24 Juni 2011

» Home » Okezone » Opini » Sekali Lagi, Lindungi TKI!

Sekali Lagi, Lindungi TKI!

Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Ruyati akhirnya menjalani eksekusi pemancungan atas pembunuhan yang dilakukannya oleh otoritas Arab Saudi. Kementerian Luar Negeri (Kemlu) menyesalkan pemancungan karena hari eksekusi tidak diberitahukan. Oleh karenanya Kemlu akan memanggil Duta Besar Arab Saudi.

Tak Berdaya

Eksekusi pemancungan tanpa pemberitahuan kepada perwakilan Indonesia seolah mengabaikan kewajiban kekonsuleran otoritas Arab Saudi kepada perwakilan Indonesia. Berdasarkan kelaziman yang dapat diargumentasikan sebagai hukum kebiasaan internasional, perwakilan dari warga yang akan menjalani eksekusi mati wajib diberi tahu oleh otoritas setempat.

Bahkan diplomat dari perwakilan tersebut diberi kesempatan untuk menyaksikan eksekusi. Oleh karenanya sangat aneh bila perwakilan Indonesia di Arab Saudi tidak mendapat pemberitahuan. Dalam konteks ini, Pemerintah Indonesia perlu bersikap tegas terhadap Pemerintah Arab Saudi yang menyepelekan kewajiban memberi tahu.

Atas kejadian ini pemerintah tidak seharusnya sekadar memanggil Dubes Arab Saudi. Ketegasan pemerintah dapat diwujudkan dengan melakukan penghentian pengiriman TKI ke Arab Saudi. Bila opsi ini yang diambil oleh pemerintah, semua komponen harus mendukung. Memang industri pengiriman tenaga kerja akan terpukul secara ekonomis.

Namun mereka harus rela berkorban untuk tidak mendapatkan keuntungan demi harkat martabat TKI dan bangsa. Pemerintah pun harus menyediakan lapangan kerja yang layak bagi warga yang tidak jadi berangkat ke Arab Saudi. Ini bisa dijadikan momentum agar pemerintah secara perlahan mengurangi pengiriman TKI.

Di samping penghentian pengiriman TKI, pilihan yang dimiliki pemerintah adalah tindakan diplomatik.Tindakan diplomatik dapat berupa pemanggilan pulang Dubes Indonesia di Arab Saudi. Bahkan bila tidak mendapat respons semestinya dari Pemerintah Saudi,pemerintah dapat memperkecil dan mengurangi jumlah personel perwakilan Indonesia di Arab Saudi.

Tentu tindakan diplomatik tidak harus berujung pada pemutusan hubungan diplomatik. Ketegasan ini perlu dilakukan agar pemerintah mendapat alasan mengapa otoritas Arab Saudi tidak melakukan pemberitahuan. Di samping itu, agar di masa mendatang otoritas Arab Saudi tidak mengulang kesalahan atau kelalaiannya.

Ketegasan juga perlu dilakukan agar Pemerintah Arab Saudi lebih sensitif terhadap nasib para TKI di negeri tersebut. Para TKI tidak datang ke Arab Saudi untuk melakukan tindak kriminal. Bila mereka melakukan tindak kriminal, hal itu disebabkan perlakuan kasar dan kekerasan yang diderita dari majikan mereka.

Ini yang dialami Ruyati. Terlebih lagi bila ternyata otoritas Arab Saudi tidak serius dalam melakukan proses hukum, bahkan cenderung melindungi warganya yang melakukan kekejaman terhadap para TKI. Ini tidak memberi sinyal mendidik bagi para majikan di Arab Saudi dan akibatnya kekerasan terhadap TKI akan terus berlangsung.

Berbagai tindakan ini semua tentu tidak akan mengembalikan nyawa Ruyati. Biarkanlah roh Ruyati tenang menghadap khaliknya. Namun Ruyati dan para TKI yang dieksekusi mati, sepanjang tidak melakukan tindak kriminal murni, harus dikenang sebagai pahlawan. Mereka adalah martir bagi bangsa ini.

Mereka pahlawan bagi penerusnya agar TKI mendapat perlindungan dari negara dan tidak diperlakukan secara biadab oleh para majikannya.

Akhiri

Masalah TKI harus mendapat perhatian yang serius dari pemerintah agar berbagai peristiwa tidak terus berulang. Tidak seharusnya berbagai institusi pemerintah bersilang pendapat. Kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat, misalnya, menyatakan penyampaian pemberitahuan bukan merupakan kewajiban dari otoritas Arab Saudi karena tidak diatur dalam perjanjian bilateral.

Pernyataan itu aneh mengingat hingga saat ini perjanjian bilateral yang mengatur TKI itu ada sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 27 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Terlebih lagi pernyataan tersebut tidak keluar dari instansi yang bertanggung jawab untuk urusan luar negeri.

Kemlu yang memiliki otoritas untuk urusan luar negeri telah menyampaikan bahwa kewajiban memberi tahu dari Pemerintah Arab Saudi tidak dilakukan. Atas dasar itu Kemlu menyiapkan sejumlah langkah.

Oleh karenanya dalam menghadapi negara lain dan memperjuangkan hak bangsa dan negara ini, berbagai instansi pemerintah harus tahu porsi tugas masing-masing dan melakukan koordinasi agar tidak terjadi kesimpangsiuran. Pemerintah juga harus menyadari, ketegasan mereka harus terlihat di mata publik Indonesia.

Jangan sampai publik membandingkan ketegasan Pemerintah Indonesia dengan ketegasan Pemerintah Australia dalam kasus impor sapi. Bila Pemerintah Australia dapat bertindak tegas, mengapa Pemerintah Indonesia tidak bisa juga bertindak tegas terhadap Pemerintah Arab Saudi? Bukankah nyawa manusia lebih berharga daripada sapi?

Ke depan dalam rangka perlindungan TKI, pemerintah tidak cukup dengan melakukan pendampingan bantuan hukum ketika TKI sedang dirundung masalah hukum. Bila perlu pemerintah mengunjungi keluarga majikan yang dibunuh oleh TKI dan mengupayakan agar ada maaf dari keluarga.

Dalam hal TKI yang dibunuh, majikan yang mendapat tuduhan akan berupaya untuk mendapatkan maaf dari keluarga korban. Kerap mereka difasilitasi oleh perwakilan Arab Saudi di Jakarta. Keluarga TKI yang terbunuh pun dengan mudah akan memberikan maafnya. Pemerintah harus melakukan segala daya upaya.

Pemerintah patut mencontoh apa yang dilakukan Pemerintah Australia dalam melindungi warganya. Pelaku penyelundupan narkoba yang dikenal sebagai Bali 9, misalnya, bisa terbebas dari jeratan hukuman mati karena upaya Pemerintah Australia yang gigih melakukan lobi dan upaya hukum di Indonesia.

Sudah saatnya kebijakan luar negeri Indonesia difokuskan dalam masalah-masalah bilateral untuk melindungi warga negara di luar negeri. Sekali lagi kita berteriak kepada pemerintah: lindungi TKI! Jangan biarkan mereka merana dan kita nikmati keringatnya.

HIKMAHANTO JUWANA
Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Opini Okezone 20 Juni 2011