24 Juni 2011

» Home » Opini » Suara Merdeka » Menghambat Alih Fungsi Sawah

Menghambat Alih Fungsi Sawah

SAWAH sebagai salah satu faktor produksi penting dalam usaha tani, kini luasnya menjadi sangat terbatas, khususnya di daerah perkotaan. Di beberapa kota besar di Jawa Tengah, seperti Semarang, Solo, Pekalongan, Tegal, atau Magelang dalam waktu 5 tahun lagi mungkin kita tidak akan menemukan lagi sawah. Atas fenomena itu, Gubernur Bibit Waluyo dalam berbagai acara selalu mengingatkan stafnya  agar lebih selektif lagi memberikan izin terkait dengan alih fungsi lahan sawah.

Dalam sebuah forum, penulis juga kembali tersadarkan oleh seorang ulama yang menyatakan keprihatinannya atas banyaknya alih fungsi sawah. Dituturkan, dulu ketika berangkat dari kotanya hendak ke Jakarta lewat Semarang, di sepanjang perjalanan, di kanan-kiri jalan arteri primer, terlihat pemandangan hijau nan indah, apalagi ketika tanaman padi berbuah dan tertiup angin. Kini, sawah-sawah itu sebagian telah beralih fungsi menjadi bangunan, baik perumahan, pabrik, maupun pasar.

Pembangunan yang pesat  di bidang industri dan perumahan serta pertumbuhan penduduk yang tinggi mendorong terjadi alih fungsi penggunan sawah ke penggunaan nonsawah. Selain di 5 kota itu, 30 kabupaten/ kota di provinsi ini juga dibangun di atas sawah. Jalan arteri primer dari Brebes sampai Rembang, dari Cilacap sampai Purworejo, bahkan jalan tol yang dibangun dari Brebes sampai Sragen, sebagian besar harus mengalihfungsikan sawah.
Yang menjadi pertanyaan mengapa harus sawah? Karena sawah umumnya bertopografi datar, kemiringannya 0%, infrastruktur seperti jalan, saluran drainase (jaringan irigasi sekunder, tersier), jaringan listrik, telepon, umumnya sudah tersedia. Unsur-unsur itu yang menjadikan faktor yang berpengaruh besar untuk investasi karena investor tidak perlu membangun infrastruktur tersebut.

Bedasarkan data BPS, Indonesia kini hanya memiliki sawah seluas 7,6 juta ha. Selama 1979-1999, konversi lahan sawah mencapai 1.627.514 ha atau 81.376 ha/tahun. Dari luasan selama waktu itu sekitar 1.002.005 ha, sebanyak 61,57% atau 50.459 ha/ tahun terjadi di Jawa, dan di luar Jawa mencapai 625.459 ha (38,43%) atau 31.273 ha/tahun (Isa, 2006).

Ada beberapa alasan mengapa petani di perkotaan menjual tanah sehingga terjadi alih fungsi, yakni  usaha di bidang pertaian sawah dianggap tidak efisien mengingat berdasarkan hasil penelitian land rent ratio atau  perbandingan nilai sewa tanah sawah dengan permukiman adalah 1:600. Demi memenuhi kebutuhan dan kelangsungan hidup, termasuk gaya hidup, maka banyak petani menjual tanahnya.

Ancaman Pidana

Perubahan itu juga memengaruhi pandangan petani yang semula bekerja di bidang pertanian yang dianggap kotor dan kurang bergengsi. Pewarisan tanah dari orang tua kepada anak (pragmentasi tanah) yang tadinya luas menjadi sempit, sehingga mengakibatkan usaha tani sawah tidak efisien. Sawah itu kemudian dijual untuk kegiatan usaha di bidang nonpertanian. Perubahan penggunaan lahan sawah menjadi nonpertanian juga menimbulkan dampak yang bisa mengancam keberlanjutan produksi padi.

Perubahan penggunaan lahan sawah menjadi nonpertanian juga menimbulkan kerugian material yang cukup besar, terutama pada sawah beririgasi. Artinya terjadi pemubaziran biaya investasi bersubsidi pemerintah untuk pembangunan prasarana irigasi yang cukup tinggi kala itu. Selain itu, biaya pencetakan sawah baru sangat mahal dan memerlukan waktu cukup lama (5-6 tahun).

Kalau rencana tata ruang wilayah provinsi/ kabupaten/ kota sudah disahkan dengan perdanya maka regulasi itu bisa mengikat bagi pejabat yang berwenang memberi izin.
Misalnya dalam peta lampirannya untuk usaha perumahan padahal setelah disuperinfuskan dengan peta RTRW sejatinya kawasan pertanian.

Seandainya di atas tanah itu dibangun perumahan maka sesuai dengan UU Nomor 41 Tahun 2009 dan UU Nomor 26 Tahun 2007 pejabat yang terbukti memberikan izin bisa diancam dengan pidana sampai 5 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar. Bila pelanggarnya perorangan, ia bisa diancam pidana selama-lamanya setahun penjara dan denda Rp 5 miliar. Karena itu, sosialisasi mengenai alih fungsi dari lahan sawah ke nonsawah menjadi penting, sejalan dengan pemberian insentif kepada petani yang mempertahankan sawahnya. (10)

— Doddy Imron Cholid, Kakanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jateng

Opini Suara Merdeka 24 Juni 2011