10 Maret 2010

» Home » Suara Merdeka » Supersemar Refleksi Ubah Orientasi

Supersemar Refleksi Ubah Orientasi

Kegagalan yang terjadi di Indonesia dan banyak negara berkembang adalah munculnya oligarkhi kekuasaan, negara dikuasai sekelompok orang:
penguasa dan pengusaha

SURAT Perintah Sebelas Maret (Supersemar) biasa dimaknai sebagai tonggak perubahan pemerintahan dari Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto, meski sebenarnya apa yang tertera dalam surat tersebut sekarang ini masih diselimuti oleh misteri. 

Tetapi yang terjadi senyatanya adalah kiblat pengelolaan negara mengalami perubahan dari sistem yang cenderung kepada sosialis berubah kepada sistem yang cenderung kepada pasar bebas. Sistem pasar bebas yang dikenal dengan kapitalisme yang terbentuk  tidak seperti yang terjadi di negara asalnya Inggris, tetapi menurut Kunio (1987) yang berkembang kapitalisme semu (ersatz) atau ada yang menyebutnya kapitalisme kroni (pertemanan).

Sistem pasar bebas yang dalam buku teks ekonomi dimotori oleh Adam Smith, di negara asalnya, Inggris berkembang karena tuntutan zaman supaya terdapat keunggulan bersaing dengan negara lainnya, maka persaingan harus digenjot secara besar-besaran dengan campur tangan yang minim dari pemerintah. Pemerintah pada waktu itu hanya berfungsi sebagai wasit yang menjaga supaya prinsip persaingan jangan dilanggar.

Keberhasilan Inggris pada waktu itu disebabkan teknologi belum begitu berkembang, sehingga Inggris dikenal sebagai negara pelopor revolusi industri. Inggris memperjuangkan sistem perdagangan bebas di dunia internasional karena posisinya sebagai pengendali berbagai negara lainnya. Adanya kenyataan ini sangatlah logis karena yang kuat dan pandai akan menguasai yang lemah dan bodoh, dengan berbagai cara yang bisa dilakukan.


Berbagai negara lainnya kalau tidak mengadakan perlawanan, maka secara hukum besi persaingan bebas akan dikuasai oleh negara yang berjaya, pada waktu itu Inggris. Budiman (1990) dengan sangat baik menggambarkan berbagai negara lain mengadakan perlawanan yang gigih.

Jerman, misalnya menghadapi ekspansi barang-barang industri dari Inggris, dengan melakukan langkah proteksi untuk melindungi industri dalam negeri yang masih lemah. Campur tangan negara harus ada utamanya dalam membangun industri yang tidak kalah dari Inggris, di mana dibutuhkan bank dan fasilitas pemerintah untuk menghimpun modal serta kemudahan-kemudahan perpajakan demi membantu industri muda di dalam negeri yang baru tumbuh.

Strategi pembangunan yang dilakukan oleh Jerman khususnya oleh Dieter Senghaas disebut selective dissociation atau selective delinking. Strategi ini pada dasarnya berusaha untuk menutup diri secara selektif dan sementara demi memperkuat ekonomi dalam negeri. Sektor pertanian yang diperkuat dulu untuk menumbuhkan daya beli rakyat secara merata, sambil memperkuat sektor industri. Setelah merasa cukup kuat dan dapat bersaing di dunia internasional, Jerman mengintegrasikan diri lagi ke dalam sistem ekonomi global.
Momen Tepat Kegagalan yang terjadi di Indonesia dan banyak negara sedang berkembang adalah munculnya oligarkhi kekuasaan di mana negara dikuasai oleh sekelompok orang yang terdiri atas penguasa dan pengusaha (pedagang). Mereka bekerja sama saling menguntungkan untuk menjalankan roda pemerintahan, yang secara tidak langsung terperangkap oleh hegemoni negara maju.

Bantuan asing diberikan dalam rangka penguasaan negara lain dengan memakai strategi budaya, di mana disengaja dibiarkan bantuannya dikorupsi supaya tidak dapat melunasi utangnya. Ketika sudah tidak dapat melunasi utangnya, tinggal sebagai kompensasinya harus menurut kemauan pemikiran negara maju dan sumber dayanya yang begitu melimpah dikuasainya. Tentunya penguasaan ini tetap dibarengi dengan utang baru, yang lagi-lagi penggunaannya terjadi penyelewengan yang besar.

Ketika sistem tersentralisasi pihak yang paling diuntungkan adalah yang dekat dengan kekuasaan pusat. Tetapi ketika desentralisasi sudah dijalankan, maka pihak yang diuntungkan lebih meluas lagi dalam pengertian pihak-pihak yang dekat dengan para pimpinan daerah. Adanya kenyataan yang terjadi ini, intinya sebenarnya tetap akan tetapi kulit luarnya saja yang berbeda.

