuan, melainkan diperlukan koordinasi dan penegakan aturan perundang-undangan yang berefek jera lintas departemen dan kementerian. Apakah Presiden beranggapan bahwa Kementerian Pemberdayaan Perempuan akan dapat menyelesaikan masalah ini hanya dengan anggaran yang terbatas dan nol kewenangan untuk menegakkan aturan perundang-undangan lintas departemen dan kementerian di Kabinet Indonesia Bersatu II? Ini bagaikan impian di siang bolong.
Jangankan menegakkan fungsi perlindungan anak, KPP selama ini juga gagal melaksanakan fungsi penegakan hak-hak perempuan melalui pengarusutamaan gender di lintas departemen dan kabinet karena kewenangannya yang sangat terbatas. Apakah Presiden juga berandai-andai bahwa KPP akan bisa mencapai tujuan Millenium Development Goals (MDGs) untuk mengurangi angka kematian ibu sebanyak dua pertiga pada 2015? Bahkan data terakhir menunjukkan kecenderungan angka kematian ibu justru meningkat. Ini membutuhkan aksi nyata yang melibatkan Departemen Kesehatan dan pemerintah daerah. Juga mungkinkah KPP sendirian mengakhiri penderitaan para tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia yang berada di luar negeri? Itu jelas membutuhkan koordinasi dan penegakan hak-hak TKW tidak saja oleh Depnakertrans, tetapi juga kantor kedutaan besar kita di negara-negara penerima TKW dan kepolisian. Bagaimana KPP dapat menyelesaikan masalah-masalah pelik itu dengan mulut yang ompong. KPP adalah kementerian dengan wewenang kecil, tanpa wewenang penegakan hukum dan anggaran serta birokrasi yang kecil. Mana mungkin menegakkan apalagi memaksa departemen-departemen beranggaran gemuk seperti Depkes, Depdiknas, Deplu, Depnakertrans, dan juga Kepolisian RI?

Perkuat kewenangan dan anggaran
Jadi, kalau memang Presiden Yudhoyono peduli kesetaraan gender, tidak cukup hanya dengan mempertahankan KPP dan menambahkan fungsi perlindungan anak. Namun, perkuatlah wewenang KPP dengan gigi aturan perundang-undangan yang dapat menegakkan perspektif gender di semua lini kebijakan. Lebih jauh lagi, selain UU, gigi kewenangan KPP harus diperkuat dengan gizi anggaran dan birokrasi yang memadai. Kebiasaan menempatkan menteri KPP sebagai hadiah bagi parpol koalisi juga bukan indikasi baik komitmen Presiden pada kesetaraan gender. Seperti menteri-menteri di bidang perekonomian, posisi ini harus diisi menteri yang paham dan berpihak pada keadilan gender.
Kesetaraan gender juga berarti bahwa presiden harus merdeka dari penjara cara pandang stereotip tentang pembagian kerja secara seksual. Bahwa pada kabinet-kabinet yang lalu ada menteri-menteri perempuan yang menduduki portofolio yang bukan portofolio stereotip perempuan, merupakan langkah maju. Itu harus dilanjutkan dengan peningkatan jumlah menteri perempuan yang punya kapabilitas tinggi di lebih banyak portofolio kabinet yang nonstereotip perempuan. Seperti ditegaskan Presiden, populasi perempuan mencapai lebih dari 50% penduduk Indonesia, seharusnya ini juga dicerminkan di jajaran pemerintahan dan lembaga negara lainnya. Ingat Pak SBY, tolok ukur negara demokrasi yang berhasil bukan melulu pertumbuhan ekonomi. Kesejahteraan rakyat yang diukur dengan keadilan gender adalah kunci keberhasilan sebuah negara yang demokrasi. Pak SBY, selamat atas terpilihnya sebagai presiden yang notabene didukung pemilih perempuan. Sekarang buktikan bahwa memang Anda cukup punya nilai di mata perempuan Indonesia.

Oleh Saparinah Sadli dan Smita Notosusanto, Pegiat hak perempuan
Opini Media Indonesia 21 Oktober 2009