06 April 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Akuntabilitas Peradilan

Akuntabilitas Peradilan

Oleh Dini Dewi Heniarti

Pernyataan Susno Duadji, jenderal berbintang tiga, terkait makelar kasus dan menuding dua jenderal menyentakkan seluruh kalangan. Sosok muda Gayus Tambunan menjadi spektakuler dan menggemparkan media. Komisi Yudisial mengancam akan memecat hakim Pengadilan Negeri Tangerang yang telah memvonis bebas murni Gayus Tambunan jika terbukti ada penyimpangan.

Sistem peradilan pidana kita tampak rapuh dalam menegakkan due process of law. Para jenderal berbintang dan pejabat saling mengadili. Para reformis dan masyarakat nyaris tak terkendali. Peradilan dilanda judicial corruption penuh intrik dan rekayasa. Sebagai suatu sistem, kinerja peradilan berada pada titik nadir yang sangat ekstrem. Praktik penegakan hukum mencederai perasaan rakyat. Kebebasan dalam kekuasaan kehakiman berubah menjadi kebablasan dalam kekuasaan kehakiman.


Makelar kasus bertransaksi secara timbal balik atau resiprosikal mirip tari tango yang hanya bisa dilakukan dua orang yang bekerja sama, it is take two for tango. Transaksi hanya bisa dilakukan apabila kedua belah pihak setuju tentang besaran uangnya, keputusan yang hendak dibengkokkan, dan bentuk transaksinya. Menemukan dan mencari kebenaran menjadi  pekerjaan teramat mahal di Indonesia. Lembaga-lembaga yang memegang amanat untuk menegakkan kebenaran telah mengangkangi kebenaran yang hakiki. Peradilan menjadi sandiwara yang lucu sampai-sampai tidak ada lagi yang mampu menahan tawa setiap muncul putusan pengadilan. Mafia peradilan adalah realitas sosial yang sulit dibuktikan melalui prosedur yang disediakan hukum pidana karena dilakukan orang-orang yang mengetahui seluk-beluk peradilan, dan terjadi di institusi yang memiliki otoritas untuk menentukan suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai kejahatan atau bukan.

Salah satu akar permasalahan maraknya kejahatan dalam peradilan adalah tidak adanya akuntabilitas. Sebenarnya, akuntabilitas merupakan sisi-sisi sikap manusia meliputi akuntabilitas intern dan akuntabilitas ekstern. Akuntabilitas intern merupakan tanggung jawab seseorang terhadap Tuhannya. Oleh karena itu, akuntabilitas intern disebut juga dengan akuntabilitas spiritual. Akuntabilitas ekstern adalah tanggung jawab orang tersebut kepada lingkungannya baik lingkungan formal (atasan-bawahan) maupun lingkungan masyarakat. Kontrol akuntabilitas ekstern sudah ada dalam mekanisme yang terbentuk dalam sistem dan prosedur kerja. Akuntabilitas lembaga peradilan merupakan keharusan karena selain mendukung terciptanya kemandirian dan profesionalisme juga dapat mengatasi masalah-masalah mafia peradilan. 

Pengadilan di Indonesia berbeda dengan pengadilan di negara lain yang bersifat sekuler, dengan adanya irah-irah, ”Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, berarti memiliki dimensi ilahiah. Pengadilan Indonesia adalah pengadilan negara  yang kemerdekaannya berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, mengakui dan mengikatkan diri kepada Allah Yang Mahaadil. Kebebasan dan independensi peradilan harus diikat dengan pertanggungjawaban  atau akuntabilitas. Keduanya merupakan sisi koin mata uang saling melekat. Dengan kata lain, kebebasan hakim haruslah diimbangi akuntabilitas peradilan. Bentuk tanggung jawab bisa dalam mekanisme yang berbagai macam, dan salah satunya adalah pertanggungjawaban kepada masyarakat, karena pada dasarnya tugas lembaga peradilan adalah melaksanakan public service bagi masyarakat pencari keadilan. Konsekuensi lebih lanjut adalah pengawasan atau kontrol terhadap kinerja badan-badan peradilan baik mengenai jalannya peradilan maupun perilaku para aparatnya agar kemandirian dan kebebasan kekuasaan kehakiman tidak disalahgunakan menjadi ”tirani kekuasaan kehakiman.”

Pers sebagai salah satu lembaga kontrol atau pengawasan merupakan sarana strategis di dalam proses mewujudkan negara hukum. Melalui kekuatannya, pers dapat meningkatkan kepedulian masyarakat sehingga kontrol sosial dapat terlaksana dengan baik. Melalui pemberitaan, masyarakat memperoleh informasi apakah jalannya proses peradilan telah dilaksanakan sebaik-baiknya dan sebagaimana seharusnya. Kebebasan pers dapat membawa implikasi sebagai lembaga kontrol sekaligus  lembaga yang memberi informasi secara benar, akurat, dan tidak berpihak. Batasan atau rambu-rambu yang harus diperhatikan,  pemberitaan-pemberitaan pers haruslah bersifat informatif dan harus dihindari pemberitaan yang bersifat dan mengarah kepada trial by the press. Dengan demikian, dialektika dan interaksi antara kekuasaan kehakiman dan dunia pers menjadi kinerja yang menghargai satu sama lain melalui peningkatan integritas dan profesionalitas aparatur masing-masing.

Mengagungkan, mengharumkan, dan memuliakan kembali peradilan adalah hajat kita bersama, sesuai dengan pepatah Latin kuno nec curia deficeret in justitia exhibenda (pengadilan adalah istana di mana dewi keadilan bersemayam menyebarkan aroma wangi tiada henti ke penjuru negeri). Atas nama keadilan dalam proses penegakan hukum dikandung makna hukum yang bersukmakan keadilan.*** 

Penulis, kandidat doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, dosen Fakultas Hukum dan Pascasarjana Unisba.
Opini Pikiran Rakyat 07 April 2010