20 Januari 2010

» Home » Media Indonesia » Berpolitik dan Kemunduran Peradaban

Berpolitik dan Kemunduran Peradaban

Akhir 2009 dan awal 2010 masyarakat luas Indonesia disuguhi tontonan politik dan hukum secara terbuka lewat media cetak dan elektronik, bahkan dalam dunia maya. Menariknya, tontonan hukum dan politik itu belum pernah terjadi sejak berdiri Negara Kesatuan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, bahkan ada kata-kata yang tidak lazim dilontarkan oleh mereka yang mendapat mandat rakyat.

Misalnya saja pada menjelang akhir tahun lalu dipertontonkan pembeberan isi rekaman perbincangan pihak-pihak yang diduga kuat terlibat dalam upaya kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam pembeberan isi rekaman itu yang berlangsung 3 November 2009 di Mahkamah Konstitusi tersebut terdengar rangkaian dialog dengan kata-kata tak pateni.


Sementara itu awal tahun berikutnya yang masih kita jalani sekarang ini, dipertontonkan proses pemeriksaan terbuka oleh Pansus Hak Angket Bank Century terhadap beberapa saksi yang diduga salah ambil kebijakan dalam menentukan bank gagal sistemik atau tidak sistemik pada Bank Century. Demikian pula terhadap penanggung jawab keputusan KSSK tentang bailout Bank Century dan saksi-saksi lain yang diduga memiliki informasi terkait.

Dalam salah satu adegan pemeriksaan saksi dimaksud tampak seorang wakil ketua pansus yang kebetulan dipercaya memimpin sidang sedang terlibat 'adu mulut' dengan salah seorang anggota pansus lain. Dalam adu mulut itu terdengar kata 'bangsat' atau boef dalam bahasa Belanda yang sempat dilafalkan seorang anggota dewan terhormat.

Bahkan dalam perjalanan pemeriksaan berikutnya tidak sedikit anggota dewan terhormat lain menanyakan kepada saksi sebagai terperiksa dengan sikap kereng, nada tinggi, mimik marah-marah, kurang santun sehingga perilaku politik demikian mudah mengundang pendapat masyarakat luas bahwa Pansus Hak Angket Bank Century terkesan arogan.

Ucapan tak pateni (saya bunuh, dalam bahasa Jawa tak pateni lebih pas jika itu diarahkan pada binatang) terdengar jelas dalam rekaman dialog Anggodo Widjojo dengan seseorang yang diduga petugas, sementara pada tontonan kedua berupa pergelaran Pansus Century ucapan 'bangsat' hanya pas ditujukan pada seseorang yang dianggap sudah betul-betul kehilangan jati diri manusianya lagi.

Masih dalam konteks tontonan, seingat penulis ucapan tak pateni dan 'bangsat' itu hanya bisa ditoleransi pada tontonan fiksi kesenian tradisional seperti dunia pewayangan kurawa, ludruk, dan ketoprak. Itu saja dilontarkan ketika dua orang atau lebih saling berhadapan dengan salah satu pihak menganggap yang lain sebagai musuh yang harus dimusnahkan dari permukaan bumi karena dosa-dosanya yang sudah tidak bisa diukur dan ditukar dengan suatu apa pun.

Artinya, dua kata tersebut masih ditoleransi dalam dunia cerita fiksi yang fungsinya sebagai penegas kemarahan saja. Sebaliknya yang terjadi bukan cerita fiksi, dua kata itu dilafalkan dalam dunia politik riil yang notabene menentukan arah perjalanan bangsa Indonesia ke depan.

Dalam konteks pendidikan karakter budaya bangsa, ucapan dan perilaku politik tersebut tidak ditemukan dalam kurikulum. Demikian pula hal itu tidak ditemukan dalam karakter budaya bangsa Indonesia. Jelas dan terang sekali, itu bukan karakter dan perilaku budaya politik yang dikehendaki bangsa Indonesia. Dengan kata lain, mereka berpolitik dengan mengabaikan karakter budaya bangsa.

Pantas dan wajar saja kalau ada seloroh sebagian orang negeri seberang yang mengatakan peradaban bangsa Indonesia sedang mengalami kemunduran karena semakin menjauh dari jati diri bangsanya sendiri. Perilaku politik beyond its native culture itulah salah satu indikasinya. Lantas, apa mereka salah asuh atau rakyat salah pilih atau salah bawaan?

Penulis belum berani menjawab secara pasti, namun sedang menduga-duga, jangan-jangan perilaku politik yang abaikan karakter budaya bangsa itu sebagai akibat dari kesalahan institusi pendidikan yang memproduksinya sebagai sarjana mengingat dunia pendidikan nasional dewasa ini juga menuai kritik. Atau jangan-jangan mereka sering menonton dan menikmati dialog-dialog dalam kesenian tradisional tersebut di atas atau mungkin pernah menjadi salah satu aktornya.

