20 Januari 2010

» Home » Media Indonesia » Daya Pegas Demokrasi

Daya Pegas Demokrasi

Kasus Century mengedepankan sebuah fenomena politik menarik. Ini bisa diungkapkan dalam sebuah pertanyaan ringkas: apakah kebohongan bisa menyelamatkan demokrasi? Barangkali, ini akan menjadi salah satu pertanyaan kecil yang mencuat ke permukaan diskusi kita di ujung kerja Pansus Century. Selebihnya, usaha untuk memperluas ulasan kritis yang termuat dalam Editorial Media Indonesia (15/1) berhubungan dengan kesaksian Jusuf Kalla di hadapan Pansus Century (14/1).


Jelas, penguasa lalim selalu menggunakan kebohongan sebagai senjata ampuh yang meluputkan segala kejahatan yang terancang rapat di ranjang kekuasaan. Benar apa yang ditegaskan dalam Editorial bahwa kebenaran harus dicari dengan kesungguhan dalam kasus Century. Bukan hanya itu. Kebenaran itu mesti dibela dengan ketulusan. Kesungguhan dan ketulusan akan memberikan energi dahsyat dalam mendorong perbaikan mentalitas politik dan peradaban demokrasi di negeri ini.

Lalu, apa yang kita butuhkan untuk menyelamatkan bangsa ini dari kejatuhan dan keruntuhan yang terasa semakin lengkap? Salah satu yang kita butuhkan dari sekian banyak yang diinginkan sekarang ini adalah kebesaran jiwa membangun kebangsaan di atas puing-puing kejahatan yang menyumpal alur demokratisasi. Atmosfer sosial politik yang memunculkan keberanian mengumpulkan potongan-potongan kebenaran yang tersembunyi dalam kawah kerakusan politik dan kekuasaan.

Resiliens

Albert Breton (2003) dalam buku Rational Foundations of Democratic Politics secara gamblang menyampaikan prasyarat dasar dan titik awal pencapaian peradaban demokrasi. Sebuah prakondisi yang memberikan arahan substansial mengawal demokrasi dengan hasil yang terlihat pada kehidupan politik dan kekuasaan. Merujuk perilaku elegan konstruktif daripada sekadar keperluan jangka pendek para penguasa.

Butuh sebuah desakan dan gerakan cepat untuk membenahi struktur politik dan perangkat hukum yang mengatur energi demokrasi. Usaha menghindari terjadinya 'pembusukan' demokrasi yang pada akhirnya menjadi bumerang penciptaan keadaban politik. Ukurannya harus berkaitan dengan pola kebijakan dan keberpihakan para elite politik dan kekuasaan. Terutama di level pemerintahan dan wakil rakyat. Dua aspek itu amat menentukan bagaimana cerita demokrasi bisa sampai pada ruang kesejahteraan dan kemakmuran sosial.

Mendorong demokrasi sebagai langkah tepat meretas kebuntuan multidimensional yang mengurung bangsa serentak memerlukan daya pegas (resiliens) yang kuat. Hingga sejauh ini, keterpurukan politik dan kebusukan kekuasaan di semua jenjang secara memadai merefleksikan ketiadaan kearifan politik para penguasa. Kearifan akan meluputkan mereka dari kejatuhan dan keterjerembaban dalam kecurangan yang menistakan rakyat. Ini yang pernah dicemaskan Alan Hamlin (2003) dalam artikel Democratic Resiliens and the Necessity of Virtue. Para pemuncak kekuasaan (politik) yang berjalan tanpa kearifan hanya akan membentuk sebuah seruan menyakitkan: setop demokratisasi!

Kemunduran

Kecemasan semacam itu nyata dalam rentetan tragedi politik dalam bentuk korupsi masif hingga sekarang ini. Itu disebabkan oleh kebiasaan menggerakkan demokrasi tanpa disertai dengan penyemaian benih-benih kearifan dan kepercayaan sosial yang kuat. Kejahatan korupsi merupakan puncak gunung es dari kekuasaan yang mengalami disfungsi sosial politik yang semakin parah. Mark E Warren (1999) dalam Democracy and Trust mengungkapkan serangan sistematis terhadap demokrasi justru muncul dari salah satu stakeholder utama demokratisasi; pada level kekuasaan.

