20 Oktober 2009

» Home » Suara Merdeka » Diplomasi Budaya Pusaka Kuliner

Diplomasi Budaya Pusaka Kuliner

Tak banyak yang menyadari kuliner merupakan bagian pusaka (heritage) kebudayaan sebuah komunitas masyarakat serta memosisikan sebagai juru diplomasi atas ranah kebudayaan. Bagaimanapun pusaka kuliner (culinary heritage) mampu merepresentasekan sebagai penanda peradaban serta penguat indentitas sebuah wilayah.

Dengan demikian kuliner tak sekadar pengejawentahan hasil makanan. Lebih dari itu di dalamnya meragum kekuatan khazanah intelektual serta kekuatan logo yang membangun kekuatan tanda.

Sebagai contoh lidah dan masyarakat kita sudah mampu membedakan mana yang namanya rending dan opor yang sama-sama kuahnya dari santan. Atau masyarakat Prancis dengan sederhana dapat melihat minuman sampanye (champagne) dari busanya yang berwarna kuning keemasan.

Oleh karena itu kita patut berterima kasih kepada masing-masing daerah yang memunyai pusaka kuliner dan mampu menjadi kekuatan branding image terhadap wilayah tersebut. Misal kabupaten Brebes dengan kekuatan telor asin yang dikenal masir.

Atau nasi uwet Haji Zarkasi di Pekalongan mampu mengingatkan akan wilayah Pekalongan selain nasi megono. Kelezatan ponggol setan yang pedas, kupat glabed Radugunting hingga kupat bongkok Kemantran, menjadi logo diplomasi kebudayaan Tegal atau Slawi.
Saling Memengaruhi Namun demikian, meski ada tingkat perbedaan, dalam khazanah pusaka kuliner terdapat aspek yang saling memengaruhi. Contoh adalah pada tradisi kuliner rijstaffel. Ini merupakan tradisi kuliner Belanda dalam menyajikan masakan Hindia Belanda.

Rijstaffel merupakan hidangan tersendiri dan mencerminkan status sosial. Hidangan ini disajikan pada saat makan siang dan makan malam.

Kemewahan sajian rijstaffel sebagaimana ditulis oleh Achmad Sunjayadi, Kuliner dalam Pariwisata Kolonial di Hindia Belanda, terlihat dari kemelimpahan berbagai macam lauk pauk, aneka sayuran serta disajikan oleh banyak pelayan berpakaian seragam lengkap sambil membawa baki perak berisi berbagai masakan.

Kemewahan dan eksotisme dalam menyajikan hasil kuliner bukan monopoli hidangan rijstaffel saja. Sejarawan Anthony Reid dalam Southeast Asia in Age of Commerce 1450-1680 Volume One: The Lands Below the Winds, menemukan soal rijstaffel para aristokrat di kawasan Asia Tenggara, seperti perjamuan Raja Narai Siam yang pernah menyajikan 150 jenis makanan untuk dihidangkan kepada utusan Prancis pada 1685.

Demikian pula Onghokham dengan mendasarkan laporan utusan VOC, Rijklof van Goens yang pernah bertandang ke Mataram semasa pemerintahan Amangkurat I (1645-1677), melihat kemewahan dan jumlah yang berlebihan mencerminkan semangat pemborosan.
Identitas Budaya Sebagai benda pusaka (cultural heritage), kuliner mampu memosisikan sebagai identitas budaya dalam mendesain politik kebudayaan.

Mengapa konsep makanan dan resto waralaba beberapa negara yang berada di Indonesia mampu menjadi gimmick negara yang bersangkutan. Popcorn mengalahkan panganan brondong jagung. Salad lebih bergengsi ketimbang kluban Jawa.

Padahal sama-sama terbuat dari sayur-sayuran. Hanya salad bertabur mayones dan kluban bertabur parutan kelapa muda yang pedas, dan disajikan di hotel-hotel berbintang? Tanpa disadari bahwa produk kuliner menjadi bagian dari politik identitas.

Kita melihat bagaimana kekuatan massif budaya kuliner mampu menjadikan penetrasi politik kebudayaan. Mengapa ketika berbicara tong yam selalu tertuju pada Thailand.

Bagaimana pula generasi hamburger, hot dog merupakan kekuatan bagi Amerika Serikat, yang oleh pakar kesehatan kerap disebut sebagai junk food.

Karena itu terdapat kelakar bahwa tak hanya pikiran saja yang tersubdornisasi dari pengaruh luar, soal lidah dan selera pun kita terjadi subordinasi dari kekuatan luar.

Beranjak dari awal tulisan ini, maka berangkat dari pusaka kuliner, sebuah kekuatan kelokalan mampu diubah sebagai kekuatan luar biasa dari aspek kuliner.

Ketika gegap pembangunan otonomi berorientasi pada fisik, keseragaman, padat modal, maka pusaka kuliner mengejawentahkan diplomasi kebudayaan wilayah tersebut. Yogya dengan gudegnya, Solo dengan nasi liwetnya, Madiun dengan pecelnya, Surabaya dengan rujak cingurnya, Tegal dengan ponggol setannya, Brebes dengan telur asinnya.

Sayang kekuatan tersebut baru terasa pada momen-momen tertentu. (35)

—Wijanarto, penikmat kuliner dan tengah bersekolah di Pascasarjana Undip Semarang
Wacana Suara Merdeka 21 Oktober 2009