SEBUAH tragedi mungkin paling baik dilupakan. Tapi, apakah peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965 harus juga dilupakan, lebih-lebih karena di seputar peristiwa tersebut masih terjadi kontroversi terutama tentang siapa dalang G30S maupun pembantaian ratusan ribu pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI) tak lama setelah G30S meletus?
Mengingat peristiwa G30S sesungguhnya masih gelap (menyimpan banyak kontroversi) meski sudah coba ”diungkap” dalam puluhan buku dan ratusan artikel ilmuwan maupun politikus dan wartawan, maka peristiwa G30S yang pecah 44 tahun silam tidak boleh dilupakan.
Peristiwa tersebut harus terus secara teliti dan cermat ditengok serta dikaji ulang paling tidak untuk menuju pada konklusi paling logis dan objektif mengenai siapa dalang G30S dan pembantaian terhadap ratusan ribu pendukung PKI.
Tentang dalang G30S, kalangan penulis umumnya terpecah dalam empat kelompok besar, masing-masing dengan argumentasinya sendiri-sendiri. Kelompok pertama meyakini PKI berdiri di belakang G30S. Selama kurang lebih 32 tahun pemerintahan Soeharto menyosialisasian pendapat ini kepada bangsa Indonesia, termasuk melalui film Pengkhianatan G30S/PKI yang ditayangkan di televisi tiap menjelang 30 September.
Kelompok kedua meyakini, G30S adalah karya ulung Soeharto dengan dibantu sejumlah negara Barat, terutama Amerika Serikat dan Inggris.
Orang-orang PKI dan mereka yang menjadi ”korban” rezim Soeharto —setelah mengecap kebebasan penuh pascaruntuh pemerintahan Orde Baru— paling keras menyuarakan pendapat ini. Di negara Barat pun tidak sedikit yang berpendapat sama, antara lain diplomat Kanada Peter Dale Scott dan Willem Oltman (wartawan asal Belanda yang gigih menghantam rezim Soeharto).
Kelompok ketiga (sebagaimana diungkap misalnya oleh Prof Antonie CA Dake dalam Soekarno File) meyakini Presiden Soekarno-lah dalang G30S.
Menurut kelompok ini, paling tidak sedari awal Presiden Soekarno tahu akan kemunculan G30S tetapi membiarkan karena sikapnya yang tidak suka terhadap ”jendral-jendral kanan” pimpinan Abdul Haris Nasution. Banyak perwira tinggi TNI, terutama di lingkungan Angkatan Darat (AD) mempercayai pandangan ini.
Kelompok keempat berpendapat, G30S sepenuhnya masalah internal TNI AD, yaitu perpecahan antara para jenderal kanan yang borjuis dan para perwira revolusioner seperti Brigadir Jendral Soepardjo, Kolonel Latief, dan Letkol Untung. PKI hanyalah korban. Presiden Soekarno menganut paham ini.
Kajian Komprehensif
Versi mana yang paling mendekati kenyataan, agaknya masih diperlukan kajian lebih komprehensif dan lebih dalam lagi. Keempat versi tadi mengandung kelemahan-kelemahan. Kelemahan paling menonjol, analisis dari keempat versi tadi dilakukan secara parsial, kurang komprehensif, dan sebagian malah didorong oleh motivasi dendam sehingga mengesampingkan aspek objektivitas seperti tampak pada versi (kelompok) kedua.
Namun demikian versi kedua tetap pantas dibenarkan mengenai perhitungan-perhitungan logisnya, terutama terkait sangkaan adanya konspirasi AS dan Inggris dengan sejumlah jenderal AD dan sekelompok politisi sipil pro-Barat.
Di tengah panas perang dingin antara Washington-Moskow dalam persaingan sphere of influence (perluasan wilayah pengaruh) waktu itu, sangatlah mustahil AS tidak ambil bagian dalam kemelut politik dalam negeri Indonesia yang melahirkan peristiwa G30S beserta rangkaian peristiwa politik yang terjadi sesudah itu.
Disebutkan dengan jelas dalam Shadow of a Revolution yang ditulis Roland Challis (2001), wartawan BBC yang pada awal hingga pertengahan 1960-an ditugaskan di Asia Tenggara, ”pada awal 1960-an Dinas Intelijen AS (CIA) sudah giat menginfiltrasi eselon atas kalangan militer khususnya AD.
Kemudian CIA menjatuhkan pilihan pada salah seorang perwira dan membantunya dalam menjalankan suatu kudeta bertahap yang berlanjut dengan pembunuhan lebih dari satu juta orang Indonesia yang dituduh sebagai komunis.”
Lalu, versi ketiga yang berpendapat Soekarno adalah dalang G30S. Versi ini terasa sangat subjetif. Pasalnya, ihwal dugaan Bung Karno sebagai dalang G30S, hal ini sesungguhnya sudah dijawab (dibantah) oleh Soeharto.
Dalam pidato Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Maret 1967, Soeharto selaku pemegang mandat Surat Perintah Sebelas Maret (Super Semar), mengemukakan bahwa Bung Karno tidak dapat digolongkan sebagai dalang atau tokoh G30S. Pernyataan Pak Harto ini didasarkan pada empat fakta.
Pertama, laporan mantan Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Omar Dani 29 September 1965 mengenai adanya ketidakpuasan sejumlah perwira muda anak buah Brigjen Soepardjo terhadap pimpinan AD. Atas laporan itu Presiden Soekarno memerintahkan Omar Dani dan Soepardjo untuk menghadap lagi pada 3 Oktober 1965.
Kedua, laporan Brigjen Sugandhi kepada Presiden Soekarno pada 30 September 1965 bahwa PKI mungkin akan melakukan kudeta. Atas laporan itu, Presiden Soekarno memarahi dan memperingatkan Brigjen Sugandhi.
Ketiga, pada 30 September 1965 siang Presiden Soekarno memanggil Jendral Ahmad Yani untuk menghadap pada 1 Oktober 1965 untuk membahas lagi tentang keberadaan Dewan Jendral.
Keempat, pada 30 September 1965 malam setelah menghadiri Mubestek (Musyawarah Besar Teknik) di Istora Senayan, Presiden Soekarno tidak bermalam di Istana, tetapi di rumah Sari Dewi di Jalan Gatot Subroto.
Pagi harinya, 1 Oktober sekitar pukul 06.00 WIB, Presiden Soekarno bermaksud kembali ke Istana setelah minta pertimbangan dari pengawal dan mendapat laporan singkat mengenai telah terjadinya peristiwa G30S.
Baik versi ketiga dikesampingkan ataukah tidak, kini kita sampai pada simpulan bahwa G30S 1965 terjadi akibat kombinasi pergumulan politik di tingkat global, nasional, dan internal TNI AD. Tentang siapa dalang G30S, tergantung dari sisi mana kita memandang.
Dan, tak kalah penting dari sekadar upaya mengungkap siapa dalang G30S 1965, kita harus dapat memetik pelajaran berharga dari peristiwa tragis tersebut. Jangan sampai peristiwa serupa berulang.
Cukup sekali saja peristiwa berdarah-darah, terlalu banyak merenggut jiwa anak negeri, dan penuh kontroversi yang seolah tiada akhir itu terjadi dalam lintasan perjalanan panjang negara-bangsa Indonesia. Kalangan elite politik khususnya dituntut harus selalu lebih cerdas dan bijaksana dalam menghadapi setiap pemunculan masalah kebangsaan dan kenegaraan. (35)
Wacana Suara Merdeka 30 September 2009
—Chusnan Maghribi, alumnus Hubungan Internasional Fisipol UMY, tinggal di Yogyakarta