Keterangan resmi pemerintah yang menunjuk hubungan antara Aceh dan penyergapan mematikan terhadap Dulmatin di Pamulang (Kompas.com, 10/03/2010) mematahkan anggapan itu. Aksi terorisme masih berbahaya.
Pejabat keamanan menghubungkan perkembangan ancaman terbaru dengan Dulmatin dan Umar Patek, pentolan teroris paling dicari di Asia Tenggara bertahun-tahun. Pesannya jelas, kelompok ini masih jadi ancaman di kawasan ini. Sasaran yang dituju tampaknya Jemaah Islamiyah (JI), sempalannya, atau organisasi terkait. Aparat keamanan di wilayah ini menganggap tingkat bahaya sedang naik, seperti juga dilaporkan intelijen Singapura tentang ancaman teror di Selat Malaka.
Laporan-laporan resmi menyebut JI organisasi jaringan teroris berbasis luas di Asia Tenggara. Meski tak mengontrol wilayah tertentu sebagai basis tetap operasi, JI dipercayai bergerak di Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. JI juga dianggap sebagai tandem Al Qaeda di wilayah ini sehingga PBB menyebutnya sebagai organisasi teroris internasional.
Sejak George W Bush meluncurkan Global War on Terror di bawah hegemoni Amerika Serikat sesudah serangan 9/11, JI dimasukkan sebagai musuh utama di Asia Tenggara. Kawasan ini dianggap second front perang melawan terorisme kendati sejumlah ahli mempersoalkan relevansi sebutan itu karena konteks historis, sosial, dan politik wilayah ini berbeda dengan Timur Tengah, misalnya. Pemerintah di kawasan ini, khususnya Indonesia, di bawah dukungan AS dalam bentuk latihan, peralatan, dan keuangan, lantas bekerja keras memerangi aksi terorisme.
Ada dua hal terkait terorisme di Indonesia yang perlu diperhatikan. Pertama, pengetahuan kita mengenai aksi terorisme sangat terbatas. Studi tentang terorisme di Indonesia dan Asia Tenggara didominasi studi berbasis pendekatan tradisional, yang bersandar ke studi keamanan ortodoks dan studi tentang counter-insurgency. Studi semacam ini cenderung membatasi asumsi tentang sifat, penyebab, dan jalan keluar terhadap terorisme dengan bersandar pada negara. Problemnya, pengetahuan yang dihasilkan patut diperdebatkan karena kerap tak ditunjang data empiris kuat (Jakcson, 2007) dan dangkal.
Kelemahan karya-karya akademik tentang terorisme, khususnya tentang JI, pernah dipersoalkan oleh Hamilton-Hart (2005). Dia mengingatkan kualitas informasi dan penyederhanaan aksi terorisme sebagai masalah patologi pelakunya. Banyak studi yang dihasilkan ahli terorisme dipenuhi catatan kaki bersumber dari BAP polisi, dakwaan jaksa, pembelaan di pengadilan, keputusan hakim, dan laporan intelijen, tanpa investigasi konteks historis secara lebih luas.
Ini diperburuk pemberitaan media mainstream yang secara berulang menerbitkan dan menyiarkan berita dengan bersandar pada laporan-laporan itu atau mengembangkan wawancara dengan pejabat keamanan yang dianggap memiliki otoritas. Masalah pokoknya, menurut Lafree & Dugan (2007), data pemerintah sarat pertimbangan politik tentang terorisme. Studi semacam itu akan terjebak dalam apa yang oleh Herman & O’Sullivan (1989) dianggap bagian industri terorisme Dengan aktor beragam, seperti pejabat dan lembaga pemerintah, lembaga penelitian, analis, perusahaan keamanan swasta, industri ini sebenarnya bekerja melayani kepentingan pasar.
Kedua, dengan basis pengetahuan seperti itu, kelemahan berikutnya adalah penyelesaian aksi terorisme oleh pemerintah yang mengandalkan pendekatan ”perang” semata. Hasilnya, penyergapan mematikan, penjara, surveillance, dan pendekatan karitatif dalam pemulihan eks-teroris ternyata tidak mengakhiri ancaman terorisme. Perlu studi komprehensif yang menghindar dari anggapan bahwa kekerasan sebagai sesuatu yang endemik di dalam ajaran agama dan hanya terjebak mengurai jejaring para aktor teror.
Sebaliknya, kita memusatkan perhatian pada lingkungan politik dan ekonomi dalam kurun waktu tertentu di mana tindakan-tindakan teroris berlangsung. Fakta bahwa banyak di antara pimpinan JI terlibat dalam perang mujahidin di Afganistan pada 1980-an memberi isyarat, radikalisme disertai kekerasan yang muncul sesudahnya, kuat berakar di Perang Dingin. Para mujahidin, termasuk Bin Laden, yang ambil bagian dalam perang kontra-revolusi di negeri itu diagung-agungkan Ronald Reagan sebagai pahlawan. Perubahan setelah Perang Dingin, konteks ekonomi dan politik terorisme global bisa diinvestigasi.
Penerapan neoliberalisme terutama lewat instrumen perang imperialis AS di Irak telah menyuburkan sentimen global melalui serangan teroris yang saling terkait. Di Indonesia, retorika anti-AS memperoleh lahan subur, sebagian tersalur lewat aksi terorisme dan ketidakpuasan terhadap imperialisme diungkapkan lewat perang berjubah agama. Soal global ini berbaur dengan proses exclusion secara politik dan ekonomi dalam 10 tahun ini. Terjadinya restorasi kelas, di mana proses pengerukan kekayaan tak saja terjadi lewat akumulasi kekayaan ke tangan segelintir orang, tetapi juga ke negara kaya, menimbulkan ketidakpuasan meluas. Kemiskinan, pengangguran, tersingkir secara sosial dan politik, jadi pemicu bangkitnya ilusi kekerasan berdalih agama.
Pemerintah perlu mengubah pendekatan pemberantasan terorisme dari pendekatan ”perang” semata ke perubahan kebijakan ekonomi politik mendasar. Salah satu yang mendesak adalah pemerintah harus bisa mengatakan hal berbeda kepada AS dalam hubungan dengan perang Irak ataupun Afganistan sebagai akar dari aksi-aksi terorisme. Kunjungan Obama mestinya dimanfaatkan untuk menyampaikan nota politik baru tentang itu, bukan terjebak diplomasi datar, melaporkan ”keberhasilan” memerangi terorisme, apalagi sekadar untuk pencitraan politik.
Opini Kompas 11 Maret 2010