18 Februari 2011

» Home » Opini » Suara Merdeka » Pencitraan Susu Formula

Pencitraan Susu Formula

PRODUK susu formula yang diduga mengandung bakteri Enterobacter sakazakii (SM, 12/02/11) sampai saat ini membingungkan dan belum ada solusi yang menenteramkan konsumen, baik dari BPOM maupun Kemenkes. Apakah susu itu benar-benar bermanfaat, bukan jargon kesehatan yang sudah kedaluwarsa? Apakah klaim susu hanya memberi kesan rasa senang konsumen? Atau malah memberi dampak yang tidak menyehatkan? Apakah pemanasan untuk kepentingan sterilisasi di pabrik merusak susu dan menghancurkan nilai gizinya?

Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa banyak zat gizi (DHA, Omega 3) yang ditambahkan dalam susu formula? Apakah kalsium yang ada dalam susu malah akan mempercepat tulang menjadi keropos atau malah membuat tulang menjadi getas? Apakah benar statemen dalam buku E Levy MD Optimal Nutrition for Optimal Health edisi tahun 2001: Milk, a good food made toxic, yang memaparkan secara semua proses di pabrik yang membuat susu kehilangan nilai gizinya?

Disadari atau tidak fenomena tersebut menunjukkan bahwa konsumen produk susu formula makin cerdas dan pihak pemasar (produsen) harus melihat adanya tantangan baru pada era globalisasi dunia ini, yakni tuntutan konsumen yang makin tinggi dan faktor teknologi dan deregulasi (Kotler, 2000) sebagai faktor penting sukses bisnis saat ini.
Globalisasi dunia memaksa setiap pabrikan susu membuka diri terhadap kompetisi dan mengaitkan pemasaran dengan pergeseran budaya masyarakat. Perkembangan teknologi berdampak pada kemudahan memperoleh akses pemasaran.

Deregulasi harus mampu mereduksi aturan sehingga menjadi jelas dan mudah. Dengan kata lain, semua perkembangan globalisasi, teknologi, dan deregulasi telah mengakibatkan konsumen menjadi rasional, terdidik, dan lebih berorientasi pada kualitas, baik menyangkut kualitas produk maupun kualitas hidup secara keseluruhan (Csikszentmihalyi,2000).

Karena itu, BPOM, LSM, pabrik susu, dan masyarakat harus tanggap atas isu lingkungan dan meletakkan pada pandangan pemasaran sosial. Pemasaran harus mendengar bukan egois, pemasaran harus bottom up bukan lagi top down, pemasaran harus induksi bukan deduksi, pemasaran harus menggunakan otak kanan bukan lagi otak kiri, pemasaran harus berbasis kemitraan, lebih emosional dan spiritual.

Ketika konsumen sudah loyal maka posisi tawar konsumen menjadi rendah, harga menjadi lebih tinggi, kualitas produk lebih inferior dan akhirnya pemasar bisa menurunkan nilai produk tanpa khawatir. Persinggungan kepentingan dari produsen dan konsumen pasti menyebabkan kerugian lebih besar pada hak-hak konsumen.
Hak Konsumen Konsumen produk susu formula sebagai salah satu pelaku dalam transaksi bisnis, memiliki hak untuk aman dari produk susu formula yang dapat membahayakan bagi kesehatan bayi ataupun bagi kehidupan secara keseluruhan. Dalam konteks ini konsumen harus terbebas dari bahaya zat beracun (bakteri) dan terbebas dari ancaman fisik lain.

Hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang jujur dan terlindung dari kecurangan dan bias atas informasi, periklanan, label, atau praktik lain. Hak untuk terlindungi dari informasi yang merugikan dan hak untuk diberikan cukup informasi untuk mengambil keputusan. Konsumen susu harus terhindar dari fraudulent advertising (informasi yang benar-benar bohong) dan false advertising (klaim manfaat produk susu), dan misleading advertising claim.

Hak konsumen untuk memperoleh berbagai pilihan produk susu pada harga yang kompetitif tanpa adanya hambatan dari pasar ataupun aturan pemerintah. Hak konsumen untuk mendapat keyakinan bahwa kepentingan konsumen akan diterima secara penuh dan mendapat perhatian simpatik dari pemasar dalam merancang kebijakan pemasaran dan memiliki cukup saluran bila mengalami ketidakpuasan.

Karena itu, menjadi kewajiban BPOM, Depkes, dan pemasar secara bersama-sama menciptakan konsensus sosial sebagai kesepakatan bersama berlandaskan kejujuran yang mampu melindungi konsumen dan mereduksi kegiatan pemasaran yang eksploitatif dan jauh dari etika. Selain itu, melakukan edukasi konsumen produk susu formula yaitu meningkatkan upaya kapabilitas konsumen dalam menilai suatu produk susu formula, dan yang terpenting adalah menggalakkan kembali Gerakan Cinta Air Susu Ibu (ASI). (10)

— Dr H Asyhari SE MM, dosen Fakultas Ekonomi dan Magister Manajemen Unissula Semarang
Opini Suara Merdeka 19 Februari 2011