20 Januari 2010

» Home » Kompas » Risiko Sistemik Perekonomian Kita

Risiko Sistemik Perekonomian Kita

Perdebatan sengit di ruang Pansus DPR masih saja berfokus soal status Bank Century sebagai bank gagal berisiko sistemik. Debat ini nyaris tak akan ada hasilnya. Sementara risiko sistemik lain tengah merangkak ke permukaan. Pertama, ancaman penerapan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China. Kedua, potensi risiko pengetatan ekonomi China.
Nyaris tak berguna mencecar dampak sistemik Bank Century (BC). Pertama, tak ada satu metode ilmiah apa pun mampu memprediksi masa depan, terutama di saat krisis. Kedua, terlalu banyak variasi teori dan pengalaman pengambilan keputusan yang bisa menjadi referensi pemberian talangan. Salah atau benar menjadi sangat relatif.


Singkat kata, meski dianggap lemah sekalipun, tetap saja keputusan penalangan (bail out) memiliki argumentasi. Karena itu, diskusi tak akan selesai. Sangat mungkin letak persoalan sebenarnya memang bukan di situ.
Hal serupa mengadang di depan kita. Apakah penandatanganan kesepakatan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) akan menimbulkan ”dampak sistemik”? Faktanya, akan ada ancaman pemutusan hubungan kerja massal serta pengerutan sektor-sektor industri manufaktur (deindustrialisasi). Tentu saja, kerugian bagi perekonomian kita tak terbantahkan.
Ancaman bukan saja datang dari sektor industri, tetapi juga dari sektor keuangan. China mulai keluar dari rezim stimulus ekonomi. Penggelontoran uang dalam ekonomi mulai dihentikan dan suku bunga mulai dinaikkan. Kebijakan ini memberi sinyal pada perekonomian global bahwa fase pengetatan ekonomi segera akan dimulai.
Ketidakpastian
Dunia memang selalu dilanda ketidakpastian. Skenario pemulihan krisis masih terus diperdebatkan. Jika banyak negara terlalu cepat keluar dari skema stimulus ekonomi, perekonomian dunia bisa tergelincir kembali dalam krisis. Nouriel Roubini meramalkan, krisis akan membentuk formasi W: krisis, pulih sebentar, kembali krisis.
Selama ini, pemulihan semu perekonomian dunia banyak ditopang oleh kebijakan suku bunga rendah dan kebijakan stimulus fiskal. Jika keduanya dicabut, perekonomian global akan kembali mengalami kekeringan likuiditas. Benarkah?
Tak seorang pun tahu pasti. Sudah sejak krisis global 2007/2008, perangkat-perangkat ekonomi yang selama ini dianggap solid menjadi usang. Banyak ekonom mengatakan: ”kita semua Keynesian sekarang”. Bagi Keynes, ketidakpastian adalah ciri alamiah perekonomian. Melawan ketidakpastian sama saja melawan kodrat.
Pada saat krisis, sulit menebak arah ekonomi. Prinsip dasarnya, manusia cenderung memilih uang kas menghadapi ketidakpastian. Sayangnya, teori preferensi pada likuiditas ini tak mampu memprediksi kapan persisnya orang memilih uang kas ketimbang surat berharga. Pasalnya, itu akan sangat bergantung pada kondisi psikologis masing-masing orang. Ada aktor yang sangat resisten terhadap ketidakpastian, ada yang cepat panik.
Konon kabarnya, pasar di negara sedang berkembang salah satu cirinya cenderung mudah panik ketika muncul ketidakpastian. Jadi, selain karena alasan-alasan fundamental, beberapa faktor perilaku juga turut memperparah krisis.
Andaikan ramalan Roubini benar, perekonomian global akan mengalami resesi kedua karena rezim stimulus terlalu cepat dicabut, tentu menjadi malapetaka untuk kita. Pertama, perekonomian kita memang tak pernah punya fondasi kuat sehingga selalu dengan mudah tertular. Kedua, pemerintah enggan memerangi krisis.
Suka tidak suka, perekonomian sangat memerlukan pemerintah di saat krisis. Keynes mengakui, pemerintah harus menjadi penjaga gawang terakhir perekonomian (lender of last resort). Apalagi jika terjadi krisis. Salahkah apabila pemerintah berinisiatif melakukan penyelamatan? Paling tidak bagi Keynes, justru pemerintah harus proaktif.
Perdagangan bebas
Transmisi ancaman sektor keuangan bukanlah satu-satunya risiko sistemik yang sedang mengancam kita. Daya saing produk-produk China nyaris tak terkalahkan, bahkan di level global. Amerika Serikat (AS) sekalipun neraca perdagangannya makin hari makin kedodoran menghadapi serbuan produk China.
Peran produk China dalam pasar dunia justru meningkat pada saat krisis (the Economist, 9/01/2010). Pada tahun 1999, kontribusi ekspor China terhadap total ekspor dunia berkisar 3 persen dan melonjak drastis pada 2010 menjadi sekitar 10 persen. Pada tahun 2014 diperkirakan akan mencapai 13 persen. Kini China menggeser Jerman sebagai negara pengekspor terbesar dunia.
Kesepakatan dagang ASEAN-China hanya memudahkan China menyalurkan produk-produknya. Jika China terus mempertahankan pertumbuhan ekonomi sekitar 8 persen, perluasan pasar ekspor menjadi salah satu prasyaratnya. Menurut prediksi IMF, untuk mempertahankan rezim pertumbuhan tinggi, China harus meningkatkan ekspornya menjadi 17 persen pada 2020.
Meningkatnya proporsi ekspor China sebenarnya menimbulkan komplikasi persoalan lainnya karena ketidakseimbangan global yang diyakini sebagai asal-muasal krisis tak akan terpecahkan. Justru ketimpangan ekonomi China-AS semakin besar. Sementara cadangan devisa China semakin gemuk, defisit AS semakin lebar. China lebih banyak menabung, AS makin banyak konsumsi. Ini akan menjadi lingkaran setan yang tak mustahil meletupkan krisis suatu saat nanti.
Risiko sistemik ACFTA juga terkait dengan rendahnya daya saing sektor produktif kita. Rapuhnya perekonomian kita membuat kita selalu berhadapan dengan risiko sistemik. Jangan-jangan ada banyak risiko sistemik justru muncul sebagai implikasi dari Pansus ini.
A Prasetyantoko Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian MasyarakatUnika Atma Jaya Jakarta
Opini Kompas 21 Januari 2010