30 Maret 2010

» Home » Suara Merdeka » Keberanian dari Kota Pekalongan

Keberanian dari Kota Pekalongan

MUNGKINKAH fenomena calon tunggal harus terjadi dalam pilkada di Kota Pekalongan? Sampai sekarang belum ada kepastian karena masih dalam proses pengambilan formulir oleh calon perseorangan dan dari parpol (19 Maret - 20 April 2010).

Meski sekarang ada satu pasang calon yang menyampaikan du-kungan ke KPU Kota Pekalongan yaitu Supriyadi SH MPd - Drs H Abdul Kholiq, yang sudah memenuhi syarat minimal punya 15.405 dukungan, pasangan itu masih harus melalui proses verifikasi.


Seandainya pasangan itu lolos, kemudian pasangan incumbent  Wali Kota dokter HM Basyir Ahmad dan Wakil Wali Kota H Abu Almafachir yang diusung Partai Golkar kembali mendaftar, ditambah calon dari parpol lain, dipastikan tidak terjadi calon tunggal sehingga pilkada bisa berlangsung sesuai rencana, yaitu 16 Juni 2010.

Mengapa ada kekhawatiran munculnya calon tunggal? Pasal 61 Ayat (1) UU Nomor 32  Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan pasangan calon tidak boleh tunggal (minimal dua pasang). Hal ini berbeda dari pilkades yang lalu, yang membolehkan, walaupun hanya melawan kotak kosong.

Di Jateng tahun ini ada 17 daerah menggelar pilkada, 6 di antaranya digelar April 2010 ,yaitu Kota Pekalongan, Semarang, Surakarta, Ka-bupaten Kebumen, Purbalingga,dan Rembang. Namun Kota Pekalongan gagal melaksanakan  sesuai jadwal dan menundanya sampai 16 Juni karena sampai hari terakhir pendaftaran, baru ada satu pasang calon.

Fenomena calon tunggal di Kota Pekalongan sudah terlihat sejak awal. Hal itu ditandai dengan tidak adanya gambar, spanduk dan sebagainya, termasuk iklan di media massa, terkait dengan calon tersebut. Memang banyak beredar di masyarakat nama calon dari parpol ataupun perseorangan, namun sampai batas terakhir pendaftaran 13 Februari hanya satu pasangan yang mendaftar, yaitu pasangan  incumbent.

Ada beberapa alasan yang menyebabkan munculnya calon tunggal. Pertama; kejenuhan mengingat jarak waktu antara pilkada dan pilpres relatif dekat. Kedua;  calon yang maju adalah incumbent yang dikenal masyarakat, ataupun alasan strategi politis sehingga parpol lain enggan mencalonkan.

Padahal, beberapa parpol ataupun gabungan parpol serta perseorangan memiliki kesempatan sama untuk mencalonkan. Sesuai hasil pileg tahun 2009, dari 30 kursi di DPRD  Partai Golkar menempatkan 8 kursi, PAN (5), PDIP (4), PPP (4), PKB (3), PKS (2), Demokrat (2), PKNU (1), dan Partai Gerindra (1).

Dari angka itu, sebenarnya ada dua parpol memenuhi persyaratan minimal 15% dari kursi DPRD untuk mengajukan pasangan calon yaitu Golkar dan PAN, sedangkan yang lainnya harus berkoalisi.

Memang masyarakat (calon-Red) di beberapa daerah ada yang “takut’’ menghadapi calon incumbent, meski tidak semua daerah dimenangi pejabat lama tersebut. Misalnya di Wonosobo dimenangi incumbent wakil bupati. Demikian juga di Kabupaten Pekalongan. Sedang-kan di Demak dimenangi  oleh sekda, di Rembang dimenangi tokoh masyarakat yang diajukan parpol.
Diperpanjang Di Banyuwangi Jawa Timur dimenangi tokoh masyarakat yang diajukan parpol nonkursi di DPRD, dan di Garut Jawa Barat dimenangi oleh pasangan calon independen/perseorangan. Contoh daerah yang dimenangi incumbent wali kota/bupati antara lain Kota Semarang dan Batang.

Bagaimana di Kota Pekalongan? Ada harapan tidak terjadi calon tunggal dengan adanya penyerahan dukungan oleh calon perseorangan. Artinya ada kemungkinan calon yang mendaftar lebih dari satu pasang asalkan ada parpol yang mendaftarkan calonnya. Seandainya calon tunggal maka akan terjadi penundaan lagi tahapan pilkada yang berimplikasi pada beban anggaran seperti adanya kegiatan tambahan daftar pemilih tetap (DPT), sosialisasi, pencalonan, masa kerja badan elaksana pemilukada dan sebagainya.

Dampak dari penundaan itu, berarti penetapan DPT diperpanjang dengan menambahkan data pemilih pemula yang berusia 17 tahun. Adapun  tambahan anggaran akibat penundaan, bisa diambilkan dari anggaran pada putaran kedua sehingga secara keseluruhan anggaran pilkada tidak bertambah kecuali terjadi dua putaran.

Terkait dengan calon tunggal, ke depan perlu dipikirkan oleh pembuat undang-undang untuk mengantisipasi berlarut-larutnya pilkada yang disebabkan adanya calon tunggal pada saat tahapan pendaftaran.

Karena itu, perlu diusulkan jika pilkada sampai dua kali ditunda gara-gara hanya ada calon tunggal, maka selanjutnya calon tunggal tersebut bisa diproses dalam pemilihan. Sebab, jika terus menunda bisa menimbulkan dampak sosial yang akhirnya masyarakat dirugikan. (10)

— Basir SH, anggota KPU Kota Pekalongan, alumnus Fakultas Hukum Universitas Pekalongan (Unikal)


Wacana Suara Merdeka 31 Maret 2010