24 Juni 2011

» Home » Okezone » Opini » Gedung Kesenian Solo, Cerita Tentang Sebuah Kota

Gedung Kesenian Solo, Cerita Tentang Sebuah Kota

Ada banyak cukup cerita dan alasan kenapa teman-teman akhirnya menyulap bekas gedung bioskop Solo Theatre yang terletak di Sriwedari, di ruas jalan Slamet Riyadi Solo itu menjadi sebuah tempat untuk berkumpul dan berkesenian dan melakukan banyak hal.

Salah satunya adalah karena teman-teman merasa tak memiliki tempat yang cukup bisa mewadahi diri mereka selama ini, itu awalnya. Teman-teman ingin memiliki tempat yang bisa untuk memutar film-film mereka sendiri yang tak pernah mendapatkan kesempatan diputar di tempat lain. Hanya sesederhana itu. Dan itu terjadi setahun lalu. Dan ya, setelah beberapa saat berlalu, kami pun lantas menyebutnya sebagai Gedung Kesenian Solo atau GKS.

Selintas nama itu memang terkesan besar dan sedikit sombong dan sedikit mengada-ada, terlebih apabila dilekatkan pada sebuah bangunan yang mangkrak. Tapi apabila dilihat dari sisi lain, sejujurnya penamaan Gedung Kesenian Solo untuk sebuah tempat yang mangkrak itu adalah sesuatu yang asik. Gedung mangkrak ala kadarnya, yang terjepit di antara bursa jual-beli mobil bekas yang riuh dan gaduh, dengan dana mandiri yang empot-empotan tapi berhasil melakukan banyak acara dan didatangi banyak anak muda.

Penamaan itu (GKS) saya bayangkan adalah sebagai sebuah olok-olok atau tantangan untuk sebuah sistem kesenian mapan yang semakin lama semakin memuakkan dan bikin mules (ini seperti kesengajaan beberapa seniman muda yang menamakan ruang kerjanya yang sempit dan sumpek sebagai museum). Selain itu, penamaan GKS juga bisa dianggap sebagi tantangan dan olok-olok bagi politik dan perspektif kebudayaan kota yang gigantis.

Dan tentu saja, dengan dana mandiri dan kolektif, GKS tak seperti gedung kesenian yang umum dibayangkan, yang punya lighting mahal, sound bagus, akustik yang sempurna, dan peralatan canggih lainnya. Meski demikian GKS tetap punya program rutin; pemutaran film dan diskusi rutin, pameran rutin, acara musik rutin dan sebagainya. Dan setahu saya, ia telah berhasil menarik banyak komunitas anak muda untuk berdatangan dan terlibat (ini memang tujuan utama mereka, dan memiliki lighting bagus dan apalagi mesin cuci adalah tujuan yang entah ke berapa).

Jadi ya, saya sedih ketika mendengar bahwa GKS akan dirubuhkan. Saya tahu bahwa GKS hanyalah menumpang di sebuah lahan kosong milik pemerintah kota. Dan saya tahu oleh karena itu secara ‘hukum formal negara’ mereka dicap tak berhak. Dan terlebih saya pun juga tahu bahwa sebenarnya teman-teman telah bersepakat untuk tak mempertahankan GKS sebagai ruang fisik dan oleh karena itu siap pergi. Tapi saya kira, permasalahannya bisa dibaca lebih jauh dari itu.

***

Kita, masyarakat Solo, dihantui oleh sebentuk anggapan bahwa kita adalah orang-orang yang bersumbu pendek dan gampang meledak. Hantu anggapan itu melekat di tengkuk kita setidaknya semenjak kerusuhan Mei 98 atau bahkan mungkin jauh sebelumnya. Dan lalu entah kenapa stigma itu justru kita tanam dalam-dalam dan kita kembangkan sendiri sedemikian rupa di dalam kepala kita masing-masing. Dan dengan proses yang lucu, stigma itu bahkan menjadi sebuah kebanggaan dan sebentuk identitas diri. Aneh dan lucu memang, tapi saya mendengarnya setiapkali. Sebuah pakaian kolektif yang secara sadar saya menolak mengenakannya.

