13 April 2010

» Home » Suara Merdeka » Pedestrian Nyaman dan Manusiawi

Pedestrian Nyaman dan Manusiawi

PERSOALAN besar yang selalu muncul dari kota besar adalah sulitnya menata kota . Keberimbangan ruang publik, ruang terbuka hijau (RTH), sentra bisnis, dan sosial selalu berebutan dengan makin keterbatasan lahan. Berbagai kepentingan (politik, ekonomi, sosial budaya) sering menyelimuti setiap pengambilan keputusan perencanaan tata kota.

Menyamakan persepsi dan keinginan warga memang tidak mudah. Gerakan ’’provokator’’ dari segelintir orang ataupun kelompok kadang mampu mementahkan segala keputusan yang sudah menjadi agenda pemerintahan daerah. (pemkot/pemkab).
Seperti halnya bagi kenyamanan pedestrian (areal untuk pejalan kaki). 


Hampir semua pemerintah kota besar  di Indonesia dalam rencana strategis (renstra) pembangunan fisiknya, berusaha memanjakan pejalan kaki dengan membuat pedestrian demi keindahan dan keseimbangan ekologis. Sebab bentuk keberadaban kota senantiasa tercermin dalam penataan kota yang asri dan nyaman.

Permasalahan penataan tata ruang bagi kenyamanan warganya selalu bertaut dengan berbagai kepentingan. Meski Kota Solo yang sudah memiliki kawasan pejalan kaki, citywalk di sepanjang Jalan Slamet Riyadi, Ngarsapura, Galabo (kuliner) toh masih kurang terasa nyaman bagi pejalan kaki.

Namun sepanjang program pembangunan tersebut sudah disetujui DPRD,  direalisasikan dengan kucuran dana dan disosialisasikan, dapatkah segera dinikmati manfaatnya? Sudahkah pejalan kaki mendapat tempat semestinya, atau hanya sebuah ilusi?

Realitanya, trotoar yang ada di semua jalan utama kota kini sudah ’’habis’’. Tidak banyak menyisakan ruang untuk pejalan kaki yang sebenarnya lebih berhak. Pejalan kaki harus terpinggirkan karena trotoar yang mestinya diperuntukkan bagi mereka kini dihabiskan oleh PKL, parkir motor, becak, arena bermain, dan pemasangan pot bunga.
Ketersediaan pedestrian yang nyaman dan aman tampaknya bisa menjadi bahan refleksi tema hari jadi kota ’’Solo Kreatif, Berbudaya, dan Sejahtera’’.

Berbagai penghargaan diterima  Kota Solo, misalnya tahun lalu untuk bidang kesehatan, pariwisata, dan keuangan. Pada

awal  tahun ini kembali memperoleh penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam bidang pelopor inovasi pelayanan prima. Lalu bagaimana dengan bentuk pelayanan kepada masyarakat pejalan kaki?
Butuh Ketegasan Melihat kenyataan  dan ketidakmampuan pemerintah kota dalam menata ruang kotanya guna memanjakan pejalan kaki, sepertinya dibutuhkan ketegasan, kedisiplinan, payung hukum (perda), kontinuitas monitoring (pengawasan), dan sanksi bagi penyerobot ruang pejalan kaki. Janganlah kawasan percontohan yang menjadi prioritas pengawasan dan tindakan, masalahnya masyarakat tersebar di berbagai pelosok kota juga butuh dengan kenyamanan privasi saat berjalan kaki.

Selain citywalk, kawasan Ngarsapura dan sepanjang trotoar di sisi jalan utama sudah dipasangi rambu larangan parkir bagi becak, kendaraan bermotor, dan  larangan berjualan.

Tapi secara sporadis pelanggaran masih terjadi selama petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) lengah. Kita bisa melihat Manahan (Jalan Adisucipto) kelihatan rapi dan indah tanpa pedagang saat personel Satpol PP berjaga. Namun bila tidak dijaga, mulailah kesemrawutan nampak.

Karena itu, pemasangan tanda larangan (sesuai perda) termasuk sanksi hukumnya benar- benar harus diaktualisasikan. Penerapan sanksi harus tegas dengan tidak mengabaikan sisi kemanusiaan.

Karena Pemkot Solo telah berhasil menata beberapa daerah bagi kenyamanan pejalan kaki (kawasan night market Ngarsapura), Taman Banjarsari, dan  Alun-alun Utara secara humanis, tidak ada salahnya kawasan pejalan kaki yang lain  perlu disentuh. Misalnya kawasan pejalan kaki di Jalan Adisucipto, Urip Sumohardjo, Jalan Mr Sartono, Kolonel Sutarto, Gadjah Mada, Yos Sudarso, Sutan Sjahrir, Honggowongso dan Jalan Dokter Rajiman agar tidak kumuh.

Sebuah refleksi tidak hanya ditujukan kepada Pemkot Solo sebagai penanggung jawab ketertiban, namun masyarakat juga harus peduli dan taat pada aturan yang sudah disosialisasikan. Pasalnya paling sulit dan rumit adalah menanamkan kesadaran pada warga dalam melihat perspektif kota yang indah.Hak-hak pejalan kaki telah dijamin dan dilindungi oleh Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.  (10)

— FX Triyas Hadi Prihantoro, guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta


wacana Suara Merdeka 14 April 2010