18 Februari 2011

» Home » Opini » Suara Merdeka » Silang Budaya Kuliner Semarang

Silang Budaya Kuliner Semarang

Pada perayaan Capgome asimilasi budaya ini lebih jelas lagi terlihat pada lontong capgome: lontong, opor ayam, sambal goreng ati ampela, lodeh terong/ labu, telur pindang. Hidangan ini khas di kota Semarang , bahkan juga dikenal luas di seantero Nusantara sebagai hidangan umum di luar masa perayaan Imlek. Persilangan budaya dengan China pada hidangan kuliner ini dapat dilihat sebagai modal promosi pariwisata Kota Semarang.

Hasil survei Minat Kunjungan di Asia Pasifik Tahun 2010 menyatakan bahwa pengalaman kuliner dan belanja ternyata menjadi motivasi utama wisatawan asing untuk kembali berkunjung ke Indonesia. Survei oleh AC Nielsen itu dipaparkan oleh lembaga penyedia jasa pembayaran global Visa dan Asosiasi Travel Asia (Media Indonesia, 22/10/10).  Seiring dengan fakta itu, Gubernur Bibit Waluyo dalam kolom ”Mbangun Desa” menyampaikan bahwa salah satu daya tarik pariwisata Jateng adalah wisata kuliner (27/09/10).

Melalui buku Jejak Pangan (2009), Andreas Maryoto menulis bahwa makanan bisa menjadi petunjuk tentang kehadiran umat manusia dan kebudayaannya.  Jajanan tradisional seperti mendut, meniran, dan utri yang khusus dijajakan tiap hari Minggu di Restoran Semarang merupakan hasil dari persilangan budaya (hal 4-5). Dennys Lombard dalam buku Nusa Jawa: Silang Budaya (2005) juga secara menarik menulis bahwa persilangan budaya India, China, Arab hingga sejumlah negara Eropa  terjadi secara komplet di Jawa. Persilangan budaya ini bertemu secara damai di meja makan.
Promosi pariwisata disertai dengan narasi tentang persilangan budaya yang melatarbelakangi terciptanya sejenis makanan akan menambah eksotikanya di samping kelezatannya. Promosi ini harus sampai kepada calon wisatawan hingga  takjub karenanya, apalagi jika budaya yang dimaksud berasal dari negara asalnya, tentu akan lebih  mendekatkan emosi wisatawan terhadap makanan yang disajikan.

Wisatawan China

Sebagai contoh adalah loenpia yang merupakan salah satu makanan khas di Semarang adalah hasil dari persilangan budaya China dan Jawa. Kuliner Jawa menyimpan riwayat pelangi budaya dari berbagai peradaban dunia (Maryoto, 2009). Karya kuno, Serat Centhini, juga menyebutkan kemungkinan kuliner asing memberi pengaruh pada bakmi ayam, gulai, dan soto.

Staf Ahli Menbudpar Titien Maryatin pada temu bisnis di Shanghai mengungkapkan bahwa satu dari 18 pelancong internasional saat ini adalah orang China dan tren kunjungan wisatawan dari Negeri Tirai Bambu itu menunjukkan peningkatan signifikan (deplu.go.id, 18/11/10). Dengan narasi persilangan budaya yang menyertai loenpia, lontong capgome, dan ronde yang terus dipromosikan, Semarang dan Jawa Tengah boleh optimistis menerima kunjungan wisatawan China yang jumlahnya signifikan.

Salah satu bukti besarnya minat warga China terhadap jejak budaya leluhurnya adalah donasi dari warga China terhadap pembangunan Kelenteng Sam Poo Kong dan penyerahan patung Laksamana Cheng Hoo (SM, 15/01/ 11). Fakta bahwa mereka bersedia menjadi donatur tentunya diharapkan sejalan dengan minat mereka berkunjung ke Semarang dan Jawa Tengah.


Jejak budaya China dalam kuliner di Semarang akan menjadi daya tarik wisatawan jika narasi tentang persilangan budaya yang melatarbelakanginya dibuat menjadi sarana promosi yang persuasif demi pariwisata Kota Semarang. Promosi disebarluaskan sehingga dapat menarik perhatian wisatawan dari China yang jumlahnya makin meningkat signifikan setiap tahunnya mengingat pertumbuhan ekonomi di China yang mencengangkan.

— YP Diksi Agni Kustanta, praktisi bidang pangan di Semarang, alumnus Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian UGM
Opini Suara Merdeka 19 Februari 2011