30 Maret 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Oto Iskandar di Nata Setelah 65 Tahun

Oto Iskandar di Nata Setelah 65 Tahun

Oleh Iip D. Yahya

”Bagaimana cara pemindahan kekuasaan dapat dilakukan?” tanya Oto Iskandar di Nata kepada Soekarno.

”Ini bukan, bukan pemindahan,” jawab Soekarno. ”Tindakan itu akan bersifat ’penyerahan’.”

Oto tetap menginginkan kata ”pemindahan” karena tidak mengandung paksaan. Akhirnya, kata ”pemindahan” disepakati bersama. Sebelumnya, kata tersebut  diubah Soekarno  dengan kata ”penyerahan”.

Dialog itu menunjukkan fakta kehadiran Oto Iskandar di Nata dalam rapat perumusan naskah proklamasi, Jumat, 17 Agustus 1945. B.M. Diah, sebagai pelaku sejarah, merekam peristiwa penting itu dalam bukunya Angkatan Baru `45 (1983, h. 243-44). Tokoh asal Sunda lain yang memberi masukan adalah Iwa Kusumasumantri.  Iwa menyarankan kata ”diselenggarakan” menggantikan kata ”diusahakan”. Coretan-coretan dalam naskah asli tulisan tangan Soekarno yang diselamatkan Diah mengabadikan dinamika rapat pada dinihari itu.


Diah juga mengonfirmasi keberadaan Oto dalam foto Kabinet RI pertama. Penjelasan Diah menjawab keraguan yang selama ini menggantung, apakah sebagai menteri negara Oto ikut diabadikan dalam foto legendaris itu? Menurut Diah, posisi Oto ada di baris kedua, di antara Soekarno (baris pertama) dan Ali Sastroamidjodjo (baris ketiga).

 Dengan kesaksian ini, kita diingatkan bahwa Oto terlibat dalam hampir semua peristiwa paling menentukan menjelang kemerdekaan RI.  Oto juga ikut ”menentukan” presiden dan wakil presiden RI pertama melalui sidang PPKI. Dengan demikian, menjadi aneh ketika ada sejumlah pihak meyakini Oto berkhianat pada Repubik Indonesia.

Priyatna Abdurrasyid, pelaku sejarah dalam peristiwa Bandung Lautan Api, dalam memoar yang dituturkannya kepada Ramadhan K.H. (2001)  mengutarakan, ”Mundurnya pasukan dari Bandung yang dikosongkan ternyata kemudian dikambinghitamkan kepada Oto Iskandar di Nata yang pada saat itu diculik oleh pasukan tak dikenal dan dibunuh di Mauk, Tangerang” (h.70). Menurut Priyatna, kabar itu disertai pula tuduhan Oto menjual Bandung kepada Sekutu. Priyatna hanya bisa merasakan  tuduhan itu bagian dari permainan politik tingkat tinggi.

Catatan Dr. Djundjunan Setiakusumah (2002) sedikit membantu dalam upaya menemukan pelaku fitnah atas Oto. Menurut Djundjunan, suatu hari di penghujung 1945, di Rumah Sakit Situsaeur tempatnya bertugas, ia menerima secarik kertas berisi nama-nama orang Sunda yang akan diculik kelompok pemuda. Nama-nama itu semuanya bekas pengurus Paguyuban Pasundan, yaitu Puradiredja, Oto Iskandar di Nata, Nitisomantri, Ukar Bratakusumah, Djundjunan, Oto Subrata, dan Adjat Sudradjat. Djundjunan melapor kepada wali kota dan residen, tetapi kurang mendapatkan tanggapan. Daftar itu ternyata benar dengan munculnya serangkaian penculikan. ”Oto Iskandar di Nata diuber-uber. Baru tertangkap di Master Cornelis dengan tipu muslihat” (h. 128). Sekalipun Djundjunan tidak menyebut nama kelompok pemuda yang dimaksud, tidaklah terlalu sulit untuk menemukannya. Banyak data pembanding yang bisa dipakai sebagai rujukan.

Bagaimana sebenarnya duduk perkara yang membuat Oto difitnah sebagai mata-mata Sekutu/NICA dan menjual Kota Bandung satu miliun? Awalnya ada pertemuan Oto dengan Kusna di Jakarta, di rumah Ijos Wiriaatmadja. Kusna yakin NICA akan menang perang sehingga ia memilih pihak NICA. Karena Kusna mantan tokoh JOP (organ pemuda dalam Paguyuban Pasundan), Oto meminta Ukar Bratakusumah, kawan seangkatannya, agar menemui Kusna untuk dibujuk memihak republik. Akan tetapi, Kusna tetap di pihak NICA. Peristiwa tersebut dicatat dalam biografi Ukar (terbit 1995). Pertemuan dengan Kusna yang berseragam NICA itulah yang dijadikan dasar tuduhan mata-mata NICA kepada Oto dan Ukar. 

Sementara uang satu miliun adalah pemberian perwira Jepang, Ichiki Tatsuo. Biografi Mr. Soedjono yang disunting Soebagijo IN (1983) menjelaskan soal ini. Oto dan Ichiki menerbitkan majalah dwimingguan Peradjoerit, media untuk tentara PETA dan Heiho. Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, di antara perwira Jepang yang memiliki akses pada uang rampasan, ada yang memberikannya kepada tokoh-tokoh Indonesia yang mereka percaya, untuk digunakan sebagai bekal perjuangan. Uang gulden Belanda itu rampasan perang ketika Jepang mengalahkan Belanda pada 1942.

Informasi Oto menerima uang dari Ichiki pastilah sangat terbatas pada kalangan elite nasional. Jadi, mengapa Laskar Hitam tahu? Siapa yang membagi informasi kepada mereka? Setelah Oto diculik, siapa yang mengambil uang itu? Siapa yang kemudian jadi kaya setelah Oto dibunuh? Sebab, jelas Oto belum mempergunakan uang itu dan keluarganya pun tidak tahu-menahu.

Dengan demikian, tuduhan Oto menjadi mata-mata NICA dan menjual Bandung adalah gegabah dan semena-mena. Bahwa kebenaran itu akan muncul dengan caranya sendiri, dapat dirasakan dalam kasus Oto. Setelah 65 tahun kematiannya, barulah fakta-fakta itu ditemukan dan dapat dirangkai untuk membuktikan pahlawan Sunda ini bersih, tidak tercela. Bisa disimpulkan Oto benar dan penuduhnya itulah yang telah berkhianat kepada perjuangan RI dan kepada kepentingan Sunda.

Fitnah atas Oto itu ”berdampak sistemik”, sebab memutus mata rantai sejarah Sunda dalam bingkai NKRI. Penetapan Oto sebagai Pahlawan Nasional pada 1973 pun tidak serta merta menghilangkan fitnah itu. Tinggal sekarang, apakah urang Sunda merasa perlu mengetahui hal ini secara terang benderang? Apakah urang Sunda menganggap penting tegaknya kebenaran sejarah dalam kasus ini? Kalau ada kesepakatan kolektif urang Sunda, apa yang tak bisa dilakukan demi kepentingan Sunda? Mari kita tunggu saja geletuk batuna gejebur caina. 

Apa pun, pada 31 Maret 2010 ini, tepat pada hari kelahiran ”Si Jalak Harupat”, pernyataan para pemuda Sunda yang berkongres pada 1956 masih relevan untuk kita ikuti. ”Dewi Sartika jeung Oto Iskandar Di Nata kudu dipieling unggal taun salaku Ibu jeung Bapa Sunda."***

Penulis, peminat kajian sejarah Sunda.
Opini Pikiran Rakyat 31 Maret 2010