Kalau pada zaman Orde Baru yang sistem pemerintahannya tersentralisasirmenurut Begawan Ekonomi Sumitro Djojohadikusumo diduga korupsi mencapai sekitar 30 persen dari anggaran pemerintah. Meski sekarang ini belum ada penelitian yang mendalam, korupsi masih tetap saja tinggi, bahkan menyebar ke berbagai daerah.

Tindakan salah bisa saja sudah menjadi benar karena telah membudaya. Akibatnya, pandangan orang lebih tertuju kepada materi yang dipunyai oleh seseorang, bukan pada bagaimana cara memperolehnya. Cara pandang seperti ini sangatlah membahayakan dilihat dari sudut pandang agama, moralitas ataupun lainnya, yang pada akhirnya akan mengkutub pada rusaknya perikehidupan berbangsa dan bernegara.

Tanggal 11 Maret 2010 ini yang diperingati sebagai lahirnya Supersemar dapat dimaknai perlunya adanya perubahan dalam cara pandang yang jernih dalam melihat persoalan nasib Indonesia ke depan. Kalau mau tetap eksis sebagai bangsa dan negara yang merdeka maka perlu dikembangkan paradigma yang memihak kepada rakyat kebanyakan.

Secara hukum besi persaingan bebas memang negara kuat  akan menguasai negara lain yang tidak mampu mengadakan perlawanan.  Jerman adalah gambaran contoh negara yang dapat mengatasi persoalan kemauan Inggris yang akan menjadikan sebagai jajahannya, ternyata dapat melawannya, dan akhirnya mengimbanginya.

Momen sekarang kita harus bangkit cancut tali wandha, yakni  pemimpin Indonesia yang secara budaya sebagai cermin dan anutan kebanyakan harus berani membawa kepada kemajuan, di mana antara ucapan dan perilaku haruslah selaras dan serasi.

Ekonomi rakyat sebagai konsep ampuh ala Indonesia harus dapat direalisasi. Seperti halnya Jerman yang waktu itu memperkuat pertaniannya terlebih dahulu sembari  membangun industrinya, maka pembangunan industri di Indonesia hendaknya berbasis kepada agroindustri di perdesaan. Perhatian yang lebih dari pemerintah dalam hal pembiayaan melalui perbankan, keringanan perpajakan, dan pembangunan infrastruktur yang memadai harus dapat terwujud.

Bank tani yang sudah ada pada berbagai negara lain, keberadaannya di Indonesia tetap terkendala karena peraturan perbankan yang terlalu mematok pencapaian target, tanpa memperhatikan nasib kebanyakan petani yang lemah dalam segala hal, utamanya aspek finansial.

Belum lagi sumber daya alam yang dipunyai Indonesia meskipun sudah berkurang, masih tetap menjanjikan. Olahlah sumber daya alamnya secara profesional, di mana besarnya biaya pengolahan begitu tinggi  karena banyaknya pemburu rente harus dapat dihilangkan. Kalau berbagai negara Amerika Selatan dapat sukses sekarang ini dalam mengelola sumber daya alamnya dengan meninjau kembali kontrak yang telah dilakukan, mestinya Indonesia pun harus mampu untuk melakukan langkah yang menguntungkan rakyat banyak.

Kolusi antara penguasa dan pengusaha yang begitu merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta melestarikan banyaknya kemiskinan, pengangguran, ketimpangan dalam distribusi pendapatan, kerusakan lingkungan hidup maupun patologi sosial. Belum lagi dalam jangka panjang akan membahayakan NKRI, harus segera diakhiri dengan direalisasikan suatu undang-undang yang mengatur secara rinci bagaimana memisahkan peran penguasa dan pengusaha. Ketaatan terhadap hukum merupakan syarat mutlak untuk menuju kepada kemajuan berbangsa dan bernegara, yang harus sejajar dengan bangsa dan negara lain.

Masalahnya dapatkah para pemimpin di Indonesia sekarang ini mengubah paradigmanya sebagai pelayan rakyat kebanyakan. Seperti dinyatakan oleh Endraswara (SM, 07/03/10) bahwa kawula alit hampir tiap menit disuguhi play of power. Drama kekuasaan yang obah owah. Aktor-aktornya para pemimpin (gembong) dan sutradaranya orang yang haus naluri. Tetapi semestinya momen Supersemar sekarang ini perlu adanya perubahan kekuasaan di mana rakyat kecil kebanyakan harus menjadi prioritas utama, dan kalau tidak bisa, entah apa yang terjadi.(10)

— Purbayu Budi Santosa, guru besar Fakultas Ekonomi Undip, yang tertarik dengan ekonomi kelembagaan

Wacana Suara Merdeka 11 Maret 2010