06 Mei 2010

» Home » Solo Pos » Isu kesehatan dalam Pilkada

Isu kesehatan dalam Pilkada

Sakit” dan “rumah sakit” adalah kata yang menjadi momok bagi setiap orang dan hampir semua orang tidak ingin menikmatinya. Berbagai upaya ditempuh untuk menghindari kata ”sakit” dan ”rumah sakit”.

Sampai saat ini, sistem kesehatan di Indonesia sangat jauh dari cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Rakyat kecil sangat terbebani dengan sistem kesehatan yang diperdagangkan.

Rakyat yang membayar lebih banyak mendapat pelayanan yang lebih banyak atau lebih baik mutunya. Puluhan ribu rakyat meninggal di Indonesia—yang mengaku Pancasilais—hanya kerana keluarga mereka tidak memiliki uang. Di negeri kapitalis sekalipun, hal itu tidak boleh terjadi. Mahlil Rubi (2007) dalam disertasinya menemukan 83% rumah tangga mengalami pembayaran katastropik ketika satu anggota rumah tangga membutuhkan rawat inap. Artinya, sebuah rumah tangga akan jatuh miskin, karena harus berutang atau menjual harta benda untuk biaya berobat di RS.

Dewan Kesehatan Rakyat atau DKR adalah sebuah wadah yang diprakarsai oleh masyarakat sebagai bentuk peran aktif yang berfungsi sebagai mitra pemerintah dalam meningkatkan kesehatan masyarakat. Aktivitas DKR meliputi pembangunan desa siaga, membantu masyarakat miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, membantu penyelesaian masalah antara masyarakat miskin dengan penyedia pelayanan kesehatan, membantu penyelesaian permasalahan yang berpotensi menimbulkan krisis kesehatan, melakukan sosialisasi perilaku hidup bersih dan sehat, menyampaikan upaya pengendalian penyakit menular, menyampaikan program pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin melalui program Jaminan Kesehatan Masyarakat (baik pusat maupun daerah), menyampaikan pentingnya pertumbuhan Balita secara teratur untuk mencegah terjadinya gizi buruk, dan lain-lain menyangkut isu kesehatan beserta turunannya.

Pembangunan kesehatan merupakan bagian dari pembangunan nasional. Bertujuan utama meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Kenyataan yang terjadi sampai saat ini derajat kesehatan masyarakat masih rendah khususnya masyarakat miskin. Salah satu penyebabnya adalah mahalnya biaya kesehatan sehingga akses pelayanan kesehatan masih rendah. Akhir-akhir ini, berkaitan implementasi layanan kesehatan untuk rakyat berbentuk Jamkesda muncul beberapa tuntutan-–secara nasional—agar Jamkesda diselenggarakan oleh swasta (rekanan). Hal ini menjadi wajar mengingat dana jamkesda sangat luar biasa. Terkait hal tersebut, DKR Kabupaten Sukoharjo prihatin. Pada satu sisi, negara, melalui Kementerian Kesehatan dan Kementerian Keuangan ingin benar-benar memperhatikan kesehatan rakyatnya, namun pada sisi yang lain ada pihak yang ingin menangguk keuntungan dengan pelaksanaan Jamkesda.

Abdi rakyat

Analisa yang dilakukan oleh DKR Sukoharjo sedikitnya terdapat tiga hal utama yang harus dicermati. Pertama, mulai pudarnya semangat kepala daerah dan wakil kepala daerah mengurusi rakyatnya. Pelaksanaan Jamkesda yang diselenggarakan oleh rekanan hampir pasti memperlemah peran negara (Pemkab) dalam mengurusi layanan kesehatan rakyatnya. Kedua, menghambur-hamburkan uang Pemkab. Dengan model asuransi, maka perusahaan asuransi akan menjadi rekanan Pemkab dalam mengurusi pembayaran klaim layanan kesehatan. Konsekuensinya, Pemkab wajib mengalokasikan anggaran layanan kesehatan untuk kemudian “diberikan” kepada pihak rekanan.

