Kemungkinan itu tetap ada dan sesungguhnya telah diterapkan, di antaranya pada Undang-Undang (UU) Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 dan UU Lingkungan No 23/1997 dalam lingkup terbatas. Selain itu, kemungkinan pembalikan pembuktian tersebut juga didasarkan pada landasan filosofis hukum itu sendiri, yakni ada bukan hanya untuk dirinya sendiri (konkret), tetapi demi untuk memberikan perlindungan kenyamanan dan keadilan masyarakat. Oleh karena itu, secara prinsip, hukum itu akan terus berubah dan bergerak maju (law in the making), berkembang mengikuti perkembangan dan kebutuhan masyarakat hukum dari lingkungan hukum itu sendiri.
Animo masyarakat ini fenomena hukum yang patut dan seyogianya segera ditindaklanjuti oleh pemerintah. Urgensi tindak lanjut penerapan pembuktian terbalik tersebut bukan tanpa alasan. Kemerosotan moral dan keterlibatan aparatur negara dalam berbagai kasus pidana yang hampir tiada habisnya terjadi merupakan bukti bahwa penerapan pembuktian terbalik tidak bisa lagi ditunda pelaksanaannya karena kasus yang selama ini terjadi telah melukai rasa keadilan masyarakat.
Polemik penerapan pembuktian terbalik yang sudah lama terjadi dan argumentasi hukum yang diungkapkan para pakar hukum di negeri ini tidak dapat dijadikan alasan penghambat penerapan pembuktian terbalik diatur dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Pemikiran-pemikiran yang hanya disandarkan pada pandangan positivisme hukum tidak bisa dijadikan sebagai tameng penghambat pengaturan asas pembuktian terbalik dituangkan dalam UU yang baru. Apalagi menjustifikasi (membenarkan) pembuktian terbalik dianggap bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), dan asas non self incrimination (sesuatu hal yang tidak diperbolehkan dilakukan dalam suatu proses peradilan pidana).
Hendaknya juga dipahami, berbicara mengenai hukum tidak hanya sebatas UU saja karena UU hanya merupakan salah satu unsur dari keseluruhan sistem hukum. Oleh karena itu, di luar paham positivisme hukum, terdapat paham hukum lain berperan penting sebagai sumber hukum formal dalam praktik pembangunan hukum, saling melengkapi satu dengan lainnya. Ambil contoh, menurut pandangan penganut hukum alam (natural law), isi hukum adalah moral. Hukum tidak semata-mata merupakan suatu peraturan tentang tindakan-tindakan hukum, tetapi juga berisi nilai-nilai. Hukum adalah indikasi mengenai perbuatan apa saja yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Di sisi lain, bagi penganut sociological jurisprudence, hukum dikonstruksi dari kebutuhan, keinginan, tuntutan, dan harapan masyarakat. Jadi, yang didahulukan kemanfaatan dari hukum itu sendiri bagi masyarakat sehingga hukum akan jadi hidup.
Dalam kaitan itu, penerapan pembuktian terbalik dalam sistem perundang-undangan Indonesia tidak dapat serta merta di justifikasi sebagai bentuk intervensi hukum terhadap hak dasar individu atau bentuk pelanggaran terhadap International Covenant on Civil and Political Rights, apalagi dikaitkan dengan prinsip presumption of innocence. Tujuan penerapan pembuktian terbalik bukan untuk mengurangi isi dan ketentuan UU yang menguasainya, tetapi ia ada dan berdiri di atas kepentingan negara dan hukum yang bertindak atas kepentingan dan harapan bangsa, menuntut pertanggungjawaban dari aparatur atas kewenangan yang ada padanya, membuktikan bahwa ia telah melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai ketentuan hukum. Jadi yang dibuktikan secara terbalik bukan apa yang didakwakan, tetapi kewenangan yang melekat padanya, bersumber dari negara serta dilaksanakan sesuai ketentuan UU.
