30 Maret 2010

» Home » Republika » Seandainya Nurdin seperti Soeratin

Seandainya Nurdin seperti Soeratin

Kongres Sepak Bola Nasional resmi dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Meski hanya dua hari, acara ini diharapkan berpengaruh besar terhadap masa depan persepakbolaan Indonesia. Wacana revolusi alias perombakan total kepengurusan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) santer didengungkan.

Sejatinya, semangat yang diusung bukanlah menjungkalkan rezim Nurdin Halid di PSSI. Agenda yang jauh lebih penting adalah membenahi ketidakberesan yang selama ini terjadi di ajang persepakbolaan nasional. Hanya saja, Nurdin Halid seolah tutup mata tutup telinga atas derasnya kritik yang ditujukan kepada PSSI.

Berbagai alibi dan alasan selalu dikemukakannya. Pada beberapa kali kesempatan diskusi ia bersikeras tidak ada yang salah dengan sepak bola nasional. Bahkan, ia pun terkesan tidak takut dengan KSN yang merupakan gagasan SBY. Sejak beberapa waktu lalu, politisi asal Partai Golkar ini juga telah merapatkan barisan dengan pengurus PSSI Provinsi dari seluruh Nusantara.

Nurdin seharusnya legawa meletakkan jabatan tanpa perlu didesak. Ia akan meninggalkan kantor PSSI di Senayan secara terhormat. Jasanya yang juga tidak sedikit pun akan tetap terkenang.

Mengenang Soeratin
Awal berdirinya PSSI tidak bisa dilepaskan dari perjuangan nasionalisme Indonesia. Pasalnya, organisasi ini lahir lebih dulu dari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. PSSI saat itu kepanjangannya adalah Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia, didirikan pada 19 April 1930 di Yogyakarta.

Jasa Ir Soeratin Sosrosoegondo sangatlah besar. Bersama sejumlah tokoh lain, Soeratin menggagas lahirnya sebuah perserikatan sebagai alat perlawanan terhadap NIVB (Nederlansch Indische Voetbal Bond). Saat itu, NIVB merupakan organisasi tertinggi sepak bola di Hindia Belanda. Corak kolonialisme sangat kental dalam pengorganisasian sepak bola yang dilakukan NIVB, bahkan sangat diskriminatif.

Beberapa bulan sebelum kongres pembentukan PSSI, terjadi satu peristiwa yang sangat menusuk perasaan bangsa pribumi. NIVB melarang adanya acara tersebut, dan menyebut inlander terhadap panitia voetbalwedstrijden Yogyakarta 1930.

Bagi bangsa Indonesia, 'inlander' adalah sebutan yang menyakitkan. Pada hakikatnya, ke-inlander-an adalah persoalan harga diri dan martabat manusia (R Dahlan Ranuwihardjo, St 1978).

Walhasil, dengan berdirinya PSSI, kaum pribumi memiliki wadah berekspresi dalam bidang olahraga yang sejajar dengan bangsa lainnya di Nusantara. Terpantik dengan semangat ini dan diskriminasi yang dilakukan NIVB, Susuhunan Paku Buwono X mendirikan Stadion Sriwedari di wilayah kekuasaannya, Surakarta.

Hanya dalam waktu delapan bulan, di bawah komando R Ng Tjondrodiprojo, stadion yang menghabiskan biaya 30 ribu gulden pun selesai dibangun. Stadion berbentuk oval itu dilengkapi trek atletik, sistem drainase yang baik, dan lampu sorot yang membuatnya bisa digunakan setiap saat. Sriwedari menjadi lapangan sepak bola terbaik di zamannya.

Persinggungan dengan politik
Sejak berdirinya PSSI, permasalahan sepak bola semakin meluas. Para politisi menyadari betul fenomena ini. Mereka pun tak segan memanfaatkan sepak bola sebagai saluran perjuangan paham nasionalisme. Pemerintah kolonial sangat khawatir dengan perkembangan ini. Setiap pertandingan besar tak ubahnya sebuah rapat umum yang mau merongrong kekuasaan mereka.

Dalam satu kesempatan, tepatnya pada 1932 saat berlangsungnya kejuaraan PSSI ke-II di lapangan Laan Triveli, Jakarta, sejumlah pemimpin pergerakan tampak hadir di kerumunan penonton. Bung Karno yang baru keluar dari penjara Sukamiskin mendapat kehormatan melakukan kick off tanda pertandingan dimulai.

Berbagai cara dilakukan Belanda untuk mengerdilkan PSSI. Salah satunya dengan mengintervensi Sizten en Lausada, perusahaan swasta tempat Soeratin bekerja untuk memecat Ketua Umum PSSI itu. Dengan besar hati, Soeratin rela dikeluarkan tak terhormat demi perjuangan.

Pemerintah juga menggunakan alasan politis untuk menjegal PSSI. Tim yang sudah siap diberangkatkan ke Paris untuk mengikuti Piala Dunia 1938 dilarang pergi, dan digantikan oleh tim NIVU. Keberadaan Husni Thamrin dan Ki Hajar Dewantoro di dalam kontingen dijadikan alasan. Atas berbagai ulah yang dilakukan Belanda, Soeratin mengambil tindakan tegas. Pada 1938, ia memutuskan secara sepihak General Agreement dengan kubu NIVU.

Setelah lebih dari enam dekade dan di era kemerdekaan ini, PSSI kini juga sedang dalam prahara. Mafia wasit, kerusuhan suporter, nirprestasi tim nasional, dan berbagai persoalan lainnya menjadi potret buram PSSI. Soeratin dikenang karena keberhasilanya membawa PSSI mengarungi badai. Bahkan, ia sampai rela kehilangan jabatannya sebagai eselon tinggi di Sizten en Lausada.

Bagaimana dengan Nurdin? Mampukah ia mengobati borok di tubuh organisasinya? Jika KSN diibaratkan sebagai dokter yang akan mendiagnosis dan mencari obat dari penyakit tersebut, apakah Nurdin mau menjalankan amanat KSN?

Opini Republika 31 Maret 2010