10 Maret 2010

» Home » Jawa Pos » Ingin Bangga Jadi Orang NU

Ingin Bangga Jadi Orang NU

"Afdolnya, ketua umum PB NU bukan dari kalangan politisi." Itu kata Mas Karso Wachidi, orang Cilacap, Jawa Tengah. Menurut warga NU yang amat setia itu, hanya orang yang punya semangat mengembangkan pemberdayaan masyarakat yang bisa mengubah gerakan NU yang sekarang melempem ini. Masih kata Mas Karso, selama ini arah gerakan NU lebih berorientasi elitis, mengerucut ke atas, melayani kepentingan para elite. Padahal, seharusnya gerakan NU berorientasi populis, melebar ke bawah untuk menyejahterakan umat. Kalau tidak terjadi perubahan orientasi itu, NU akan tetap seperti sekarang; mati tidak, hidup juga tidak. Dengan begitu, kondisi warganya akan tetap serba tertinggal.

"Menjadi orang NU saat ini tidak ada bangga-bangganya, malah sebaliknya, malu! Sebab, lembaga maupun warga NU sudah tercitra sebagai entitas yang ketinggalan zaman, terpecah-belah, dan lebih dimainkan untuk mendukung kepentingan kekuasaan para tokoh dan pemimpinnya. Saya ingin tidak malu lagi jadi orang NU. Tolong sampaikan perasaan saya ini kepada mereka yang di atas; percayakan kepemimpinan NU kepada orang yang benar-benar ingin berkhidmah kepada umat. Orang seperti ini bisa melihat alamat Allah pada wajah umat yang bodoh, dibodohi, miskin dan dimiskinkan. Dan itu jelas bukan dari kalangan politisi."

***

Mas Karso adalah warga NU biasa. Kondisi ekonomi keluarganya pas-pasan. Pekerjaannya pun tidak tetap. Kelebihan Mas Karso hanya pada kesetiaannya terhadap NU yang luar biasa, tahan banting. Namun, penilaian dan harapannya tadi tidak mungkin diabaikan. Mas Karso telah mengemukakan dan menggugat sesuatu yang sangat mendasar. Karena amat mendasar, bila gugatan itu tidak dipenuhi, NU akan kehilangan masa depan. Dan bisa dipastikan gugatan Mas Karso sesungguhnya mewakili suara hati banyak warga NU di tingkat akar rumput yang ingin bangga dan tidak lagi malu menjadi warga nahdliyin.

Menurut alur pikir Mas Karso, kebanggaan menjadi warga NU mungkin terwujud hanya bila organisasi massa ini meninggalkan orientasi elitis dan berbalik 180 derajat menjadi berorientasi populis atau keumatan. Dengan orientasi itu, agenda-agenda untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan nyata umat harus menjadi prioritas utama. Masalah-masalah sosial yang membelit umat seperti pendidikan, kesehatan, pengembangan ekonomi dan SDM akan menjadi agenda nomor satu. Pada sisi lain, kegiatan-kegiatan ritual-simbolik yang ternyata juga menyerap banyak sumber daya umat bisa dikurangi sampai ke titik yang lebih proporsional.

Tentulah banyak warga nahdliyin yang setuju dengan pikiran Mas Karso, termasuk saya. Tapi, realitasnya hingga saat ini NU tetap berorientasi elitis dengan segala akibat negatifnya yang terlihat jelas. Pemenuhan kebutuhan umat akan sekolah yang baik, rumah sakit, koperasi, pendampingan di bidang pertanian masih sangat minim. Semua itu gara-gara NU tetap berorientasi ke atas. Hal tersebut mengingatkan saya kepada ucapan Gus Dur kepada saya pada sekitar 1996. Saat itu Gus Dur bilang kepada saya, "Bila NU tidak bisa memberikan manfaat nyata kepada umat dan hanya digunakan untuk membela kepentingan para elitenya, saya akan mengambil jarak dari kepengurusan."

