20 Oktober 2009

» Home » Kompas » Koalisi Bulat atau Lonjong?

Koalisi Bulat atau Lonjong?

Saat artikel ini ditulis, masuk tidaknya kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dalam Kabinet Indonesia Bersatu II masih merupakan teka-teki.
Meski nama para calon menteri dan pejabat setingkat menteri sudah dimuat di beberapa media, bukan mustahil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih berharap PDI-P masuk kabinet koalisi nasional. Jika PDI-P masuk, lengkaplah ”koalisi bulat”. Namun, bila Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri kukuh PDI-P independen terhadap pemerintah, ”koalisi lonjong” akan terjadi.


Angan-angan SBY untuk mengajak PDI-P masuk kabinet bukan impian semusim. Pendekatan itu sudah dilakukan antara petinggi Partai Demokrat (PD) dan PDI-P jauh sebelum Pemilu Presiden-Wakil Presiden 8 Juli 2009. Di dalam PDI-P sendiri terjadi pertarungan tajam antara kelompok idealis di bawah Megawati dan kelompok pragmatis yang dipimpin Taufik Kiemas dan Puan Maharani (suami dan putri Megawati). Langkah awal untuk menggiring PDI- P ke kubu SBY ialah melalui dukungan politik agar Taufik Kiemas terpilih menjadi Ketua (MPR).
Nama Pramono Anung Wibowo, Puan Maharani, dan Cahyo Kumolo sempat masuk bursa calon anggota kabinet dari PDI-P. Konon, Pramono ditawari posisi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, berganti menjadi Menteri Kehutanan, lalu Menteri Pekerjaan Umum. Puan sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Sementara Cahyo menjadi Mennegpora. Namun, semua tergantung persetujuan politik Megawati. Ternyata, saat audisi para calon menteri, Megawati menghilang, awalnya cek kesehatan ke Singapura, lalu entah ke mana.
Jika koalisi bulat yang terbentuk, ini akan merugikan demokrasi dan mengacaukan nama serta posisi menteri yang sudah ada. Namun, jika Megawati bersikukuh menolak, politik Indonesia akan lebih cantik dan dinamis! Paling tidak ada tiga partai politik yang tidak masuk kabinet dan akan menjadi oposisi loyal di DPR, yaitu PDI-P (95 kursi), Gerindra (26 kursi), dan Hanura 18 (kursi). Meski minoritas, suasana parlemen akan hidup.
Alih-alih membentuk kabinet kerja yang sebagian besar kaum profesional nonpartai, ternyata untuk kenyamanan politik, SBY membentuk kabinet yang 55,55 persen dari parpol. Ini berbeda dengan pernyataan petinggi PD bahwa 65 persen dari kabinet berisi profesional nonpartai dan 35 persen dari partai.
Taruhan politik
Komposisi kabinet ini merupakan taruhan politik SBY. Banyaknya muka baru dalam Kabinet Indonesia Bersatu II menimbulkan dua konsekuensi.
Pertama, menimbulkan pertanyaan soal kesinambungan penanganan program pembangunan. Kedua, menambah waktu untuk konsolidasi internal kabinet. Banyaknya orang partai juga meresahkan jika ia lebih mendahulukan kepentingan partai ketimbang bangsa dan negara.
Padahal, pada pidato pelantikan sebagai Presiden RI 2009- 2014, Selasa (20/10), ada tiga fokus utama dari 15 program kabinet yang harus cepat dijalankan, yaitu mengembangkan demokrasi yang bermartabat, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan pemerataan rasa keadilan di masyarakat.
Angan-angan untuk menyejahterakan rakyat tentu sesuai dengan kian menurunnya Indeks Pembangunan Manusia (HDI) Indonesia dua tahun terakhir, dari 107 (2007) menjadi 109 dari 179 negara (2008); turun menjadi 111 dari 182 negara pada 2009. Program penurunan angka kemiskinan 8-10 persen dan penurunan angka pengangguran 8-10 persen tentu harus sejalan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi 7,0 persen per tahun. Pelayanan kesehatan bagi kaum miskin juga terkait peningkatan HDI Indonesia. Dapatkah para menteri baru mengikuti gerak cepat para menteri ekonomi yang merupakan muka-muka lama?
Mereformasi birokrasi Indonesia yang gemuk dan tidak efisien juga tugas berat pemerintahan SBY-Boediono. Juga peningkatan kapabilitas TNI dan Polri sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan Indonesia. Juga bagaimana dengan kelanjutan penanganan korupsi yang belakangan dipandang kian menurun sejak masalah antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri belum terselesaikan.
Untuk merancang dan menjalankan pembangunan, saatnya pemerintah mendasari kebijakannya dengan hasil penelitian ilmiah. Kompas (19/10) memberitakan, dana riset 2010 turun 39 persen akibat daya serap berkurang.
Pengalaman penulis sebagai peneliti LIPI, setiap tahun, anggaran penelitian menurun. Sementara untuk birokrasi penunjang penelitian tiap tahun justru meningkat meski daya serap turun. Pemerintahan SBY kurang memerhatikan pengembangan ristek nasional. Ikatan ideologi dan posisi menteri diharapkan tidak menyebabkan program kerja departemen atau kementerian diganggu kepentingan politik partai, bukan saja dari pendanaan, tetapi juga kebijakan.
Kita berharap Menneg Ristek dari Partai Keadilan Sejahtera lebih mengutamakan riset untuk kepentingan bangsa ketimbang memasukkan ideologi partai dalam kebijakan ristek. ”Janji Sukamandi” SBY kepada peneliti pada 2009 untuk lebih memerhatikan soal ristek harus dijabarkan Menneg Ristek baru. Menneg Ristek juga harus mampu melakukan negosiasi dengan pihak-pihak asing dalam kerja sama ristek yang menguntungkan Indonesia, bukan hanya asing.
Apa pun bentuk koalisi politik, bulat atau lonjong, yang penting semua program kerja kabinet dapat efektif dan efisien dijalankan. Satu rekomendasi politik penting ialah janganlah SBY lebih sibuk menebar citra dan memupuk kekuasaan, sementara program kerja kabinet terbengkalai. Ini adalah kesempatan terakhir bagi SBY untuk membuktikan kepada rakyat bahwa ia mewarisi Indonesia yang lebih demokratis, maju, aman, adil dan sejahtera, bukan Indonesia yang bangkrut.
Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI, Jakarta