10 Maret 2010

» Home » Suara Merdeka » UNS dan Godaan Kapitalisme

UNS dan Godaan Kapitalisme

UNIVERSITAS Sebelas Maret (UNS) Surakarta hari ini berulang tahun ke-34. Selain puja-puji untuk pencapaian sejumlah prestasi di level nasional dan internasional, beberapa pandangan kritis patut menjadi catatan.

Salah satu kritik yang mencuat dari diskusi alumni muda UNS adalah munculnya godaan kapitalisme pendidikan. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari pemberlakuan UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP).


 Antisipasi, selambat-lambatnya empat tahun ke depan, Pasal 65 Ayat 2, terkait pendanaan lembaga yang telah berstatus BHP, ternyata dipandang beberapa kalangan sebagai upaya kapitalisme pendidikan.

Secara normatif, apa yang dikehendaki oleh UU BHP adalah untuk memberikan pelayanan pendidikan formal kepada peserta didik (Pasal 2), tujuannya memajukan pendidikan nasional dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dan otonomi perguruan tinggi pada jenjang pendidikan tinggi (Pasal 3).

Sayangnya konsep otonomi perguruan tinggi, ditanggapi seakan-akan semua urusan lembaga pendidikan pencetak sarjana dan diploma tersebut menjadi lepas sepenuhnya dari tanggung jawab pemerintah.

Dalam hal lepas tanggung jawab ini meliputi soal pembiayaan, karena menurut Pasal 40 Ayat (5) disebutkan bahwa dana dari pemerintah sifatnya hibah, bukan dana operasional seperti yang diterimakan selama ini.

Sampai waktu UNS benar-benar menjadi BHP statusnya masih menjadi Badan Layanan Umum (BLU) yang pembiayaan operasional pendidikan utamanya masih bergantung pada APBN.

Sejumlah program penjaringan dana melalui berbagai usaha ekonomi pun dirintis, agar pada empat tahun ke depan, saat UU tersebut benar-benar diberlakukan di lembaga pendidikan tinggi, sumber dana yang dibutuhkan sebagai biaya operasional benar-benar siap.
Kapitalisme Pendidikan Pasal 4 Ayat 1 UU itu menyebutkan pengelolaan dana secara mandiri oleh badan hukum pendidikan didasarkan pada prinsip nirlaba, yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya tidak mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan badan hukum pendidikan, harus ditanamkan kembali ke dalam badan hukum pendidikan untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan.
Dilematis Ayat ini dibuat sedemikian rupa seolah-olah dalam konsep nirlaba tersebut tidak ada pihak yang diuntungkan ataupun dirugikan secara finansial. Padahal secara langsung atau  tidak, konsep BHP ini menempatkan lembaga pendidikan tinggi pada posisi dilematis. Pada satu, sisi institusi pendidikan itu ’’dipaksa’’ kreatif dalam mengupayakan sumber pendanaan yang tidak mengandalkan hibah dari pemerintah.

Selain memungut biaya pendidikan dari mahasiswa sebesar-besarnya sepertiga dari seluruh biaya operasional, insititusi harus membuat suatu badan usaha ekonomi produktif yang secara berkesinambunganmampu menjadi sumber utama pembiayaan operasional.

Pada sisi ini, lembaga pendidikan seolah-olah menjadi badan usaha yang melakukan kapitalisasi modal yang tidak jauh berbeda dari badan usaha secara umum. Hal ini berdampak sistemik pada kewajiban mahasiswa untuk membayar biaya pendidikan lebih banyak setiap tahunnya.

Pada sisi yang lain, lembaga pendidikan tinggi bekerja pada wilayah pelayanan publik, orientasi profit menjadi tabu untuk dibicarakan. Semangat melayani masyarakat sebagai wujud peran serta aktif dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa adalah semangat yang pertama dan utama yang menjadi alasan lembaga pendidikan tinggi ini didirikan.

Secara serampangan, munculnya perbenturan kepentingan menjadi hal yang tidak bisa dielakkan. Bagaimana mungkin pendidikan punya tujuan meraih keuntungan, meskipun sisa hasil usaha (meminjam istilah yang digunakan UU BHP) tersebut harus ditanamkan lagi untuk meningkatkan kinerja pelayanan pendidikan tersebut? (10)

— Anhar Widodo, alumnus Ilmu Komunikasi UNS, sedang menempuh Program Pascasarjana di Program Studi Kajian Budaya dan Media UGM

Wacana Suara Merdeka 11 Maret 2010