24 Juni 2011

» Home » Opini » Suara Merdeka » Jalan Terjal Sederhanakan Parpol

Jalan Terjal Sederhanakan Parpol

DALAM sistem presidensial, kesederhanaan partai politik adalah hal yang absurd. Makin sedikitnya jumlah partai sangat berpengaruh terhadap efektivitas pemerintahan sehingga pemerintahan berjalan stabil dan kinerjanya pun optimal. Kontrol rakyat terhadap partai penguasa menjadi efektif. Di dunia tidak ada satupun negara demokrasi yang sehat, hidup dengan puluhan partai.

Amerika Serikat misalnya, hanya memiliki dua partai, Demokrat dan Republik. Di Eropa Barat dan negara lain yang bersistem multipartai, tetap saja hanya ada 3-5  partai. Bagi negara demokrasi yang stabil dan plural, ada 6 partai saja dianggap terlalu banyak.

Berbagai cara digunakan untuk memperkecil jumlah partai di parlemen. Alam demokrasi tentu tidak menggunakan larangan secara langsung bagi pendirian partai. Pembatasan jumlah partai dilakukan dengan menerapkan berbagai prosedur sistem pemilu. Di negara kita, upaya menyederhanakan (jumlah) partai menjelang Pemilu 2014 tampaknya menemui jalan terjal. Upaya lewat parliamentary threshold atau ambang batas masih dalam tataran debat berkepanjangan. Elite partai lebih mengedepankan kepentingan partainya ketimbang mengedepankan esensi penyederhanaan.

Sampai saat ini, ketentuan jumlah ambang batas parlemen yang menjadi persyaratan partai mengikuti Pemilu 2014 terus menjadi perdebatan di parlemen. Badan Legislasi (Baleg) pun belum memutuskan ketentuan untuk menjadi RUU pemilu, meski telah tiga kali menggelar rapat pleno. Partai Golkar, PDIP, dan PKS mengusulkan angka 5 persen namun Partai Demokrat bersikukuh mengusulkan 4 persen. Partai menengah seperti PPP, PKB, PAN, Gerindra, dan Hanura memilih syarat 2,5 persen.

Saling Sandera

Sejumlah pengamat politik mengkhawatirkan peningkatan ambang batas memberi peluang munculnya oligarki politik, yakni penguasaan negara oleh sedikit parpol. Dengan ambang batas tinggi, partai besar akan makin mudah memperoleh kursi gratis di parlemen. Penilaian ini muncul karena perdebatan tentang ambang batas tidak pernah diikuti upaya serius memperbaiki partai. Persoalan transparansi pendanaan dan pola kaderisasi parpol tak pernah dilakukan secara serius. Hal itu berefek buruk seperti maraknya korupsi yang dilakukan politikus, rendahnya kualitas anggota DPR, dan buruknya kader yang dihasilkan partai.

Mengacu pada hasil Pemilu 2009, dengan penerapan ambang batas 2,5 persen saja ada 29 partai kecil tereliminasi. Tidak heran sejumlah parpol nonparlemen seperti Partai Damai Sejahtera, Partai Bulan Bintang, Partai Kebangkitan Nahdlatul Umat, dan Partai Kesatuan Demokrasi Indonesia, menilai penerapan ambang batas mengancam pluralisme dan menyia-nyiakan jutaan suara. Pada Pemilu 2009 ada sekitar 39 juta suara yang hilang dan tak terwakili di parlemen.

Sebenarnya ada solusi konkret untuk menyederhanakan partai, yakni, pertama; Baleg perlu segera menyelesaikan perdebatan mengenai rumusan angka ambang batas. Langkah ini tepat, untuk mempercepat penyelesaian draf revisi UU pemilu. Kedua; membangun komitmen partai untuk tetap menyepakati upaya menyederhanakan partai. Sedikitnya jumlah partai akan menciptakan pemerintahan yang efektif, dan tidak saling sandera lewat kepentingan politik transaksional.

Ketiga; memperkecil jumlah kursi di daerah pemilihan (dapil). Langkah ini sejatinya tidak kalah strategis dibanding dengan penerapan angka ambang batas parlemen. Apabila jumlah kursi di dapil dikurangi, suara seluruh pemilih tetap terakomodasi. Prinsip keterwakilan atau representasi tetap terjaga meski harga satu kursi di sebuah dapil meningkat.
Salah satu keuntungannya, rakyat dan wakilnya bisa makin dekat karena cakupan dapil makin sempit. Publik juga lebih mudah mengenal wakilnya. Sebaliknya, anggota parlemen (DPR) makin bertanggung jawab. Jika keputusan ambang batas parlemen nantinya adalah angka 3 persen, sebagai keputusan bijak dan dianggap angka ideal, kemungkinan Partai Golkar, PDIP, dan PKS akan mengikuti ‘’permainan’’ partai-partai menengah. (10)

— Didik Tri Atmaji, peneliti pada LPPI Semarang, alumnus FISIP Universitas Wahid Hasyim

Wacana Suara Merdeka 25 Juni 2011