GKS, atau tempat-tempat sejenis (kalaupun ada di kota ini), adalah titik-titik kanalisasi dari energi, baik secara individual ataupun komunal. Tempat-tempat seperti itu berperan sebagai sesuatu yang menyerupai saluran pembuangan dari energi dan juga keruwetan akibat tekanan kota yang semakin rumit. Ia menjadi ruang bagi ekspresi spontan para anak muda penghuni kota yang sumpek. Wadah dan terminal dari jejaring komunitas yang berserakan. Di GKS banyak komunitas saling bertemu dan berinteraksi dan lalu mengelola kegiatan bersama secara partisipatif. Mereka memainkan dan menonton musik yang oleh banyak kalangan dianggap tak lazim. Mereka memamerkan komik yang bagi banyak orang dianggap menyimpang. Mereka memutar dan mendiskusikan film-film yang tak ada di jaringan distribusi film utama. Mereka melakukan performance art, mural, diskusi politik, seni dan hobi. Tentu saja mereka juga melakukan beberapa kesalahan kecil untuk belajar. Dan menurut saya, telah cukup lama kota Solo tak memiliki sebuah tempat semacam ini, yang berfungsi sebagai titik kanalisasi bagi energi muda yang melimpah tersebut.

Saya kira, kita seharusnya berpikir bahwa kerusuhan ataupun emosi yang gampang meledak adalah semacam hukum alam yang terjadi akibat sesuatu yang mampet. Sistem kanalisasi yang tak berfungsi dan lalu meledak akibat kompresi. Kita tak tinggal di sebuah kebudayaan yang spontan, dan tak adanya ruang-ruang alternatif, semacam GKS atau tempat lain kalaupun ada, saya kira akan semakin memperburuk keadaan. Jadi jangan menyalahkan ‘sumbu pendek’ untuk setiap kemarahan, tapi tanyakan kenapa sumbu pendek itu terbentuk dan terjadi.

Berikutnya saya menganggap bahwa GKS (dan tempat-tempat sejenis kalaupun ada) adalah sebuah alternatif dari sebuah perspektif kebudayaan kota yang gigantis. Tak dapat dipungkiri, salah satu orientasi utama sebuah kota adalah pertumbuhan ekonomi. Dan suka atau tidak suka, investasi atau bagaimana menarik modal segar telah menjadi tujuan utama dan bahkan ruh kebudayaan kota itu sendiri. Orientasi investasi yang berlebihan ini akhirnya membentuk sebuah pola pikir yang menganggap bahwa sebuah aktifitas harus memenuhi parameter dan standar tertentu untuk dapat dianggap bermanfaat dan produktif, semisal memenuhi standar dan parameter pariwisata. Cara berpikir seperti ini memang akhirnya banyak menghasilkan standar-standar yang ganjil dan tak adil, entah di wilayah estetik, sosial, politik atau ekonomi.

Beberapa saat belakangan ini kota Solo identik sebagai kota festival budaya. Festival-festival itu memang tidak main-main dan sangat memenuhi standar pariwisata dan investasi. Setidaknya secara tema (dan mungkin juga dukungan finansial?), festival-festival itu memang “besar”, ambil contoh; festival “Etnik Musik”, karnaval “Batik”, Festival “Keraton” (adakah tema yang lebih besar dari itu semua?). Dan dari beragam festival besar yang rutin terselenggara tersebut, kita seakan dapat membaca ke arah mana perspektif kebudayaan kota ini hendak dibawa. Saya tak menyalahkan festival-festival besar itu. Tapi pada hemat saya, justru pada titik inilah komik-komik sederhana yang bercerita tentang mimpi basah, malam minggu yang berabe atau tetangga yang cantik, atau film-film aneh tentang cinta dan korupsi sekolahan, yang sering dipamerkan dan diputar di GKS menjadi penting. Ia menjadi semacam igauan alam bawah sadar kebudayaan marjinal. Ia menjadi alternatif dan mungkin sesuatu yang subversif dari sebuah perspektif kebudayaan raksasa yang dingin, angkuh, agung dan tak menyentuh. Ia menjadi kritik untuk sebuah arus utama yang mengkilat, genit dan investatif.

Jadi ya, saya sedih ketika mendengar GKS akan dirubuhkan. Saya tak membela GKS sebagai tempat dan bangunan fisik. Saya sebenarnya lebih membela kepada semangat dan gerakan yang mereka lakukan dan tekuni selama ini.

Toha Adog
Seorang pembuat film dokumenter dan penggemar komik tentang malam minggu yang berabe
Opini Okezone 22 Juni 2011