Ketiga, efisiensi dan penghematan keuangan. Jika pengelolaan keuangan pembayaran klaim layanan kesehatan dalam satu tahun anggaran masih terdapat sisa bukan tidak mungkin sisa anggaran tersebut tidak dikembalikan lagi kepada kas pemerintah. Hal ini berbeda bilamana pengelolaan keuangan pembayaran klaim layanan kesehatan dikelola oleh Dinas Kesehatan (Dinkes). Sebab Dinkes jelas memiliki kompetensi pengalaman administrasi layanan kesehatan sekaligus pengelolaan keuangannya. Pada akhir tahun anggaran, bilamana anggaran pengelolaan Jamkesda terdapat sisa, pasti dikembalikan lagi kepada kas daerah.

Kemudian, bilamana terjadi penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan pengadministrasian dan pengelolaan anggaran jamkesda maka bupati atau wakil bupati lebih mudah meminta pertanggungjawaban kepada Dinkes dibanding meminta pertanggungjawaban kepada pihak rekanan.

DKR Sukoharjo berpendapat proses Pilkada Kabupaten Sukoharjo yang sedang digelar oleh KPU Sukoharjo merupakan momentum tepat dalam membangun Sukoharjo lebih ”Makmur” lagi. DKR Sukoharjo telah melakukan roadshow serta membangun kesepahaman mengenai isu kesehatan kepada para pasangan calon bupati dan wakil bupati Sukoharjo. Para calon sepakat untuk menjadikan Jamkesda berikut pengelolaannya sebagai bahan program kerja bidang kesehatan. Ini merupakan kemajuan yang patut didukung.

Ada 4 hal utama yang diusung DKR Sukoharjo kepada calon bupati-wakil bupati Sukoharjo. Pertama, mengalokasikan anggaran kesehatan minimal 10 % dari APBD di luar gaji. Meskipun porsi anggaran kesehatan masih lebih kecil dibanding anggaran bidang pendidikan, paling tidak bidang kesehatan kini mulai memperoleh perhatian dari Pemkab. Kesehatan merupakan salah satu faktor kunci keberhasilan pembangunan. Kedua, tidak menyerahkan pengelolaan anggaran Jamkesda kepada rekanan (Jamkesda berbasis asuransi). Jika pengelolaan Jamkesda benar-benar diserahkan kepada rekanan sama saja artinya Pemkab tidak lagi peka kepada rakyatnya dan lebih suka menghambur-hamburkan uangnya kepada pihak rekanan.

Ketiga, menjamin Dinkes melakukan pengelolaan Jamkesda dan mengoptimalkan peran Desa Siaga. Bagaimanapun, Dinkes merupakan perangkat daerah yang memiliki kewenangan kerja dalam membangun serta mempromosikan bidang kesehatan dan turunannya. Dari Dinkes inilah, Jamkesda dikendalikan dan dikelola. Dinkes dalam menjalankan kegiatan programnya memiliki kompetensi yang jelas serta memahami seluk beluk implementasi sektor kesehatan mulai sisi administrasi hingga klaim biaya layanan kesehatan.

Keempat, dibutuhkan reformasi birokrasi bidang kesehatan. Hal ini penting dilakukan mengingat pengalaman advokasi di lapangan, DKR Sukoharjo masih merasakan –meski dalam skala kecil—biasanya pada permasalahan administrasi dan pola pikir sebagai ambtenaar. Mindset layaknya juragan dari para aparat Dinkes kini sudah tidak lagi dibutuhkan. Yang diperlukan adalah seorang ambtenaar yang prorakyat, yang tidak menganggap rakyat miskin sebagai beban pemerintah. - Oleh : Luqman Yudhi Nursyahid


Opini Solo Pos 6 Mei 2010