20 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Anggodo dan Gurita Mafia Hukum

Anggodo dan Gurita Mafia Hukum

ANGGODO Widjojo akhirnya ditahan di Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Aktor utama dalam kasus upaya kriminalisasi pimpinan KPK Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah itu dijerat dengan pasal berlapis. (Suara Merdeka, 15/01/10).

Pertama, Pasal 15 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi, ìSetiap orang yang melakukan percobaan pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi dipindana yang sama sebagaimana dimaksud pasal 2, pasal 3, pasal 5 sampai dengan pasal 14.’’


Ancaman hukuman di dalam pasal 2 ayat 1 maksimal penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dengan denda Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Kedua, pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi berbunyi, ‘’Tiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dengan denda Rp 150 juta dan paling banyak Rp 600 juta. Ketiga, dikenai Pasal 53 KUHP tentang pidana percobaan’’.

Nama Anggodo populer setelah pemutaran rekaman di Mahkamah Konstitusi pada 3 November 2009, yang menguak persekongkolan untuk merekayasa kasus penyuapan terhadap dua wakil ketua KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah. Kasus Anggodo menjadi salah satu bukti telah tingginya puncak gunung es mafia hukum atau mafia peradilan di Indonesia.

Selain menjulang, mafia hukum di Indonesia sudah seperti gurita, istilah yang kini diperhangat oleh George J Aditjondro. Prof Satjipto Rahardjo semasa hayatnya mengatakan, istilah mafia hukum dan pengadilan sudah memperkaya kosakata bahasa Indonesia sejak tahun 1970-an. (Satjipto Rahardjo, 2009:3)
Kasus Anggodo adalah momentum baru perang terhadap gurita mafia hukum di Indonesia.

Terbongkarnya persekongkolan Anggodo dengan para petinggi aparat hukum seperti yang termuat dalam percakapan antara Anggodo dan  pejabat Kejaksaan Agung, mantan Jamintel Wisnu Subroto dan mantan Wakil Kejagung Ritonga, dan mantan Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Susno Duadji menjadi pemicu penegasan perang melawan mafia hukum.

Presiden Susislo Bambang Yudoyono kemudian mengeluarkan keppres tentang pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum pada akhir tahun lalu, sebagai realisasi  rekomendasi Tim 8. Ketua Satgas adalah Kepala Unit Kerja Presiden untuk Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto, Sekretaris Denny Indrayana, dengan anggota Wakil Jaksa Agung Darmono, Herman Effendi dari Polri, mantan Pelaksana Tugas Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Mas Achmad Santosa, dan  Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Hussein.

Jamak diketahui, walau upaya pemberantasan dan perang melawan korupsi secara resmi oleh Presiden SBY dimulai pada 9 Desember 2004, korupsi di Indonesia tidak kunjung surut, bahkan cenderung meningkat dan beragam. Meski berbagai regulasi tentang pemberantasan korupsi sudah tidak kurang.
Hal ini karena lembaga penegak hukum yang menangani perkara korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien. Menurut Lawrence M Friedman, kefektifan bekerjanya sistem hukum harus didukung oleh tiga komponen, yaitu struktur, substansi, dan kultur( Lawrence M Friedman, 1975).

Komponen struktur adalah kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum dengan berbagai macam fungsinya dalam mendukung bekerjanya sistem hukum. Komponen substansi adalah luaran dari sistem hukum, termasuk di dalamnya norma-norma yang antara lain berwujud peraturan perundang-undangan. Sedangkan kultur (budaya) adalah nilai-nilai dan sikat-sikap yang merupakan pengikat sistem, serta menentukan tempat sistem itu di tengah budaya-budaya bangsa sebagai keseluruhan.

Jika menganut teori Frieman tersebut komponen struktur dan kultur belum bisa berjalan secara maksimal. Bahkan, dalam komponen struktur dan kultur ini terdapat praktik mafia pengadilan. Merajalelanya mafia hukum atau makelar kasus (markus) menjadikan penegakan hukum seperti jalan di tempat.

Dampak mafia hukum, menurut Prof Barda Nawawi (2009) menjadikan upaya penegakkan hukum di Indonesia tidak menggunakan ilmu hukum, tetapi dengan ilmu amplop (uang). Indikasi ilmu amplop ini dapat dilihat adanya transaksi. Ada pasar hukum, penjual, calo perkara, makelar kasus, dan peristiwa jual beli putusan.

Mafia hukum yang sudah menggurita, yang berpuncak pada terbongkarnya persekongkolan yang diaktori oleh Anggodo, memiliki daya rusak yang tidak kalah hebatnya. Menurut  Barda, daya rusak mafia hukum melalui ilmu amplop, antara lain merusak (mengesploitasi) sumber daya nonfisik, merusak sustainable development, merusak kualitas kehidupan, serta merusak kepercayaan dan respek masyarakat. Hasil dari daya rusak praktek mafia hukum setingkat dengan bahaya praktik korupsi.

Proses hukum terhadap Anggodo oleh KPK merupakan bentuk komitmen dari aparat penegak hukum dalam upaya memberantas praktik mafia hukum. Jika para mafia hukum masih merajalela, tidak mungkin hukum bisa tegak. Sangat sulit mengharapkan peradilan sebagai benteng dan tempat para pencari keadilan. Kita berharap momentun pemberantasan mafia hukum terus dijaga, agar dunia hukum bisa berperan dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat.(10)

— Zamhuri, mahasiswa Magister Hukum Universitas Muria Kudus
Wacana Suara Merdeka 21 Januari 2010