Robert Putnam (2000) dalam buku Bowling Alone menyebutkan dua aspek penting yang amat dibutuhkan untuk menjaga momentum demokratisasi. Pertama, modal sosial (social capital). Aspek ini berhubungan dengan pola-pola sosial yang terus berubah mengikuti transformasi formal demokrasi. Baik pada aspek struktur politik, maupun terutama bersinggungan dengan moralitas kekuasaan. Kecermatan dan kecekatan merupakan karakter yang paling menentukan bekerjanya modal sosial dalam format demokratisasi politik. Publik yang selalu awas terhadap pakem politik para penguasa akan menghindarkan kekuasaan dari jeratan korupsi.

Aspek kedua yang amat penting adalah tumbuhnya 'pemerintahan yang baik'. Satu titik akhir menuju 'pemerintahan bersih'. Ini menjelaskan kultur politik demokratik sudah merembes pada sendi-sendi birokrasi pemerintahan. Namun, kondisi itu tercapai dalam konsistensi kekuatan sosial untuk melakukan kontrol secara terus-menerus dengan variasi pendekatan terhadap kebijakan politik publik.

Putnam menjelaskan kemunduran dua aspek ini koheren dengan pertumbuhan korupsi di beberapa negara berkembang. Atau, korupsi yang merajalela akan dengan segera meruntuhkan pertahanan sosial dalam sikap kritis jangka panjang terhadap kekuasaan. Selebihnya, mesin kekuasaan (birokrasi) yang tidak tersentuh oleh fungsi kontrol sosial terbukti tidak pernah jauh dari gelombang praktik korupsi.

Solusi

Jean Francois Arvis dan Ronald Berenbeim dalam riset yang dilakukan pada beberapa negara di Asia Timur yang tertuang dalam buku laporan, Fighting Corruption in East Asia (2003), mengungkapkan sebuah kepercayaan yang amat memikat. Bahwa inisiatif dari sektor publik dalam memerangi korupsi merupakan titik acuan perhatian saat ini. Langkah itu sejak awal harus digagas dan dikerjakan secara sukarela oleh para aktivis antikorupsi, cendekiawan, intelektual, mahasiswa yang memiliki jangkauan pengetahuan sekaligus akses informasi yang lebih baik ketimbang rakyat awam umumnya.

Efektivitas inisiatif publik amat dibutuhkan untuk mengawal demokrasi agar tidak berubah menjadi fitnah dan kebencian. Tidak menjadi sarang penyamun. Tidak menjadi benteng perlindungan para koruptor. Usaha memutuskan rantai 'fitnah' hanya bisa diraih dengan kesungguhan memotong jalur-jalur strategis korupsi: birokrasi dan institusi hukum. Tanpa keseriusan semacam ini, 'sistematisasi kejahatan' terhadap demokrasi dan publik hanya akan menjadi 'tutur ulang' dalam sejarah politik dan kekuasaan di Indonesia.

Seperti apa yang selalu terulang muncrat dari mulut kesaksian beberapa petinggi bahwa dampak sistemik kegagalan Bank Century di masa lalu memerlukan tindakan serba cepat dan 'mahal' merupakan analogi yang tepat untuk menuntut semua elite kekuasaan di negeri ini. Bahwa dampak sistematik dari setiap kesewenangan di negeri ini memerlukan langkah politik yang lebih radikal. Suasana batin publik tidak bisa ditelikung demi kepentingan sempit para penguasa. Elemen-elemen masyarakat sipil harus merumuskan langkah politik konstruktif untuk meluputkan bangsa terhadap dampak sistemik perilaku kekuasaan dewasa ini. Publik harus memegang dan mengendalikan 'daya pegas' demokrasi agar tidak disalahgunakan dengan kerakusan di tangan para penguasa!

Oleh Max Regus Alumnus Pascasarjana Sosiologi UI
Opini Media Indonesia 21 Januari 2010