Kritik terhadap dunia pendidikan dewasa ini juga tidak jauh dari perspektif karakter budaya bangsa mengingat sejak satu dekade lalu hingga sekarang pendidikan nasional hanya mengedepankan penguasaan aspek keilmuan dan kecerdasan murid/siswa/mahasiswa, sementara pembentukan karakter dan nilai-nilai budaya bangsa semakin terpingirkan.

Jika ini benar, tentu kekhawatiran kita semua semakin nyata, yaitu terpinggirnya nilai-nilai budaya bangsa Indonesia dalam pendidikan nasional berakibat kemunduran peradaban bangsa Indonesia. Hal itu tampaknya juga menjadi keprihatinan mendalam banyak pihak sebagaimana terungkap saat Kementerian Pendidikan Nasional menyelenggarakan Sarasehan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa pada Kamis, 14 Januari 2010 lalu. Sarasehan dimaksud dilatarbelakangi oleh sebuah kerisauan mendalam dan eksesif tentang semakin menggerus dan terpinggirnya nilai-nilai budaya bangsa sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional.

Setidaknya ada dua hal yang perlu dikemukakan dalam konteks pendidikan karakter budaya bangsa sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional umumnya, pendidikan politik dan hukum khususnya agar berpolitik dan berhukum tidak mengabaikan karakter budaya bangsa dimaksud.

Pertama dan paling utama, pemahaman budaya dalam konteks pendidikan nasional itu sendiri, apa budaya itu dimaknai sebagai filosofi pendidikan atau sebagai materi pengajaran. Pengalaman selama dua tahun mengikuti program detasering perguruan tinggi yang diselenggarakan Direktorat Pendidikan Tinggi dan assessment pengelolaan perguruan tinggi menunjukkan bahwa tidak semua pengelolaan pendidikan baik tataran institusi pendidikan tinggi (universitas, institut, sekolah tinggi, diploma) maupun tingkat menengah (atas dan pertama), hingga sekolah dasar menempatkan letak budaya bangsa sebagai filosofi dalam sistem pendidikan nasional.

Memang dalam sistem pendidikan nasional, setiap institusi telah mempunyai visi, sebuah impian bahwa sarjana yang dihasilkan akan berkarakter sesuai dengan keunggulan yang dijual oleh institusi dimaksud kepada masyarakat luas sebagai calon pengguna sarjana yang dihasilkan (user).

Namun, yang amat penting dengan pendidikan karakter budaya bangsa adalah sebuah kesadaran mendalam bahwa apa pun keunggulan yang dimiliki institusi, apa pun visi yang diimpikan harus tetap merujuk filosofi bangsa Indonesia, Pancasila. Sementara itu, budaya sebagai materi pendidikan dan pengajaran dimaksud berkaitan dengan kurikulum yang mencakup mata kuliah berikut materinya, tenaga kependidikan yang mencakup kompetensi, kapasitas dan pengalamannya, tentu perangkat keras penunjang lainnya merujuk visi masing-masing. Dengan berfilosofi budaya bangsa Indonesia, operasionalisasi proses belajar-mengajar hendaknya berisi karakter kejujuran, kebersamaan, toleransi, kesopanan, dan peduli kepada orang lain sehingga sarjana yang diproduksi pun berkarakter demikian.

Dalam konteks Pansus Hak Angket Bank Century, nilai-nilai dasar karakter budaya bangsa itu harus tertanam ke dalam dan tecermin pada semua anggota pansus dalam berpolitik. Setidaknya, semangat di balik pemeriksaan saksi-saksi yang dianggap memiliki informasi terkait bailout Bank Century adalah bukan untuk menjatuhkan, bukan untuk memojokkan, 'menelanjangi', melainkan sebaliknya, semangat kebersamaan untuk memetakan sebuah kebijakan nasional mana yang baik dan buruk, benar dan salah, sesuai dengan aturan atau tidak sesuai, dan seterusnya, yang kemudian disembuhkan dan ditata ulang agar tidak terjadi lagi di masa mendatang.

Kemunduran peradaban

Dalam perspektif pembentukan karakter budaya bangsa, pergelaran politik Pansus Bank Century yang dipertontonkan media elektronik, disebarluaskan media massa, dan didistribusikan ke seluruh jaringan dunia maya yang amat mudah diakses di seluruh dunia menjadi salah satu tolok ukur berpolitik yang abaikan karakter budaya bangsa atau tidak. Jika benar anggota Pansus Hak Angket Bank Century berpolitik dengan mengabaikan karakter budaya bangsa, tentu berimplikasi pula pada dugaan jangan-jangan sedang terjadi kemunduran peradaban bangsa Indonesia dalam berpolitik.

Oleh Ade Saptomo Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Unand
Opini Media Indonesia 21 Januari 2010