Untuk itu, hak dasar seseorang yang dijamin pelaksanaannya dalam asas non self incrimination tak dapat ditafsirkan secara sepihak, tetapi juga harus dilihat dari sudut lebih luas. Dalam konteks tertentu atau secara kasuistis dilihat kewenangan yang melekat pada individu bersangkutan, hak dan kewajibannya. Sebagai pelaksana kepentingan bangsa dan negara, ia berkewajiban menjamin kewenangan yang ada padanya dilaksanakan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Dengan demikian, penerapan asas non self incrimination dalam pengertian terbatas juga mengandung hak dan kewajiban hukum di dalamnya, sesuai fungsi hukum yang memberikan pembatasan.
Ini sesuai ketentuan UU No 28/2009 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Pasal 5 Ayat (3), yang menyebutkan, ”setiap penyelenggara negara berkewajiban untuk melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan sesudah menjabat”.
Pencantuman kata ”setiap” pada pasal di atas menunjuk pada subyek, sedangkan pencantuman kata ”melaporkan dan mengumumkan sebelum dan sesudah menjabat” merupakan pantulan kewajiban yang mutlak dilaksanakan. Subyek hukum merupakan penyandang hak dan kewajiban. Maka, di samping hak dasar yang melekat pada individu aparat, ia juga berkewajiban mempertanggungjawabkan kewenangan yang ada padanya.
Dengan demikian, penerapan pembuktian terbalik pada sistem perundang-undangan Indonesia tak dapat dijustifikasi secara sempit bertentangan dengan asas non self incrimination dan keterkaitannya dengan asas praduga tak bersalah. Sebab, penerapan asas pembuktian terbalik tidak ditujukan atas person bersangkutan, tetapi lebih pada pertanggungjawaban atas kewenangan yang diberikan negara kepadanya. Pendapat penulis di atas juga mengacu pada pembuktian terbalik yang ditulis Indriyanto Senoadji, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Krisna Dwipayana. Ia menyatakan, ”Meminjam istilah almarhum Oemar Senoadji, pergeseran bukan pembalikan beban pembuktian. Kata ’Beban’ ditekankan bukan pada alat buktinya, tetapi pada siapa yang berhak untuk melakukan. Mohon diperhatikan, kata ’berhak melakukan’ merujuk kepada siapa yang berwenang.”
Selanjutnya ditegaskan, ”yang terpenting untuk apa yang dinamakan pembalikan beban pembuktian adalah adanya kata-kata pemberian gratifikasi yang memang menjadi kewajiban dari penuntut umum untuk dibuktikan, tetapi untuk rumusan yang berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban itulah yang harus dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa dan tak boleh dirumuskan dalam rumusan delik itu. Sejarah istilah gratifikasi awal mulanya diadopsi dari negara-negara Anglo Saxon. Penerapan pembuktian terbalik awalnya satu, yaitu suap (bribery)”.
Di negara-negara Anglo Saxon, suap jadi kendala mengenai pembuktiannya di pengadilan, maka keluar istilah gratifikasi yang kemudian diadopsi di Indonesia, khususnya pada UU No 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Namun, pasal itu oleh para ahli hukum dianggap pasal mandul karena dianggap salah dalam penulisan kebijakan legislasinya. Atas dasar argumentasi itu, dapat disimpulkan penerapan pembuktian terbalik pada prinsipnya tak dapat dijustifikasi bertentangan dengan asas non self incrimination dan keterkaitannya dengan asas praduga tak bersalah. Untuk itu, dapat diterapkan dalam sistem perundang-undangan di Indonesia demi untuk melindungi kepentingan negara dan bangsa serta sesuai aspirasi masyarakat.
Guna menghindari kesalahan kebijakan legislasinya, pasal yang menghendaki adanya pembuktian terbalik tidak boleh mencantumkan delik inti di dalamnya karena itu tugas dari jaksa penuntut umum. Seorang terdakwa juga tidak boleh dipaksa membantu apa yang dituduhkan kepadanya dengan memaksakan prinsip pembuktian terbalik karena akan bertentangan dengan asas non self incrimination. Maka, pada akhirnya, aspek hukum yang perlu dibidik pihak penegak hukum adalah bagaimana mendorong si terdakwa membuktikan ketidakbersalahannya dalam hubungan jabatan dan adanya kewajiban yang bertentangan, baik dalam pengertian fungsi hukum positif maupun negatif.
Opini Kompas 14 April 2010