24 Maret 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Empat Puluh Empat Tahun ”PR”

Empat Puluh Empat Tahun ”PR”

Oleh EDDY D. ISKANDAR

SEMBOYAN Harian Umum Pikiran Rakyat atau sebut saja ”PR”, yaitu ”dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat”, memberikan gambaran sebagai koran harian milik rakyat secara menyeluruh, pembacanya dari segala lapisan usia dan profesi, meskipun secara umum merupakan media yang paling mengakar di Jawa Barat.

Di tengah menjamurnya media massa dan kian ketatnya tingkat persaingan, ”PR” tetap bertahan, tak tergoyahkan. Padahal, koran lain yang seusia dengan ”PR”, banyak yang tak terbit lagi. Mayoritas warga Jabar seolah sudah terikat secara emosional dengan ”PR”. Pembaca fanatik ”PR” tak begitu peduli dengan opini apa pun tentang segala kekurangan dan kelemahan ”PR”. Koran baru boleh terus bermunculan, tetapi tetap saja pembaca belum merasa lengkap jika belum membaca ”PR”.



Saya sendiri sudah menulis di ”PR” sejak 1975, sewaktu kuliah di Akademi Sinematografi Lembaga KesenianJakarta (sekarang Fakultas Film dan TV Institut Kesenian Jakarta). Kebanyakan saya menulis berita seputar kegiatan seni dan sastra di Taman Ismail Marzuki (TIM), apakah musik, teater, atau film. Bahkan, kemudian secara tetap mengisi rubrik ”Serba Serbi Dunia Film” yang muncul setiap Sabtu.

Gaung budaya ”PR” sangat terasa ketika rubrik itu ditangani sastrawan Trisnoyuwono dan budayawan Suyatna Anirun. Suyatna Anirunlah yang membuka ruang budaya seluas-luasnya, antara lain ”Pertemuan Kecil” asuhan Saini KM, termasuk tulisan-tulisan seniman/budayawan di rubrik opini. Penyair seperti Juniarso Ridwan, Soni Farid Maulana, dan Yesmil Anwar, setidaknya mengakui ”dibesarkan” oleh ”PR”.  Seniman besar seperti Rendra dan Sutardji Calzoum Bachri sempat hadir di ”PR”.

Tradisi ”PR” dalam memberi ruang bagi karya sastra sudah tampak sejak munculnya rubrik ”Kuntum Mekar” yang banyak melahirkan pengarang potensial. Kemudian melalui rubrik ”Pertemuan Kecil” dan rubrik cerpen dalam ”PR Minggu”. Munculnya rubrik sastra dan budaya dalam ”PR”, tak lepas dari peran Suyatna Anirun. Begitu juga lahirnya suplemen ”Khazanah” sebagai lembaran budaya ”PR”. Trisnojuwono dan Suyatna Anirun juga sangat menghargai keragaman karya. Berkat permintaan keduanya, berkali-kali saya menulis cerita bersambung di ”PR”. Padahal, ketika itu saya lebih dikenal sebagai penulis novel pop.

Ketika kuliah di Sinematografi di kawasan TIM, saya sering ke Pusat Dokumentasi TIM. Beberapa tulisan yang berhubungan dengan budaya dan sastra daerah yang dimuat di ”PR” sering dikliping. Sejak itu saya tahu, informasi tentang budaya daerah menjadi bagian menarik yang dmereka butuhkan dari ”PR”. Tentu ini juga bisa dijadikan acuan bahwa ”warna kedaerahan” dalam karya sastra dan budaya bisa ditekankan menjadi ciri ”PR”. Bahkan, ketika Jakob Sumardjo memenangi penghargaan budaya beberapa tahun lalu melalui tulisannya di ”PR”, justru yang mengungkapkan budaya Sunda.

Keterikatan emosional masyarakat Jabar terhadap ”PR” secara menyeluruh karena apa yang dibutuhkan mereka benar-benar terwakili ”PR”. Selain kebersamaannya dengan Persib -- salah satu klub sepak bola kebanggaan Jabar -- yang telah terjalin puluhan tahun, ”PR” juga peduli terhadap berbagai peristiwa bencana alam melalui ”Dompet PR”. Tingginya jumlah penyumbang dana melalui ”Dompet PR”,  menunjukkan betapa ”PR” sangat dipercaya masyarakat Jabar, bukan hanya terbatas pada beritanya”. Selain itu, ”PR” sering mensponsori kegiatan-kegiatan diskusi sastra, budaya, agama, politik, bisnis, kebijakan, dan lainnya, di Aula Redaksi ”PR”. Secara tidak langsung kegiatan itu menjaga kedekatan ”PR” dengan berbagai tokoh dan organisasi masyarakat.

Sedangkan dalam berita-berita atau tulisan yang berkaitan dengan politik, sejak reformasi, ”PR” juga lebih terbuka menyesuaikan diri dengan perkembangan kebebasan. ”PR” menjadi lebih kritis dan berani. Sedangkan untuk Jawa Barat, ”PR” mampu memelihara falasafah silih wangikeun, dan silih asah silih asih silih asuh untuk bersama-sama ngajaga lembur.

Tentu saja tak sedikit yang pernah mengungkapkan kelemahan dan kekurangan ”PR”, bahkan tidak mustahil kekuatan ”PR” pun akan tergerus. Persaingan media ke depan akan jauh lebih dinamis. Kadang kala bisa saja terjadi hal-hal di luar dugaan yang bisa berpengaruh drastis, terutama apabila selalu ”merasa di atas angin”.

Bagimanapun, hingga saat ini ”PR” tetap mantap beredar. ”PR” tetap memelihara kekuatan bisnis, baik dari segi tiras maupun jumlah iklan. Tidak heran bila ”PR” masih berada dalam peringkat yang ideal bersama koran-koran terkemuka yang terbit di Jakarta.

Akhirnya, semoga ”PR” tetap teguh memelihara kebersamaannya dengan warga Jabar dan selalu bercermin dari asal usul kehadirannya. Teruslah meningkatkan pelaksanaan dari semboyan ”dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat”, dengan memahami makna ”lebih tahu Jawa Barat”.

Selamat, sebab hingga kini ”PR” masih bertahan sebagai bacaan utama warga Jawa Barat. ***

Penulis, Pemimpin Redaksi ”Galura”/Ketua Umum FFB.
Opini Pikiran Rakyat 25 Maret 2010