24 Maret 2010

» Home » Media Indonesia » Anomali Pertumbuhan Ekonomi

Anomali Pertumbuhan Ekonomi

Tingkat pertumbuhan ekonomi merupakan indikator kinerja makro yang sangat populer, dan dalam hitungannya merupakan derivasi dari PDB (produk domestik bruto) atau GDP (gross domestic product). Popularitasnya disebabkan banyaknya kaitan penggunaan indikator tersebut dengan kegunaan praktis dalam perencanaan dan evaluasi pembangunan. Sering kita baca/dengar berita dari media tentang tingkat defisit anggaran, pendapatan per kapita, investasi, maupun kontribusi ekonomi sektoral, yang semuanya dikaitkan dengan besaran PDB.

Di tengah meluasnya penggunaan indikator tersebut, masih sering terjadi salah tafsir sehingga masyarakat seolah dihadapkan kepada anomali, dan secara ekonomi merugikan. Ada pendapat, apabila pertumbuhan ekonomi tinggi, secara otomatis seluruh masyarakat akan tambah sejahtera serta kemiskinan dan pengangguran berkurang. Benarkah analisis tersebut? Mungkin benar, tetapi tidak sepenuhnya, atau bahkan mungkin sebaliknya.



Sesuatu yang sering dibanggakan banyak pihak adalah bahwa di tengah krisis ekonomi dunia, ekonomi Indonesia masih tumbuh 4,5% (2008 sebesar 6%). Dengan tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 1,34%, jelas ekonomi per kapita rata-rata masih tumbuh di atas 3%. Namun, kesimpulan akan lain apabila dimasukkan variabel pemerataan, dan di sinilah masalah muncul sehingga analisis yang berbasis pertumbuhan tanpa mengacu kepada pengertian konsep dan definisi serta tata cara penghitungannya sering membuat kesimpulan menjadi bias. Kalau hanya sebagai kajian akademis masih 'baik-baik saja'. Celakanya apabila digunakan untuk kebijakan ekonomi, bisa menjerumuskan dan merugikan.

Secara konseptual, setiap aktivitas ekonomi akan menghasilkan nilai tambah (value added)-รข€“nilai yang ditambahkan atas nilai bahan baku/input antara--yang merupakan balas jasa faktor produksi--tenaga kerja, tanah, modal, dan kewiraswastaan. Penjumlahan value added di suatu wilayah teritorial (Indonesia) dan dalam selang waktu tertentu (triwulan, setahun) menghasilkan PDB wilayah tersebut.

Dengan demikian, penguasaan faktor produksi menentukan kepemilikan nilai tambah. Selanjutnya, pertambahan riil PDB dalam triwulan/setahun dinamakan pertumbuhan ekonomi triwulan/tahun bersangkutan. Kata riil mengacu kepada PDB yang telah 'dihilangkan' inflasinya sehingga pertumbuhan ekonomi sudah 'bersih' dari pengaruh perubahan harga dan merupakan pertumbuhan jumlah 'kuantitas' produk.

Benarkan pertumbuhan yang terjadi telah menyejahterakan masyarakat?

Masalah penguasaan faktor produksi dan besaran kontribusi sektoral menjadi faktor nyata 'melesetnya' interpretasi yang merugikan masyarakat, dan berikut ini diberikan uraian anomali akibat salah interpretasi.

Pertama, produksi pertambangan di Indonesia dengan kondisi faktor produksi tenaga kerja berpendapatan rendah, umumnya pelakunya adalah masyarakat Indonesia. Tenaga ahli, yang umumnya pendapatannya jauh lebih tinggi, adalah ekspatriat. Data sebuah perusahaan tambang menunjukkan bahwa jumlah uang untuk membayar tenaga ekspatriat berbanding terbalik dengan jumlah tenaga kerjanya. Jumlah ekspatriat sedikit total nilai gaji dan tunjangannya besar.

