06 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Tanah PRPP: Politisasi Hukum Agraria

Tanah PRPP: Politisasi Hukum Agraria

”PEMPROV minta bantuan Kejati untuk lacak aset PRPP yang hilang. Ada tanah 186,7 hektare yang dikuasai PT Indo Perkasa Usahatama (IPU). Berawal dari perjanjian Yayasan PRPP dengan PT IPU, perusahaan itu punya hak menguasai sampai 75 tahunî (SM, 21/04/10).

Menurut Kakanwil BPN Jateng Doddy Imron Cholid, aset PT PRPP seluas 186,74 hektare kini terpecah menjadi 1.280 bidang tanah dengan status hak guna bangunan (HGB). Tanah bermula milik perorangan yang dibebaskan oleh PT IPU, kemudian diterbitkan hak pengelolaan (HPL) atas nama Pemprov Jateng.

Silang sengkarut masalah tanah PRPP ini kemungkinan besar dari statusnya sebagai tanah hak pengelolaan (HPL). Kasus HPL tidak hanya di Semarang tetapi juga pada kasus Priok yang menelan korban jiwa belum lama ini. Sebelumnya juga kasus kompleks Senayan ataupun Kemayoran di Jakarta.


Hak pengelolaan (HPL) adalah hak atas tanah yang istimewa, bahkan agak misterius karena tidak pernah disebut secara ekplisit dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA - UU Nomor 5 Tahun 1960), maupun undang-undang lain. Namun secara bertahap, HPL muncul dalam berbagai peraturan pelaksanaan, dan bentuknya makin kuat.

Prof Budi Harsono, dalam bukunya Hukum Agraria Indonesia edisi 2006, masih menyebut bahwa dalam hukum tanah nasional, hak-hak atas tanah yang diatur dalam hukum tertulis akan tetap empat yaitu hak milik (HM), hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), dan hak pakai. Jadi jelaslah bahwa posisi HPL dalam sistem hukum pertanahan merupakan tanda tanya besar.

Dari mana datangnya HPL, yang kemudian menjadi biang masalah di mana-mana ini? Dalam penjelasan UUPA ditegaskan bahwa sesuai Pasal 33 UUD 1945, negara tidak perlu bertindak sebagai pemilik tanah, hanya berkuasa untuk mengatur. Untuk itu negara punya otoritas memberikan hak pada perorangan atau badan hukum, berupa hak milik, HGU, HGB, maupun hak pakai, atau memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu badan penguasa (departemen, jawatan, atau daerah swatantra) untuk digunakan bagi pelaksanaan tugas masing-masing, sesuai Pasal 2 Ayat 4.

Di sinilah kata pengelolaan kali pertama muncul, walaupun agak bergeser dari Pasal 2 Ayat 4 UUPA, dan tetap ada batasan bahwa pengelolaan masih berkaitan dengan tugas masing-masing instansi yang diberi tugas pengelolaan. Pasal 2, Ayat 4 berbunyi,”Hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaanya dapat dikuasakan pada daerah-daerah swatantra, dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah”.

Digunakan Sendiri

Istilah hak pengelolaan (HPL) kali pertama muncul dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak penguasaan atas Tanah Negara dan ketentuan tentang kebijaksanaan selanjutnya, yang kemudian diubah dengan Permen Agraria Nomor 1 Tahun 1966. Pasal 4 mengatur tentang tanah negara yang digunakan sendiri oleh departemen, direktorat, atau daerah swatantra diberi hak pakai. Pasal 5 berbunyi,” Apabila tanah-tanah negara sebagaimana dimaksud Pasal 4 dipergunakan oleh instansi itu sendiri, juga dimaksudkan diberikan pada pihak ketiga, maka oleh Menteri Agraria tanah-tanah tersebut akan diberikan hak pengelolaan”.

Kesimpulan Winahyu Erwiningsih dalam bukunya Hak Menguasai Negara atas Tanah (2009), menyebut tanah HPL tidak dapat diperjualbelikan atau dialihkan, tetapi dilepaskan kembali oleh negara untuk kemudian diberikan kepada pihak lain, dengan sesuatu hak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Masuk akal pertanyaan Kakanwil BPN Jateng Doddy Imron Cholid, untuk apa tanah PRPP dahulu dimintakan sertifikat HPL kalau akhirnya diserahkan ke pihak ketiga, kemudian dibebani status HGB. Kalau sesuai aturan yang berlaku yang diberikan HPL adalah Pemrov Jateng, lalu apa posisi Yayasan PRPP yang membuat perjanjian dengan pihak ketiga dan dengan menjanjikan pemanfaatan tanah HPL.

Dalam berbagai aturan yang asal muasalnya agak misterius, HPL selalu dikaitkan dengan tugas institusi yang diberi HPL. Misalnya HPL Senayan untuk membangun fasilitas olahraga. Dalam kasus tanah PRPP, apa hubungan antara Pemprov  pemegang HPL dan perumahan mewah di atas tanah PRPP itu? Lantas, apa hubungan pengadaan bangunan di atas HPL dan tugas pemegang HPL?

Persoalan tanah PRPP ini harus segera dituntaskan. Pertama untuk kepentingan penyelamatan aset Pemprov yang nilainya ditaksir triliunan rupiah. Kedua, untuk kepentingan para pemilik HGB atas tanah ataupun bangunan di atas HPL tersebut, jangan sampai mereka merasa tertipu, atau tidak diberitahu kalau HGB-nya di atas HPL. Ketiga, rasa keadilan bagi rakyat, khususnya para pemilik lahan, yang dulu tanahnya dibebaskan dengan alasan untuk kepentingan umum tetapi akhirnya untuk kepentingan perseorangan. (10)

— Doktor Bambang Sadono SH MH, Wakil Ketua DPRD Jawa Tengah

Wacana Suara Merdeka 7 Mei 2010