30 Maret 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Pajak dan Pelayanan

Pajak dan Pelayanan

Oleh Asep Sumaryana

Gerakan memboikot bayar pajak yang tumbuh di dunia maya membuat gusar Direktorat Jenderal Pajak. Bagaimana tidak, pendapatan negara yang sebagian besar diperoleh dari sektor ini akan terganggu. Dampaknya, program kerja pemerintah bisa terbengkalai. Pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat terancam gagal. Ujungnya, Dirjen Pajak bisa kena tegur pemerintah sebagai pihak yang gagal menyosialisasikan kesadaran membayar pajak sekaligus memungut pajak secara maksimal.

Moto ”Bayar Pajak dan Awasi Penggunaannya,” mungkin tidak akan efektif dengan boikot semacam itu. Akan banyak wajib pajak (WP) yang merasa tidak perlu membayar pajak sejalan dengan meluasnya mafia kasus pajak yang menyebabkan seorang Gayus bisa mengendalikan besaran pajak yang disetor dengan imbalan tertentu. Hal demikian tidak terekam dalam moto tadi sebab kasus tersebut terjadi ketika WP bermain untuk mengurangi besaran setoran pajak, bukan ketika setoran pajak sedang dipergunakan.


Jika membayar pajak kewajiban masyarakat, maka kewajiban pemerintah memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Kewajiban pemerintah menjadi hak masyarakat, demikian sebaliknya. Semakin besar pajak dibebankan kepada masyarakat, akan semakin besar pula hak masyarakat untuk memperoleh pelayanan dengan baik. Oleh karena itu, bila pemerintah melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi hak masyarakat lebih kecil daripada haknya, akan mempertinggi resistensi masyarakat untuk mengoreksi pemerintah. Gerakan semacam itu bisa diartikan ke arah sana.

Upaya pemerintah sangat penting agar kewajibannya terus menerus dimaksimalkan. Kepentingan di luar masyarakat, seperti kepentingan parpol penguasa, ataupun bersikap lunak kepada para pegawainya sangat merugikan masyarakat. Kasus makelar kasus bisa saja menunjukkan lemahnya kendali pejabat terhadap aparatnya yang bejat. Seorang pegawai pajak mengakui jika di tubuh birokrasi itu bertebaran kebejatan yang perlu direhabilitasi. Cirinya, banyaknya pegawai di sana yang memiliki kekayaan riil jauh di atas pendapatan legalnya.

Hirschman (1970) memiliki pandangan jernih mengenai ini. Protes yang dilakukan WP untuk memboikot bayar pajak bisa diterjemahkan sebagai bentuk voice. Cara ini perlu diartikan sebagai bentuk loyalitas WP terhadap negaranya yang perlu diimbangi oleh loyalitas aparat dan pejabat. Resistensi terhadap voice bisa menunjukkan adanya kepentingan lain yang bisa menghancurkan organisasi tersebut secara sistematis. Jika teriakan WP diabaikan, akan memperbesar kemungkinan terjadinya exit. Boikot pajak bisa berarti exit-nya WP atas kewajiban yang semestinya ditunaikan sejalan dengan lemahnya pemerintah menunaikan kewajibannya untuk melindungi uang pajak yang dibayarkan masyarakat.

Untuk menghadapi voice, ada tiga kemungkinan yang dapat dilakukan pemerintah. Pertama, tidak memperbanyak jenis dan besaran pajak. Konteks ini menunjukkan mengecilnya kewajiban WP kepada pemerintah sehingga akan berakibat penurunan haknya. Penurunan hak masyarakat untuk menerima pelayanan pembangunan, membuka peluang untuk memperbesar swadaya mereka melakukan pembangunannya sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Cara ini secara perlahan akan menggeser paradigma administration for public kepada administration by public (Utomo, 2006).

Kedua, melakukan reformasi dan reposisi aparatur pajak secara besar-besaran agar besaran pajak tidak menguap dan masuk kantong orang-orang bejat. Reformasi ini bisa mengikuti alur pikir Edwards III (1980). Struktur birokrasi yang memungkinkan kontrol dan disposisi semakin cepat akan memudahkan koreksi jika terjadi kejanggalan dalam prosedur bahkan besaran pajak yang disetor WP. Sumber daya yang dimiliki bisa semakin dimaksimalkan kinerjanya sekaligus menyempurnakan komunikasi internal ataupun eksternal agar efektivitas pembayaran pajak dan kendalanya dapat diketahui sesegera mungkin. Dengan reformasi ini, aparat yang melakukan pelanggaran tidak bisa lolos dari jerat hukum apalagi sampai lolos ke luar negeri.

Ketiga, membuat mekanisme kontrol masyarakat yang memungkinkan setiap rupiah yang masuk dari WP dapat diketahui besarannya. Dengan cara ini masyarakat bisa turut menghitung besarnya penerimaan riil pajak serta meminimalisasi kebocoran dan penyimpangan. Dengan demikian, moto tadi masih memungkinkan adanya kebocoran dana pajak yang dibayarkan sebelum dipergunakan.

Membiarkan simpul keropos dan lemah membuat gerakan boikot pajak akan semakin menguat karena pajak dianggap tidak memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, kecuali kepada aparat dan pejabat bejat. Semoga tidak terus berkembang menjadi perubahan slogan dari ”Orang Bijak Taat Pajak” menjadi ”Orang Bijak Tolak Pajak”.***

Penulis, sekretaris LP3AN dan dosen llmu Administrasi Negara FISIP Unpad.
Opini Pikiran Rakyat 31 Maret 2010