Apakah artis mencalonkan diri atas dasar keinginan dan cita-cita politik sendiri, atau ada pihak tertentu dari partai di daerah yang ingin memenangi pilkada?
ARTIS Julia Perez (Jupe) seperti tak henti-hentinya membuat sensasi, kali ini tak tanggung-tanggung bakal mencalonkan diri sebagai wakil bupati Pacitan, daerah tempat Presiden SBY dulu pernah dibesarkan. Selain Jupe, Koalisi Amanat Perjuangan Rakyat (Ampera), yang mencalonkan Jupe, juga melirik dua artis yakni Denada dan Kristina, sebagai alternatif pengganti Jupe.
Sebelumnya, Ayu Azhari juga membuat heboh karena menyanggupi politikus PDIP Sukabumi untuk dicalonkan menjadi wakil bupati. Sejumlah artis Ibu Kota memang tengah ‘’bergerilya’’ di daerah-daerah pada musim pilkada tahun ini. Sejumlah nama juga bermunculan, seperti Ikang Fawzi calon wabup Lampung Selatan, pelawak Bolot calon wali kota Tangerang Selatan, Emilia Contessa calon bupati Banyuwangi, dan Ratih Sanggarwati calon bupati Ngawi.
Artis yang sukses dalam pilkada dan kini berkuasa antara lain Rano Karno menjadi wakil wali kota Tangerang Selatan, Dede Yusuf menjadi wakil gubernur Jabar dan Dicky Chandra sebagai wakil bupati Garut. Sedangkan yang gagal dalam pilkada antara lain Primus Yustisio, Syaiful Jamil, dan Marissa Haque. Dalam demokrasi, sebenarnya tak ada masalah siapapun warganegara boleh mencalonkan diri dalam pilkada. Bahkan tak hanya artis, siapapun tak terkecuali, dapat mencalonkan diri, kecuali yang melanggar hukum dan perbuatan yang merugikan negara seperti koruptor.
Namun jika kita mau kritis, persyaratan legal-formal saja sebenarnya tak cukup untuk mencalonkan diri. Aspek moral seharusnya menjadi perhatian bagi siapapun, yang meliputi misalnya, soal kemampuan, kualitas, profesionalitas, serta memiliki tujuan politik yang jelas, jujur dan bersih. Pertanyaan apakah para artis memiliki aspek moral tersebut, dikembalikan lagi pada individu masing-masing. Jika tak memiliki, sebaiknya mengundurkan diri saja, daripada nanti bermasalah di tengah jalan.
Banyak Dipertanyakan Kurangnya artis dalam memiliki sense politik juga banyak dipertanyakan. Misalnya, apakah keinginan mereka mencalonkan diri atas dasar keinginan dan cita-cita politik sendiri, ataukah ada pihak tertentu dari partai di daerah yang hanya ingin memenangi pilkada? Jika kemungkinan kedua benar, maka tak diragukan lagi, para artis telah terjebak pada politik oportunisme yang pragmatis, yang hanya akan menguntungkan pribadi dan golongan, sementara perjuangan untuk membela kesejahteraan rakyat dapat dipastikan nihil.
Politikus daerah juga harus dipertanyakan karena telah membawa para artis pada kancah politik, yang menurut istilah Azyumardi Azra (2004) politik Indonesia bagai ‘’belantara’’ ini. Jadi, jika kegagalan politik para selebriti nanti terjadi, sebenarnya pihak yang harus dipersalahkan juga adalah politikus di daerah yang telah membawa artis pada politik pragmatis itu. Jika ada sebuah keyakinan bahwa perkembangan demokrasi ditentukan oleh kualitas kaum politikusnya. Dari sini bisa kita mengambil sebuah hipotesis bahwa makin berkualitas para politikus maka akan berkorelasi positif dengan kemajuan demokrasi.
Pertanyaan apakah artis memiliki kriteria semacam itu? Untuk itu sistem politik yang harus dibangun adalah sistem yang mengutamakan politikus yang memiliki kualitas dan kapasitas dan tidak menoleransi politikus dadakan yang miskin pengalaman. Politikus yang miskin pengalaman seperti artis tertentu, dipastikan hanya akan menjadi benalu demokrasi. Tugas mengatur dan mengawasi menuju pemenuhan kesejahteraan rakyat bukanlah hal yang gampang. Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang memiliki track record mumpuni, kapasitas dan kualitas yang bisa membawa bangsa ini keluar dari kemelut berkepanjangan.
Kekuasaan bukanlah ajang coba-coba atau pembelajaran bagi politikus yang miskin pengalaman. Untuk menjadi seorang politikus sejati, haruslah memulai perjuangan dari bawah. Sejatinya seorang politikus adalah individu tokoh yang telah mendapatkan kepercayaan masyarakatnya ditambah dengan sikap amanah selalu menjaga, mengurusi, dan menangani seluruh keperluan masyarakatnya, baik langsung kepada masyarakat maupun tidak langsung dalam bentuk kebijakan yang berpihak kepada masyarakat luas.
Bangsa ini sekarang tengah berada dalam era politik yang sesungguhnya antipolitik. Politik tidak dibangun berdasarkan moral dan etika, yang misalnya, persoalan etika dan moral diwujudkan dengan membuat aturan strategis yang diimplementasikan bagi kesejahteraan rakyat. Politik saat ini, energinya dihabiskan hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok, dan di sisi lain persoalan yang sesungguhnya harus diselesaikan seperti persoalan kemiskinan, angka pengangguran yang kian meninggi, dan persoalan krisis pangan, misalnya, nyaris tak disentuh sama sekali.
Pertanyaannya, adakah para artis itu yang memiliki kemampuan dan benar-benar menghayati politik seperti dalam tujuan-tujuan politik itu sendiri? Ataukah sebenarnya mereka hanya ingin meraih kekuasaan semata, dan mengabaikan tujuan politik yang mulia.
— Ismatillah A Nu’ad, associate peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina Jakarta
Wacana Suara Merdeka 14 April 2010