***

Kenyataan yang terbukti membuat NU makin payah ini pernah saya diskusikan dengan Mas Karso.

"Mas, membalik orientasi NU ke arah kemaslahatan umat memang bagus. Tapi, apa hal itu mungkin dan tidak akan menjadi retorika belaka?" tanya saya.

"Kenapa tidak mungkin?"

"Mari kita renungkan. Dari namanya saja, NU sudah cenderung elitis. Bukankah NU berarti kebangkitan para ulama dan ulama adalah kelompok elite di kalangan umat? Dengan demikian, NU juga milik para ulama. Maka, NU mau diberi orientasi ke mana pun adalah hak si pemilik. Umat hanya menempati posisi objek yang harus taat saja. Iya kan?"

Mata Mas Karso terbelalak. Dia mengusap-usap dahi dan wajahnya tampak gagap.

"Sampean benar dan itulah kenyataannya. Tapi, nanti dulu. Dalam hal keagamaan, umat memang wajib taat kepada pemimpin, dalam hal ini para ulama. Itu kewajiban umat yang sudah jadi harga mati. Tapi, NU adalah sebuah organisasi massa. Jadi, kepentingan dan kesejahteraan umat itulah, yang utama. Dan itu menjadi kewajiban harga mati para pemimpin.

"Jelasnya begini," sambung Mas Karso. "Saya meyakini NU adalah kendaraan umum buatan para ulama-mukhlisin (ulama yang ikhlas, Red), disopiri para ulama-mukhlisin untuk mengangkut umat..."

"Ke mana?" potong saya.

"Ya, mestinya bukan ke arah yang lain -kepentingan para pemilik untuk meraih kekuasaan misalnya- tapi ke arah kemaslahatan umat. Yang dituju oleh NU mestinya masyarakat nahdliyin yang maju pendidikannya karena dulu para ulama sudah membangun lembaga tasfirul afkar; yang maju ekonominya karena semangat nahdlatut tujar, serta yang maju jiwa kebangsaannya karena semangat nahdlatul wathan. Bila NU dibawa atau dipakai untuk mencapai kekuasaan, siapa yang membawanya? Ulama atau bukan ulama?"

Saya diam dan senyum.

"Kendaraan NU buatan para ulama-mukhlisin harus diarahkan menuju kemaslahatan umat," tegas Mas Karso.

"Dan itu hanya mungkin dicapai bila NU dipimpin oleh orang yang bisa menangis ketika melihat keterbelakangan umat dan pemimpin seperti itu pasti bukan dari kalangan politisi?" tanya saya mengulang.

Saya melihat Mas Karso mendesah panjang.

"Sebenarnya tidak demikian benar. Politikus, kalau dia juga negarawan, tentu bisa merasa terharu ketika melihat jutaan umat yang miskin, bodoh, dan sakit-sakitan. Masalahnya, masih adakah politikus-negarawan saat ini. Tidak! Politikus Indonesia saat ini adalah kaum yang kemaruk dan manja, pragmatis semua, dan selalu bermimpi tentang kejayaan diri. Umat dinomorsekiankan."

"Baik, Mas Karso, saya setuju. Dengan demikian, siapa pilihan sampean untuk calon rais am dan ketua umum PB NU?"

"Ah, saya kan tidak punya hak memilih. Walaupun begitu, saya punya kriteria. Yakni itu tadi; siapa saja yang bisa membuat kita tidak lagi merasa malu menjadi orang NU, silakan memimpin NU dan kita dukung. Mereka haruslah orang yang bisa melihat kemiskinan dan kebodohan umat sebagai alamat Allah. Dan kepada falah yang diridai Allah-lah, mereka akan membawa kita," jawab Mas Karso dengan mata menyala-nyala.

*). Ahmad Tohari, budayawan
Opini Jawa Pos 11 Maret 2010