Walaupun tanahnya milik Indonesia, dalam penggunaannya dikuasai asing. Demikian juga modalnya dari mereka sehingga walaupun dicatat di Indonesia, PDB-nya lebih dinikmati mereka. Nilai tambah yang tercipta dan merupakan hak pekerja hanya bagian kecil, sebaliknya sebagian (besar) lainnya adalah milik penguasa faktor produksi. Pemerintah mendapat pajak dari aktivitas ekonomi ini, yang jumlahnya lebih kecil jika dibandingkan dengan milik asing. Dengan analogi itu, apabila pertumbuhan ekonomi terjadi karenanya, yang 'lebih tumbuh' adalah mereka. Bagaimana kalau banyak bisnis pertambangan semacam itu? Mungkin nantinya sumber daya habis, ternyata yang lebih menikmati adalah asing.

Kedua, untuk perusahaan jasa, misalkan perbankan, mungkin lebih parah. Mereka melayani aktivitas ekonomi Indonesia, dan semua transaksi keuangan dalam perekonomian hampir pasti akan dikelola sektor tersebut. Kendatipun lokasi bisnis di Indonesia, dan kinerjanya dicatat dalam PDB negeri ini, karena sebagian besar faktor produksinya dimiliki dan dikuasai asing, nilai tambahnya sebagian besar juga milik asing. Karena usaha jasa saat ini sarat dengan ICT (information-communication technology), hanya sedikit tenaga kerja yang diserap. Bisnis jasa bukan hanya perbankan. Peran asing sudah mendominasi.

Ketiga, usaha besar jumlahnya sedikit, sebaliknya usaha kecil jumlahnya banyak. Usaha besar sering merupakan afiliasi asing yang operasionalisasinya sangat efisien, sedangkan usaha kecil masih menjadi perbincangan untuk didorong maju. Ritel modern yang berjaringan luas, efisien, dan diizinkan masuk ke daerah kecil didampingkan dengan ritel tradisional yang sering berpenampilan kumuh dan kurang menarik pengunjung. Karuan saja, yang besar tumbuh besar dan yang kecil semakin kecil dan mungkin mati. Ritel besar berkontribusi besar ke PDB, sedangkan ritel kecil, kendatipun jumlahnya 'sangat banyak' kontribusinya kecil. Dengan demikian, apabila sektor perdagangan tumbuh, secara matematis lebih menggambarkan pertumbuhan yang besar. Ada media menggambarkan keterjepitan pasar tradisional.

Keempat, produk air kemasan merek terkenal sudah menjadi milik perusahaan multinasional, yang tentu saja ada bagian (besar) faktor produksi yang dikuasai mereka. Padahal, teknologinya sudah tidak asing bagi masyarakat dalam negeri.

Kelima, bisnis kuliner yang berbentuk waralaba memang sebagian besar faktor produksinya dimiliki dan dikuasai bangsa Indonesia. PDB yang tercipta lebih banyak menguntungkan Indonesia. Namun, bukan berarti secara 'bersih' dinikmati Indonesia. Fee waralaba asing akan mengalir 'ke luar', dan terkategorikan sebagai 'kebocoran' ekonomi Indonesia.

Dengan uraian anomali pertumbuhan ekonomi tersebut, jelaslah bahwa pertumbuhan ekonomi semacam itu bukanlah sesuatu yang harus dibanggakan. Gambaran tersebut lebih menunjukkan pertumbuhan yang tidak berkualitas. Bahkan kebijakan yang didasarkan pertumbuhan ekonomi seperti itu sangat mungkin merugikan, dan sasaran yang dibidik tidak tercapai. Pengambil kebijakan publik dapat terjebak dalam misinterpretasi, dan pro-growth menjadi tidak pro-job dan pro-poor.

Oleh Dr Bambang Heru Direktur Statistik Peternakan, Perikanan, dan Kehutanan BPS dan Sekretaris Ikatan Perstatistikan Indonesia (ISI), atau Statistika Indonesia. Artikel ini merupakan pendapat pribadi.
Opini Media Indonesia 25 Maret 2010