10 Maret 2010

» Home » Kompas » Utopia Konstitusional Kasus Century

Utopia Konstitusional Kasus Century

Bagaimana menyelesaikan kasus Bank Century? Bisa jadi inilah pertanyaan yang menggelayut di benak publik saat ini. Setelah DPR mengetukkan palunya, bahwa ada pelanggaran hukum dalam kasus bail out Century, termasuk skema fasilitas pendanaan jangka pendek, pejabat yang disebut-sebut terlibat tetap saja bekerja seperti biasa meski dihujat sana-sini oleh massa yang tidak puas.
Seorang rekan yang juga pengamat menyarankan agar kasus ini dibawa saja ke Mahkamah Konstitusi. Menurutnya, MK-lah yang nantinya akan menyelesaikan soal Century tersebut dalam forum konstitusional sehingga ke depan bangsa ini tidak lagi terbelenggu dengan masalah-masalah hukum seperti kasus Century.
Membawa masalah Century ke MK? Hal ini mudah diucapkan, tetapi tidak mudah dilaksanakan. Lagi pula, MK tidak bisa menyelesaikan keseluruhan masalah Century. MK hanya menyelesaikan dugaan keterlibatan seorang wakil presiden, tidak pejabat-pejabat lain yang ditengarai juga terlibat. Putusan MK tidak akan mengikat seorang Sri Mulyani Indrawati, Raden Pardede, Marsillam Simandjuntak, Robert Tantular, dan masih banyak lagi nama-nama yang disebut dalam laporan Pansus.

 

Lebih jauh dari itu, putusan MK pun tak mungkin menyinggung kasus-kasus lain yang menurut Indonesia Corruption Watch menjadi alat barter bagi partai berkuasa (the ruling party) agar kelompok oposisi tidak melangkah lebih jauh. MK tidak mungkin menyetop syahwat politik kekuasaan yang ingin membuka kasus-kasus yang melibatkan petinggi-petinggi parpol lain sebagai alat tawar-menawar.
Jalan keluar membawa soal Century ke MK sebagai proposal penyelesaian secara komprehensif sangat tidak didukung oleh fakta politik dan fakta yuridis.
Fakta politiknya, laporan Pansus versi opsi C yang menang dalam Rapat Paripurna DPR sama sekali tidak merekomendasikan hak menyatakan pendapat. Padahal, hak menyatakan pendapat adalah entry point untuk sampai pada upaya pemakzulan (the trial of impeachment). Tanpa penggunaan hak menyatakan pendapat, pemakzulan tak mungkin jalan.
Fakta yuridisnya, hak menyatakan pendapat akan terbelenggu prosedur yang diatur dalam UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Undang-undang tersebut dengan jelas menyatakan bahwa penggunaan hak menyatakan pendapat harus disetujui dalam Rapat Paripurna DPR yang dihadiri minimal tiga perempat jumlah anggota DPR.
Apabila diterima asumsi bahwa penggunaan hak menyatakan pendapat adalah serangan kepada the ruling party (baca: Partai Demokrat), sampai kapan pun hak tersebut tak akan terlaksana. Demokrat menguasai lebih dari seperempat jumlah anggota DPR (26,43 persen). Andai Demokrat solid, kuorum penggunaan hak menyatakan pendapat tak akan terpenuhi.
Baik UU MD3 maupun Tata Tertib DPR tidak menyediakan mekanisme penundaan sidang atau kebijakan pimpinan DPR bila kuorum tidak tercapai. Mekanisme tersebut hanya dipakai dalam forum pengambilan keputusan atas laporan Pansus hak menyatakan pendapat, bukan dalam hal penggunaan hak tersebut.
Fakta politik dan yuridis
Rekomendasi untuk membawa kasus Century ke MK tanpa melihat terlebih dahulu fakta politik dan fakta yuridis yang ada adalah sebuah utopia. Lagi pula, tidak mungkin seorang presiden atau wakil presiden secara sukarela menyatakan lebih baik diadili di MK saja. Harus diingat, untuk sampai ke MK, harus ada tuduhan dari DPR bahwa presiden/wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum. Dalam konteks Century, yang paling mungkin adalah tuduhan telah melakukan tindak pidana korupsi. Pertanyaannya, siapa yang mau dituduh korupsi kendati hal tersebut hanya sebatas tuduhan yang akan dibuktikan di forum MK.
Oleh karena itu, yang paling realistis adalah bergerak dari kertas kerja DPR sendiri, yaitu rekomendasi yang telah dihasilkan. DPR telah merekomendasikan penyelesaian kasus ini di ranah hukum. Ranah hukum itulah yang mesti didorong dan diawasi, baik di kepolisian, kejaksaan, maupun di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Harapan bisa diletakkan di pundak KPK karena ia satu-satunya lembaga penegak hukum yang independen dalam ranah ketatanegaraan kita. Polisi dan jaksa secara struktural berada di bawah kekuasaan eksekutif sehingga patut diragukan independensinya.
Andai KPK menemukan fakta tentang keterlibatan nama-nama pejabat yang selama ini disebut, katakanlah Boediono dan Sri Mulyani, hal tersebut akan menjadi trigger bagi proses politik lanjutan yang seolah menemui jalan buntu pascakemenangan opsi C dalam paripurna DPR.
Terhadap Wapres Boediono, terbuka kemungkinan dimakzulkan karena fakta KPK dapat digunakan untuk mendesak DPR menggunakan hak menyatakan pendapat. Fraksi atau kelompok di DPR yang menolak akan menjadi public enemy. Pada titik ini, bisa saja Demokrat balik badan mendukung penggunaan hak menyatakan pendapat, seperti ketika mereka mendukung penggunaan hak angket di injury time.
Terhadap Sri Mulyani, apabila fakta hukum yang ditemukan KPK menyatakannya terlibat, Presiden Yudhoyono dapat didesak untuk segera menonaktifkan atau bahkan memberhentikan. Dalam pidato menanggapi hasil Pansus, 4 Maret lalu, jelas Yudhoyono bergeming dengan posisi awal bahwa tidak ada yang salah dengan bail out Century dan Boediono-Sri Mulyani adalah pembantu terbaik dengan record yang baik pula. Dalam bahasa yang lugas, Yudhoyono sebenarnya menantang DPR.
”DPR boleh mengatakan bail out Century melanggar hukum, tetapi saya tidak. Mau apa DPR!” begitulah yang ingin dikatakan SBY. Pertarungan politik ini tidak akan pernah berujung, sampai fakta hukum memberitakan yang salah dan yang benar. Karena itu, ketimbang berutopia bahwa semua kekuatan politik setuju membawa masalah ini ke MK, lebih baik menunggu saja hasil kerja KPK. Hasil kerja KPK inilah yang mudah-mudahan dapat membangkitkan energi politik DPR untuk kembali pada trek politik pemakzulan melalui penggunaan hak menyatakan pendapat, tentu dengan tetap berpegang pada asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), bukan presumption of guilty.
Refly Harun Pengamat Hukum Tata Negara Centre for Electoral Reform (Cetro)


Opini Kompas 11 Maret 2010