Setelah 44 tahun dikeluarkan, naskah autentik Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar belum ditemukan sampai hari ini.
Dokumen yang ada pada Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) terdiri atas beberapa versi dengan sejumlah perbedaan.
Hal ini sangat memprihatinkan karena arsip ini sebetulnya memiliki nilai yang sangat penting dalam sejarah pemerintahan Indonesia era Orde Baru. Surat itu yang memberi kewenangan tidak terbatas bagi Mayor Jenderal Soeharto (”mengambil segala tindakan yang dianggap perlu”) pada situasi kritis saat peralihan kekuasaan pasca-Gerakan 30 September (G30S).Kasus ini menyadarkan kita bahwa bangsa Indonesia belum menghargai pentingnya arsip. UU Kearsipan tahun 1971 sudah menegaskan, barang siapa yang menyimpan arsip negara dan tidak menyerahkan kepada ANRI dapat dihukum penjara maksimal 10 tahun. Namun, sampai sekarang belum ada pihak yang menyerahkan dokumen Supersemar yang teramat penting itu.
Dalam mengabadikan perjalanan sejarah bangsa dari masa ke masa dan sejalan dengan kemajuan teknologi informasi, bentuk arsip yang tersimpan pada ANRI tak hanya berbentuk konvensional (tekstual dan kartografik), melainkan juga dalam bentuk media baru (film, video, rekaman suara, foto, mikrofilm, dan format lainnya).
Arsip, selain menjadi catatan sejarah, dapat pula dijadikan barang bukti di pengadilan. Pada masa pendudukan Jepang, orang-orang (indo) Belanda pergi ke kantor arsip untuk mengetahui asal-usul keturunannya. Mereka bisa bebas dari tawanan Jepang jika dapat menunjukkan bukti keturunan orang Indonesia meski bukan dari hasil pernikahan. Arsip dapat jadi bukti apabila terjadi sengketa batas suatu daerah di Tanah Air.
Bukan sekadar bukti autentik tentang seorang tokoh, suatu lembaga, atau sebuah peristiwa, arsip juga sekaligus menjadi bahan utama penulisan sejarah. Kita dapat menulis suatu aspek dari peralihan kekuasaan tahun 1998 dengan membandingkan arsip tulisan Presiden Soeharto dengan ketikan dari Sekretariat Negara. Banyak penulis yang keliru menganggap Presiden Soeharto mengundurkan diri pada bulan Mei 1998. Saat itu Soeharto hanya menulis dengan tulisan tangan ”Sesuai dengan Pasal 8 UUD ’45, maka Wakil Presiden Republik Indonesia Prof Dr BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden Mandataris MPR 1998-2003. Atas bantuan dan dukungan rakyat selama saya memimpin negara dan bangsa Indonesia ini, saya ucapkan terima kasih dan minta maaf bila ada kesalahan dan kekurangannya. Semoga bangsa Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan UUD ’45-nya.”
Sementara itu pada naskah Sekretariat Negara yang dibacakan Soeharto pada 21 Mei 1998, tertulis beberapa pertimbangan yang menyebabkan dia mengambil keputusan ”berhenti dari jabatan Presiden”.
Dari wawancara dengan Yusril Ihza Mahendra, diketahui bahwa opsi ”berhenti dari jabatan Presiden” itu diambil agar keputusan Soeharto tak tergantung kepada MPR. Seandainya mengajukan permohonan mengundurkan diri, tentu ia perlu menyampaikan laporan di depan sidang MPR.
Perlu didorong munculnya kesadaran sejarah dari perorangan, lembaga, masyarakat, dan instansi pemerintahan. Arsip personel/keluarga seorang tokoh nasional sejauh menyangkut hal-hal yang perlu diketahui umum seyogianya diserahkan kepada ANRI. Keluarga Bung Karno, dalam hal ini Rachmawati Soekarnoputri, memiliki arsip-arsip mengenai hari-hari terakhir Presiden Soekarno; terutama mengenai perawatan beliau sebelum wafat. Terdapat beberapa bundel catatan perawat dari hari ke hari mengenai perkembangan kesehatan Sang Proklamator, termasuk penanganan medis yang dilakukan serta obat yang diberikan. Semua memperlihatkan bahwa mantan Presiden RI pertama itu tidak dirawat sebagai semestinya. Sebaiknya pimpinan ANRI menghubungi putri Bung Karno tersebut agar arsip yang penting itu (sungguhpun amat menyedihkan) dapat disimpan di tempat yang tepat dan aman.
Arsip mengenai pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah perlu disimpan dengan baik sehingga dapat menjadi bahan bagi penulisan tentang sejarah demokrasi di Tanah Air. Dalam sebuah seminar di ANRI, saya mengetahui bahwa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tampaknya satu organisasi politik yang sangat peduli tentang pentingnya arsip partai. Diimbau agar masing-masing partai menyerahkan arsip statis yang mereka miliki kepada ANRI. Selain itu tentu saja semua Kementerian seyogianya melakukan hal yang sama. Saya sering bertanya apakah kita miliki arsip tentang diplomasi mengenai Timur Timur?
Akhirnya, sebaiknya dipikirkan betapa ANRI tidak lagi membawahi arsip nasional yang berada di sejumlah provinsi. Pengelolaan oleh provinsi tidak menjamin pelestarian arsip lama dan penambahan arsip baru.
Opini Kompas 11 Maret 2010